Karena usia dan profesinya panggil saja ia Sang Penyadap Aren Muda.Sudah tak bersekolah karena menganggap otaknya tak mampu menyerap teori-teori rumit keilmuan. Maka setamat SMP ia memilih menanggalkan seragam dan berkonsentrasi merawat sekitar 500 batang aren milik sendiri.
Sang penyadap aren muda memegang akar kawao, pengawet nira alami untuk produksi gula arennya.
Beberapa profesi di dunia punah karena tak diteruskan generasi muda. Tentu banyak penyebabnya. Mulai dari perubahan lingkungan, struktur sosial sampai pada perkembangan makna yang diberikan pada profesi tersebut. Seperti yang terjadi dalam masyarakat berbudaya aren, sebagian besar generasi mudanya tidak lagi menganggap profesi menyadap nira sebagai gantungan masa depan. Profesi itu dianggap tak bergengsi jadi mereka lebih suka memburuh di pabrik di kota ketimbang meneruskan profesi orang tua.
Untungnya dalam sekian ratus anak muda di keluarga perajin gula aren, Sang Penyadap Aren Muda saya ini sebuah kekecualian. Ia tak keberatan menyandang lodong (tabung bambu) di pundak lalu turun naik pohon aren tiap pagi dan sore. Ia juga mengolah sendiri nira yang disadap jadi palm sugar organik atau gula semut yang sudah jadi tren pemanis eksotis di pasar internasional saat ini.
Kalau ini mah sang penyadap gagal
Di dusun dimana pemuda ini tinggal memiliki 500 batang aren termasuk orang kaya. Pohon itu tersebar di lahan milik sendiri maupun yang ia kontrak dari kebun orang lain. Iya memang begitu tradisinya. Mereka yang punya pohon aren tapi tak bisa mengolahnya sendiri biasanya mengontrak kan pohon pada perajin gula aren asli. Kontrak berlangsung sampai pohon aren berhenti mengeluarkan nira.
Akan halnya Penyadap Nira Aren Muda ini adalah tak mungkin menyadap 500 pohon aren sekaligus. Maka ia membuka kesempatan bagi kerabat dan penduduk desa yang tak punya pekerjaan tetap lewat bagi hasil 60:40. Di mana 60 untuk pemilik, 40 untuk penyadap. Gula yang sudah jadi ia tampung untuk di setor kepada Arenga. Lewat cara ini ia berhasil mengumpulkan 200-300 Kg gula semut setiap minggu.
Kemakmuran ini saya pikir salah satu penyumbang mengapa ia enggan sekolah. “Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya jadi buruh juga. Yang penting kan bisa baca dan berhitung…” katanya.
Hm…Iya juga sih terutama kalau tujuan sekolah cuma buat cari pekerjaan ya, Dik.
@eviindrawanto