Waktu sudah menunjukan pukul 9 malam. Mobil yang saya tumpangi hanya maju sejengkal demi sejengkal di tengah himpitan ratusan motor dan mobil dari berbagai merek, model, dan ukuran. Kadang terhenyak. Puluhan tahun sudah jadi bagian dari kota ini namun masih saja heran menyaksikan kelakuan beberapa pengguna jalan. Sudah tahu padat, jarak begitu sempit, masih saja ada yang menekan klakson keras-keras atau menyodok dari samping untuk mendahului kendaraan di muka. Fiuh! “Emang dia saja yang ingin segera cepat sampai? Konyol betul” pikir saya masgul. Dan saya merindukan rumah.
Dan siapapun juga tahu, ini lah menu sehari-hari warga Jakarta, pendatang dan pelaju dari berbagai kota satelitnya. Kesembrawutan itu sudah biasa. Bahkan kota yang berdiri tepat di mulut teluk Jakarta ini sudah dikenal dunia dalam derita tiada akhirnya ini: Macet dan banjir.
Karena tak ada yang bisa dilakukan saya menghibur diri dan belajar berpikir dalam kemacetan Jakarta ini. Dengan melongok keluar, saya membayangkan satu persatu mereka yang berada di belakang kemudi, atau wajah-wajah di balik helm. Gelap. Tak ada wajah-wajah yang bisa dibaca. Namun tetap saja yang saya pandangi itu adalah makhluk sosial dengan romantika kehidupan pribadi masing-masing, bukan? Adakah mereka juga rindu rumah seperti saya? Jengkel juga? Apa yang mendominasi pikiran di tengah kepungan mesin-mesin bermotor itu? Bagaimana rasanya mengalami jalanan macet seperti ini setiap hari? Apa saja peristiwa yang telah mereka lalui hari ini? Dan ratusan pertanyaan tanpa jawaban ini akan terus bermunculan jika diteruskan.
Kenyamanan Semu
Saya kira hampir sebagian besar pengguna kendaraan pribadi di Jakarta bertujuan agar perjalanan lebih nyaman. Tak perlu berjalan lebih jauh, desak-desakan dalam bus atau angkot. Tak perlu mencium berbagai bau tak sedap. Aman. Tak perlu takut tasnya digerayangi tangan-tangan jahil. Bebas menentukan kapan pergi dan pulang. Nah ketika semua warga kota serentak berpikir seperti itu, apa yang terjadi? Jalanan macet dimana-manana! Kalau sudah begitu di mana letak nyamannya?
Dan saya menyadari sepanjang angkutan umum kota kondisinya masih seperti sekarang, penduduk kota tak punya pilihan, akan terus menjejali jalanan dengan kendaraan pribadi. Akan terus bertahan dengan ketidak nyamanannya. Semoga saja Pak Ahok suatu saat bisa menghapus derita ini. Membuat jalan-jalan di Jakarta seperti di Chengdu, Ibu kota Propinsi Sichuan, China seperti yang pernah saya lihat beberapa waktu lalu. Jalanana lebar, bersih, nyaman dengan sistem transportasi umum tertata baik. Apa lagi jika di dukung revolusi mental ala Pak Jokowi, harapan ini bukan lah suatu keniscayaan. Insya Allah…
@eviindrawanto