Kisah Wisuda ke Lima – Kalau lah ada anak kecil yang senang pada buku-buku pengetahuan alam seperti Serial Pustaka Times Life, sering bertanya apa ini-apa itu, unsecure waktu adiknya lahir dengan sering bertanya, “Mama sayang Adit tah?”, tak berubah cita-citanya dari TK sampai tamat SMA, itu lah anak kecil yang memanggil saya mama.
Iya anak kecil itu bercita-cita jadi dokter. Motivasinya sederhana, agar kalau mama-papa sakit tak perlu keluar uang ke rumah sakit karena ia bisa mengobati sendiri. Begitu pula bila yang sakit adalah Popo ( nenek dari pihak papa), atau Aki dan Uci ( orang tua mama), ia akan merawat mereka sampai sembuh. Ini lah kisah wisuda ke lima yang ia jalani sebagai sarjana kedokteran.
Memulai Karier Sebagai Tenaga Kesehatan
Anak kecil itu sekarang sudah tumbuh jadi seorang pria muda. Dan pria muda itu tanggal 4 Oktober 2014 kemarin sudah diwisuda sebagai Sarjana Kedokteran oleh dekan Fakultasnya Universitas Tarumanagara yang berlangsung di JCC.
Berarti ini adalah kisah wisuda kelima sejak tamat TK. Sebuah perjalanan pendidikan yang cukup panjang sekalipun belum usai. Karena Insya Allah akan ada lagi wisuda untuk S2 dan S3. Semoga Allah mengabulkan cita-citanya dan teman-teman yang kebetulan membaca catatan ini menolong mengaminkannya. Terima kasih.
Saya pikir di dunia ini tak satupun orang tua yang tak bangga melihat anak mereka berhasil menyelesaikan pendidikan tingginya. Apa lagi saat memandangi mereka mengenakan baju wisuda lengkap dengan toganya. Untuk saya, dada rasanya nyuusssss, seribu satu…. Campur aduk antara rasa bahagia, syukur, lega, dan harap-harap cemas memikirkan masa depannya.
Baca juga : Selamat Ulang Tahun ke 20, Dit
Saya sempat melamun saat menatap kisah wisudah ke lima ini berlangsung. Dari kejauhan, ke bandana hijau yang tergantung di punggungnya. Ia duduk di barisan paling depan bersama 79 kolega, berjejer rapi bersama dua ribuan lebih wisudawan dan wisudawati lainnya.
Saya tahu bahwa ini belum lah apa-apa. Masa depan masih diselimuti kabut misteri. Ia masih akan menaklukan banyak rintangan. Tak hanya selama co ass tapi juga setelah terjun ke masyarakat. Doa saya tentunya semua akan baik-baik saja.
Mendoakan agar ia bisa “bermain cantik” antara mempertahan idealisme yang sudah kami tanamankan sejak dini dengan kenyataan dunia kesehatan Indonesia yang harus dihadapi. Dan jauh di dalam hati saya amat percaya bahwa dunia akan membuka pintu bagi anak sebaik Adit. Insya Allah dia takan jadi korban idealismenya sendiri maupun oleh lingkungan yang akan ia geluti.
Baca juga : Selamat ulang tahun ke-17, Dit
Perjuangan Jadi Seorang Dokter dan Kisah Wisuda
Jadi dokter ternyata memang tidak mudah. Kalau ada yang berkata bahwa untuk jadi dokter sekarang cuma butuh duit, sebaiknya menarik ucapannya sebelum punya anak kuliah di kedokteran. Saya lah saksi hidup bagai mana ia belajar.
Ingatan juga melayang pada saat awal ia jadi mahasiswa. Karena terlalu asyik di organisasi dua blok tidak lulus. Bagaimana setelah itu dia berjuang untuk membayar. Pada semester-semester selanjutnya bagaimana ia membalik angka, yang walau tidak jadi lulusan terbaik, membuat kami sudah bangga dengan IP 3 komanya itu.
Apa lagi kalau membaca berbagai pemikirannya pada white board yang tergantung di dinding kamar kost, saya merasa amat terberkati sudah dititipi anak seperti dirinya. Kisah wisuda ke lima ini hanya sekelumit dari yang tertulis di sana.
Untuk Adit selamat menjalani co ass. Kisah wisuda ke lima ini adalah awal hidup yang baru. Semoga selalu dituntun, selalu diberi pikiran terang, dan kekuatan oleh Sang Maha Empunya. Semoga selalu menemukan jalan dalam membantu orang yang membutuhkan. Mama tak perlu menuliskan kalimat nyelimet untuk mengungkap harapan ini. Ingat saja bahwa membantu orang pada akhirnya akan membantu diri kita sendiri.
Love you as always 🙂
@eviindrawanto
Yang belajar lebih baik akan jadi yang terbaik