Saya mengenal Belitung lewat Film Laskar Pelangi. Sebelum itu tak punya satu ide pun tentang negeri ini. Dapat dimaklumi jika saya pun tidak tahu letaknya di sebelah mana Propinsi Indonesia. Kalau disebutkan sebagai negeri penghasil Timah, seperti pertanyaan dalam pelajaran IPS tempo dulu, pikiran saya pasti akan mengarah ke Buton (padahal Buton penghasil aspal yah hehehe..). Bukan ke negeri yang pantai-pantainya banyak sekali bergelimpangan batu granit dan pantai itu. Untung lah Film hasil adaptasi dari novel Andrea Hirata itu sukses besar yang berujung pada ledakan pariwisata tempat dimana cerita itu berasal. Berita-berita tentang kecantikan Bangka-Belitung pun kian masif. Tentang pantai-pantainya yang berpasir putih, airnya yang biru jernih, dan berbagai kuliner khas yang diulas dari berbagai sudut pandang. Apa lagi kalau membaca ulasan blogger yang biasanya menulis pengalaman lebih dalam ketimbang kabar di koran, serasa sudah berada di sana. Tentu itu semua membangkitkan mimpi bahwa suatu saat saya harus jalan-jalan ke Bangka-Belitung. Karena itu saya pun rajin hunting tiket promo. Dan di tahun 2012 mimpi itu di kabulkan Allah. Suatu pagi saya pun mendarat di Bangka (cerita tentang Bangka menyusul), terus ke Belitung dan lanjut berperahu ke pulau Lengkuas.
Dari Belitung ada 3 titik keberangkatan menuju Pulau Lengkuas. Tanjung Binga, Tanjung Kelayang, dan Tanjung Tinggi…. Kami berangkat dari Kelayang dengan menggunakan perahu nelayan yang menurut taksiran akan memakan waktu sekitar 30 menit.
Begitu berada di air pemandangan lepas ke arah pantai Belitung pun terpampang di depan mata. Berhadapan dengan tebaran pulau-pulau kecil penuh batu granit di sana-sini, air biru jernih, karang, dan ikan-ikan kecil yang berenang kian kemari adalah atraksi alam mewah. Itu semua membuat Belitong sangat berkelas untuk wisata bahari. Saya berpikir bahwa bahwa keadaan alamnya itu sedikit kontadiksi dengan kenyataan sosial yang dipotret dalam film Laskar Pelangi. Berakhirnya masa keemasan tambang timah, seperti bekas lubang penggalian yang ditinggalkan, seperti itu pulalah kondisi ekonomi sebagian besar penduduk, compang-camping, untuk makan dan bersekolah saja susah. Semoga saja kondisi seperti dalam film itu sekarang sudah membaik. Apa lagi jika pariwisata dikelola dengan baik, timah biru mereka yang sangat berharga ini tentu bisa menggerakan perekonomian rakyat.
Kalau saya naik ke atas mercusuar pemandangannya akan seperti iniFoto di atas minjam dari Blog.Fitb.ITB.
Daya tarik utama Pulau Lengkuas adalah mercusuar peninggalan Belanda yang selesai dibangun tahun 1882. Sudah tua namun masih berfungsi hingga saat ini. Asal tertib para wisatawan diijinkan menaiki mercusuar tersebut. Dari atas mata kita bebas mengawasi keadaan sekeliling 360 derajat yang tentu asyik untuk membuat foto-foto spektakuler. Namun saya tidak naik saudara-saudara! Sebuah keputusan yang menimbulkan “sedikit sesal” saat ini. Padahal saya pernah dan berani naik Menara Syahbandar di Museum Bahari, merasakan sensasi saat bangunannya goyang-goyang ditiup angin. Lah kok di Pulau Lengkuas saya kehilangan nyali yah? Habis mau gimana lagi? Waktu itu lutut baru saja pulih dari cidera ditambah lagi memang ngeper juga manjat menara 12 tingkat dengan ketinggian kurang lebih 50 meter. Sudah begitu tangganya berderit-derit pula.
Kebanyakan wisatawan akan menghabiskan waktu main air di pantai sebelah Timur mercusuar, landai dan berpasir lembut. Kalau disebelah Barat bagus banget untuk hunting foto, bermain di atas golekan batu-batu granit raksasa, mengarah lensa ke pulau terdekat yang isinya serupa. Atau berperahu sebentar agak ke tengah dimana airnya lebih jernih dan bersih untuk main snorkeling. Seru banget. Mau nyebur-nyebur sampai pingsan juga boleh di sini sehingga tak terasa waktu pun berlalu dan haripun masuk ke ambang sore…
@eviindrawanto
Yang belajar lebih baik akan jadi yang terbaik