Pertemuan di Terminal Purbaya Surabaya – Dalam hitungan kurang dari 2 jam saja, bus AC yang kami tumpangi dari terminal Arjosari Malang sudah merapat di terminal Purabaya Surabaya. Waktu menunjukan pukul 13.30.
Kepala saya “kleyengan” dan badan agak sumang-sumang begitu. Maklum belum tidur sejak kemarin gegara trip Sunrise ke Bromo yang berangkat pukul 12 malam dari hotel. Turun dari Bromo pun langsung diantar ke terminal. Ditambah lagi mendengar pengamen dengan beragam cengkok dan tak putus-putusnya sepanjang jalan Malang-Surabaya. Dan sopir bus juga ngebut minta ampun.
Lengkap banget syaratnya untuk muntah. Suami sampai meraba kening saya untuk memastikan saya tidak demam. Kalau sakit kami takan memanfaatkan sisa waktu 6 jam di kota Surabaya melainkan langsung ke Bandara walau pesawat baru akan berangkat pukul 21.10.
Pertemuan dengan Mbah So
Dan yang terbaik dari seorang yang bulu kakinya sudah rontok di jalan adalah merasa sayang membuang waktu tanpa melihat-lihat atau menikmati kuliner khas setempat. Jadi saya memastikan diri untuk baik-baik saja selama tour super singkat di Kota Buaya ini.
Sebelum mencari taksi kami merapat ke toilet untuk bersih-bersih. Nah di sanalah pertama kali melihat Mbah So, usia 80 tahun lebih dan sudah tinggal di Purbaya sejak 1951. Saya tertawa karena ia langsung bercerita tentang dirinya tanpa diminta.
Namun karena kepala masih cenut-cenut saya sambut persahabatan Mbah So dengan senyum-senyum “bangsat” (senyum sopan santun yang tak datang dari dalam hati).
Saat itu saya sedang jaga koper sementara Indra di toilet. Nah pas giliran saya rupanya pria berkulit legam, bertopi dan berbusana serba hitam pula ini menggencarkan obrolan dengan Indra yang emang suka banget bincang-bincang dengan orang baru dikenal. Rupanya Mbah So menawarkan taksi dan siap mengantarkan kami ke mana saja di Surabaya.
Baca juga:
- Wisata Sunrise Bromo yang Gagal
- Hotel Pelangi Malang: Tidur Dalam Nuansa Masa Lalu
- Museum Resto di Malang dan Rumah Makan Inggil
- Pasar Apung Nusantara
Benaran Nih Mbah So Mau Supirin Kita?
Jujur saja awalnya saya ragu untuk disupiri pria sepuh ini. Apa iya matanya masih awas dan sigap pegang setir? Protes “lirikan mata” pada suami pun tak ditanggapi. Tapi ya sudah lah, karena merasa tahu tahu apa yang terjadi dalam kepala Indra, yakni rasa iba, akhirnya saya pun manut saja dituntun menuju tempat parkir. Tapi dalam perjalanan agak heran juga, kok masih banyak yang menawarkan taksi sementara Mbah So sudah nenteng satu koper dan jalan bersama Indra di depan? Sesama supir taksi kok tidak kelihatan esprit de corps-nya sih?
Teka-teki itu terjawab saat Mbah So mempersilakan kami naik ke sebuah mobil Avanza yang dijadikan taksi. Oh rupanya simbah cuma calo. Hahaha….Saya lega. Setidaknya akhirnya disupiri seorang bapak yang secara fisik masih gagah. Dan sesuai janjinya akan mengantar kami kemana saja di Surabaya, Mbah So pun ikut naik ke dalam mobil.
Dikawal Mbah So Keliling – Pertemuan di Terminal Purbaya Surabaya
Meninggalkan Terminal Purabaya, di perjalanan Mbah So bercerita lebih banyak tentang dirinya. Bahwa rumahnya terletak di belakang Kebun Binatang, petak, berdinding kayu dan bambu dan di huni oleh empat KK. Itu lah yang membuatnya tak bisa pulang. Istri sudah tiada dan seminggu 2 kali anak-anaknya giliran mengantar nasi ke terminal. Kekayaan Mbah So hanyalah nyawa dan baju yang melekat di badan. Baju itu di cuci tiap hari agar orang tak menutup hidung saat berdekatan dengannya. Tempat tidurnya beralaskan kardus di depan toilet di mana kami bertemu.
Setelah menghabiskan dua liter air mineral untuk basuh-basuh, cuci muka, bedakan dan menyisir rambut di toilet tadi, kepala saya rupanya mulai enak. Dengan kondisi demikian bisa menanggapi Mbah So dan melontarkan beberapa pertanyaan. Seperti dengan cara hidup seperti itu ia masih sehat wal afiat sampai sekarang, apa rahasianya?
Menurut Simbah memang banyak yang bertanya tentang rahasia kesehatannya. “Tapi untuk orang seperti saya mana ada rahasia-rahasian, Bu. Kalaupun bisa disebut rahasia, andalan saya cuma Gusti Allah”. Saya agak terhenyak dan mengangguki jawaban klise namun sukar di bantah ini.
Saya menatap ke luar jendela. Pertemuan seperti di Terminal Purabaya – Surabaya ini sering terjadi. Ada yang sempat saya catat dan menuliskan di sini. Kebanyakan tidak, lewat begitu saja ketika sampai di rumah
Akhirnya Saya Bisa Berpikir
Pukul 7 malam kami sudah check in, makan dan duduk manis di bandara. Saat itu ingat kembali pada Mbak So, ingat kalimat, “saya cuma punya Gusti Allah..”…Dan tadi saya menganggapnya jawaban klise…Tiba-tiba ada yang mengalir dingin dalam dada. “Kok ya gue tadi segitunya ya?”
Seharusnya itu bukan jawaban klise karena Mbah So adalah bukti hidup yang diperlihatkan Allah di depan mata saya. Karena tak ada yang tak mungkin bagi-Nya, Mbah So yang senantiasa berbalut angin malam namun memasrahkan hidupnya kepada Yang Diatas toh masih sehat di usia 80 tahun lebihnya.
Terakhir…
Begitu lah sedikit cerita dari pertemuan saya dengan Mbah So di Terminal Purabaya – Surabaya. Untuk teman-teman dari luar Surabaya yang kebetulan terdampar di Purabaya dan pengen menikmati Surabaya sejenak, bisa mencari Mbah So di depan toilet umum. Menurutnya dia selalu mangkal di sana.
@eviindrawanto