“Gunung itu tampak tinggi kalau dilihat dari bawah. Namun jika sudah di atas bawah itu terlihat rendah. Namun isunya bukan seberapa tinggi atau seberapa rendah, tapi seberapa tangguh seseorang menghadapi tantangan saat mendaki. Sebab tinggi-rendah atau atas-bawah hanya soal sudut pandang”.
Kalimat “sok motivasi’ ini muncul dari mulut kerabat saya yang “sok bijak”. Rupanya dia menganggap saya ragu menerima ajakan tantangan satu hari dalam trekking jajal dengkul. Saat itu saya memang termangu memandang ke bukit yang tak jauh dari belakang rumahnya. Serius deh gondok mendengar kalimat itu. Siapa yang gentar? Ingat ya saya cuma termangu kok, bagaimana pohon pisang, singkong dan cengkeh bisa tumbuh di lereng bukit yang curam? Bagaimana caranya petani tak tergelincir saat menanam dan menyiangi tumbuhan yang ada di sana? Apakah kaki mereka punya rem ? Jadi saat itu saya sedang memperhitungkan medan, bukan sedang ragu untuk memulai trekking jajal dengkul seperti yang diusulkannya.
Dusun itu terletak dalam lembah di jajaran kaki Pegunungan Halimun. Seperti umumnya kontruksi dusun di Indonesia, tempat tinggal berdiri dalam satu cluster berdampingan dengan sawah dan ladang. Jalan utama bisa dilewati satu mobil. Antar rumah dihubungkan oleh gang kecil yang di tepinya menjalar pipa paralon untuk mengalirkan air ke kamar mandi langsung dari mata air pegunungan.
Sore itu kerabat kami mengajak trekking dalam kampung yang sudah jadi tempat tinggalnya selama 2 tahun terakhir. Kami menginap selama 2 hari di sini. Rutenya adalah melintasi jalan dusun, sawah lalu naik ke atas bukit yang membuat saya termangu tadi. Sejujurnya dari membayangkan saja saya sudah lelah. Jalan kaki di atas landscape berkontur, turun naik yang seakan tak ada habisnya, bukan daya tarik utama buat saya. Namun mantan pacar menghibur bahwa itu tak seberapa untuk seseorang yang sebulan sebelumnya naik ke Bromo. Untungnya lagi di tiap pengkolan bertemu dengan muka-muka ramah dan senyum malu-malu dari para bocah saat kami bersiribok tatap. Belum lagi pemandangan hijau dari jejeran Halimun yang seolah memagari dusun dengan sawah terasering sebagai berandanya. Jadi lah rasa lelah itu lumer dalam sekelumit keindahan yang muncul dari dalam hati.
Memori masa kecil saya mencatat bahwa di kampung kelahiran, pematang sawah adalah jalan setapak yang bisa di lalui. Fungsinya tak hanya membatasi lahan tapi juga bisa digunakan sebagai jalan pintas menuju kampung sebelah. Sayangnya sekarang pematang seperti itu sudah punah. Yang disebut pematang masa kini hanya segumpal lumpur yang dijejerkan membentuk pematang. Rupanya itu pula yang terjadi pada sawah-sawah di cerukan Halimun ini. Pemilik mengefisienkan tanah sehingga pematang pun dipacul agar bisa menambah beberapa barisan tanaman padi diatasnya. Sekalipun begitu secara keseluruhan memandangi petak sawah berlatar kampung dengan masjid dan pohon kelapa di lembah Halimun ini tetap saja atraksi alam mewah di mata saya. Tempat seperti ini akan membuat saya akan betah trekking jajal dengkul berkali-kali.
Ladang bukit tak bernama ini diapit kampung di sebelah kiri dan sungai di sebelah kanan. Saya tak tahu berapa panjang ia membujur dari Barat ke Timur dari dusun ini. Yang jelas sebagai kebun ia dimiliki oleh 2 orang penduduk. Mereka hanya menunjuk sungai dan beberapa batang pohon sebagai patok tanah masing-masing. Tanaman utamanya cengkeh. Sementara pisang, singkong, kebun timun, kapol dan lain-lain hanya sebagai tumpang sari. Yang menarik adalah tanaman tumpang sari ini bukan milik sang pemilik kebun. Semua hasil panen akan pergi pada perawat kebun. Sebuah kerja sama saling menguntungkan saya kira. Selama menunggu panen cengkeh tiba pemilik ladang tak perlu mengeluarkan uang untuk menggaji para perawat kebun tapi cukup dari hasil panen tanaman tumpang sari. Jadi ingat kalimat : “Tanah adalah ibumu yang akan memberi makan seluruh umat manusia. Maka perlakukan lah ia dengan hormat”.
Walau menurut kerabat saya bukit itu tak seberapa tinggi, sampai di atas tetap saja ngos-ngosan dengan peluh membasahi tubuh dari ujung rambut sampai mata kaki. Saya sampai “ngedeprok” di rumput untuk menenangkan jantung yang memukul-mukul sampai ke telinga. Kalau saja lebih tinggi 10 meter lagi, dari puncak tertinggi kebun itu saya akan melihat bentangan Samudera Hindia di kejauhan. Untung lah tidak. Kalau iya mungkin saya sudah pingsan sebelum sempat melihatnya. Namun kerabat saya itu benar bahwa sesampai di atas ternyata bawah itu terlihat lebih mudah di jangkau.
Sahabat sering kah trekking jajal dengkul?
@eviindrawanto