Senja di Ladang Garam Jeneponto – Diantara teman-teman yang melakukan perjalanan darat ke luar kota, siapa yang lebih suka memandang ke luar jendela? Atau lebih banyak tidur, main gadget atau menekuri kotak sempit dalam kendaraan?
Kalau saya lebih banyak sukanya melepas pandang ke luar sambil main HP :). Ada kenikmatan tersendiri kala menatap sawah, rumah, sungai, langit dan aktivitas manusia yang sedang dilalui. Apa lagi jika itu perjalanan untuk pertama kali, saya akan meletotot terus menikmati pemandangan yang bertukar silih berganti.
Baca juga Kenalkan Biralle Punu – Jagung Pulut Makassar
Kelakuan ini pernah mengundang komentar suami : “Mirip orang yang belum pernah melancong” katanya. Bukan saya dong kalau ucapan seperti itu membuat saya berhenti. Saya hanya akan berhenti jika kepala pusing atau sakit di leher mulai terasa.
Lewat cara ini saya merasa mendapat pengalaman yang berguna memperkaya sudut pandang. Membantu melihat lebih jernih penempatan diri sendiri dalam kehidupan. Seperti perjumpaan tak terduga dengan Tambak  Garam Jeneponto dalam perjalanan menuju Bulukumba.
Bersua Tambak Garam Jeneponto Dalam Perjalanan ke Bulukumba
sesaat sebelum hari ditutup oleh selimut malam. Saya langsung merasa jadi manusia paling beruntung sedunia. Seakan keromantisan senja itu hanya dikhususkan untuk menyapa saya yang pertama kali menginjakan kaki di Sulawesi Selatan.
Baca juga Sunset di Pantai Merpati Bulukumba
Memang begitu lah. Setelah memuaskan hasrat menikmati keindahan Pantai Losari tiba saatnya meneruskan perjalanan ke Bulukumba. Kendaraan melaju pelan membelah kota Makassar lalu melintasi jembatan yang dibawahnya mengalir Sungai Jeneberang berair coklat.
Setelah itu meyusuri Sungai Maros yang kerontang dan masuk ke Kabupaten Gowa. Dari Gowa pindah ke Takalar hingga melewati gerbang bertuliskan Selamat Datang di Kabupaten Jeneponto.
Baca juga Beningnya Air Pantai Tanjung Bira
Jalanan beraspal mulus. Di kiri dan kanan sawah tetap menguning dari sisa jeraminya. Ladang sedang meranggas akibat kemarau di Bulan Agustus. Rumah-rumah kayu bergaya Bugis menghilang dan muncul silih berganti. Sampai suatu ketika mata saya menangkap semacam kolam berpetak-petak di sebelah kanan jalan. Matahari semakin dekat menuju kaki langit. Cahaya tembaga membias ke permukaan air. ” Itu tambak garam” Ujar sahabat yang mengantar kami.
Tambak Garam di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto
Ladang atau tambak garam itu tepatnya berada di Kelurahan Palengu, Kecamatan Bangkala.
Lahan di bagi berkotak-kotak, menghampar sejak dari tepi jalan sampai ke tepi laut. Di pematang gunung-gunungan kecil garam selesai produksi tadi siang. Tak terlihat camar beterbangan seperti halnya pemandangan sore di tepi pantai. Mungkin daerah ini lebih panas atau ada alasan lainnya.
Baca juga Senja di Banda Neira Maluku
Di tengah tambak berdiri pondok-pondok bambu sebagai gudang garam. Di kejauhan terlihat bayang-bayang manusia memikul garam, semakin lama semakin dekat dan akhirnya sampai juga ke tepi jalan tak jauh dari tempat saya berdiri.
Romantisme Turis
Senja di ladang garam Jeneponto ini sungguh romantis. Namun tentu ini hanya pandangan dangkal seorang pelintas yang sekedar singgah, memotret, menggagumi keindahannya, kemudian pergi.
Pengalaman lebih berwarna , menajamkan pemahaman dan romatisme sesungguhnya dari tambak garam ini hanya akan dapat jika saya berinteraksi dengan nara sumber. Misalnya saya melangkah ke warung yang tak jauh dari sana lalu bertanya pada bapak-bapak yang sedang menikmati kopi.
Apakah persoalan mereka juga sama dengan persoalan petani garam di tempat lain? Terlibat juga dengan sistem ijon lantas terjerat hutang? Apa kah mereka sudah merasa layak mendapat harga yang ditawarkan tengkulak? Kemana saja garam-garam ini pergi? Berapa skala produksi? Bagaimana mereka bertahan di tengah ketidak menentuan cuaca?
Tapi saya hanya seorang pelintas. Menikmati keindahan bayang-bayang matahari sebelum tenggelam.
Saat itu saya tak bisa membebaskan diri dari dilema. Untuk apa semua pertanyaan itu? Sekedar memuaskan rasa ingin tahu, bahan menulis di blog atau kah pertanyaan-pertanyaan itu bisa membantu mereka?
Sapuan angin beraroma air laut di rambut saya, peringatan suami bahwa waktunya kurang tepat untuk melamun, membawa saya kembali ke realita.
Senja kian menghitam. Kami kembali naik mobil, meneruskan perjalanan ke Bulukumba. Saya pun menerima kenyataan hanya sebagai pelintas yang sedang meromantiskan senja di tambak garam Jeneponto.
@eviindrawanto
Yang belajar lebih baik akan jadi yang terbaik