6 foto suatu petang di kampung ini menggunakan camera ponsel jadul. Jadi mohon dimaklumi mutu gambarnya hancur. Tersimpan di time line facebook waktu pulang kampung menengok ibu-bapak sekitar tahun 2009. Saya pulang bersama Kakak. Nah mumpung mudah memindahkan dari Facebook ge WordPress disimpan juga di sini. Suatu hari nanti saya bisa kembali ke pos ini dan mengulang kembali perjalanan tersebut. Walau cuma dalam kenangan, tak mengapa. Sekalian merekam foto Pinang Balirik Magek, dan Surau Ruhama Desa Ambacang. Diambil dari waktu dan ponsel berbeda.
Foto Kerbau di Belakang Rumah Suatu Petang di Kampung
Petang itu saya tak punya pekerjaan. Masak untuk ibu sudah dilakukan saat menjelang makan siang. Sore itu saya rindu juga anak-anak di Tangerang. Makanya duduk bermalasan saja di depan rumah. Mengamati keadaan sekeliling. Melihat-lihat orang lewat. Karena bosen saya beranjak ke belakang rumah Etek Upik yang bersebelahan dengan rumah ibu.
Nah di sanalah ketemu objek pertama. Seekor kerbau sedang main di tengah sawah yang baru dipanen. Tubuhnya masih basah oleh lumpur. Rupanya selesai ngadem di sebuah kubangan dan sekarang lapar. Ia bergerak terseok memamah sisa-sisa batang padi yang baru saja di sabit. Beberapa ekor bangau putih beterbangan mengikutinya. Burung-burung warna putih berkaki panjang itu asyik benar terbang ke atas punggungnya lalu turun. Begitu berkali-kali. Sementara si badan besar tampak tidak tergangu. Terus saja memamah tanpa menengok kanan-kiri.
Objek di belakang kerbau yang paling menarik. Seorang etek (tante) sedang merontokan bulir padi. Sayang ponsel jadul saya tak bisa mendekat agar gambar lebih jelas. Ini juga sebuah catatan pada suatu petang di kampung ini. Proses produksi padi sudah berubah. Semasa saya kecil proses perontokan padi dikerjakan ramai-ramai, secara gotong royong, disebut “manggiriak”. Padi-padi yang sudah disabit tidak langsung diproses melainkan dibuat “ampok” lebih dulu. Yang disebut ampok itu adalah padi-padi yang baru disabut dionggokan mementuk lingkaran dengan ruang di tengah. Ditutup plasti atau daun pisang. Didiamkan kurang lebih 3-4 hari. Nah setelah bulir padi rapuh di tangkainya baru “digiriak”. Griak artinya meletakan beberapa gengam batang padi di bawah kaki dengan cara diinjak-injak sambil dipilin-pilin agar bulir padi rontok semua dari tangkai. Nanti sekelompok ibu kebagian “mengirai” yakni menyuarkan jerami sebelum dibuang agar rontokan padi tak ada yang terbawa.
Melamun di Tepi Sawag dan Itik Pulang Petang
Dari kerbau saya memandang ke arah Timur Laut. Dan di sana mata terpaku pada seorang bapak yang merenung khusuk di tepi sawah. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Mungkin sedang menakar-nakar keuntungan dari sawah kalau panen nanti. Mungkin juga hanya sekedar melamun, menunggu nasi masak oleh istri di dapur. Sesekali ia menghisap rokok dalam-dalam. Dari tempat saya berdiri asap tipisnya langsung lenyap dibawa angin.
Di belakang bapak petani itu, festival sore semakin meriah. Barisan bebek melenggok-lenggok di pematang sawah. Bebek putih dengan badan lebih besar memimpin di muka. Coba tebak berapa ekor bebek dalam foto ini?
Dalam bahasa Minang Itiak Pulang Patang sama dengan Bebek pulang petang. Seperti gambar di atas itu, segerombolan itik kembali ke kandang setelah seharian cari makan di sawah. Tak dijemput oleh pemiliknya. Begitu sore jatuh jam bilogis mereka langsung menginformasikan, stop bermain, stop cari makan, saatnya pulang.
Barisan itik pulang petang ini diabadikan Rakyat Minangkabau dalam ukiran rumah gadang: Itiak Pulang Patang atau bebek pulang petang. Motif itiak pulang patang ini melambangkan kesepakatan, dan persatuan yang kokoh dalam budaya Minangkabau.
- Baca di sini jalan-jalan di pematang sawah dalam:  Trekking Jajal Dengkul
Matahari Sore di Suatu Petang di Tengah Sawah
Foto matahari sore di tengah sawah ini saya ambil di hari berikutnya. Sebuah pojokan di tenggara lokasi rumah ibu saya. Sebelum di tanam, dulu di kampung saya dikenal tradisi “malunyah” atau melunyah dalam bahasa Indonesia. Dimulai dengan “Mamangkua” yakni membalik rumpun padi yang sudah dipotong ke dalam tanah. Didiamkan beberapa agar akar padi membusuk. Sementara menunggu sawah siap dilunyah, sawah digenangi air. “Ganangan” ini ditanami anak ikan sampai sekitar tiga bulan. Setelah panen ikan, sawah dilunyah, melumatkan lumpurnya agar halus dan siap ditanami.
- Baca di sini tentang:Â Â Piknik di Kebun Teh Alahan Panjang Solok
Tapi sekarang semua sudah berubah. Hampir semua pekerjaan berat sudah diambil alih traktor. Tak ada lagi tradisi mamangkua, mambajak atau malunyah di kampung saya. Masa tanam padi pun semakin singkat. Dari satu tahun menjadi tiga kali setahun. Pupuknya tak lagi dari kandang dan abu bekas memasak. Karena memang sumbernya juga tidak ada, jadi mereka beralih pada urea.
Foto bias cahaya sore suatu petang di Kampung ini saya ambil di sawah selesai dihaluskan lumpurnya. Kalau mau ditanam nanti airnya dikurangi sedikit.
Pohon Kelapa dan Pinang Balirik
Beranda rumah ibu saya lokasi strategis mengamati jalanan. Terletak di tepi Jalan Pinang Balirik Magek. Semasa kecil pepohonan yang tumbuh di tepinya sudah tinggi dan kurus-kurus. Untuk mempertahankan ciri khas disamping menjaga agar jalanan tidak semakin digerus oleh para pemilik sawah, pinang-pinang baru kembali di tanam. Ini tinggi pohon pinang tahun 2009.
Post ini saya update 15 Januari 2019 dan memasukan foto Pinang Balirik yang saya ambil bulan September 2018. Saat mengantar Bapak jalan-jalan dan pulang kampung.
Ini adalah sebagian pemandangan yang bisa dilihat dari beranda rumah ibu saya. Sekarang pohon pinang di latar muka sudah lebih tinggi, sedikit menyembunyikan pohon kelapa di belakangnya. Untungnya pohon kelapa itu masih baik-baik saja sampai sekarang.
Surau Ruhama Ambacang Magek
Keluar sedikit dari rumah ibu, berdiri di tepi Pinang Balirik Magek, depan Foto Matahari Sore di Tengah Sawah. Saya dapat melihat Surau Ruhama Desa Ambacang Magek. Surau tempat saya belajar mengaji dulu. Bentuk bangunan sekarang sudah berbubah sama sekali daru bangunan lama. Surau Ruhama ini awalnya tidak memiliki kubah seperti ini.
Pohon kelapa yang sudah amat tinggi dan sepertinya sudah tak berbuah lagi tetap dibiarkan di sana.
- Baca di sini tentang:Â Â Fungsi Sosial Masjid
Foto Menjemur Padi Suatu Petang di Kampung
Seorang ibu membereskan gabah yang di jemur di Banto di halam tempat penggilingan padi. Waktunya lebih awal dari foto-foto di atas.
@eviindrawanto
Yang bekerja lebih baik akan jadi yang terbaik