Beberapa jadwal kami di Malang batal. Jadi waktu kosong dialihkan untuk piknik. Setelah menggila di BNS, melongok Batu Secret Zoo, dan Makan Malam Romantis, sesungguhnya kami tak punya rencana khusus hari itu. Paling-paling wisata kuliner setelah itu balik ke hotel menunggu sore untuk meeting berikutnya.
Maka usai sarapan kami naik kembali ke Sky Garden. Mengamati saat cahaya lembut mentari pagi menyiram kota Malang. Tentu saja tak lupa foto-fotoan. Suami meminta saya berpose di beberapa sudut, persis seperti anak perempuannya.
Baca juga:
Saat itu lah kami disapa Mas Tahlal, anak muda ganteng yang bekerja di CIMB Malang. Pagi itu ia sedang bertugas di Best Western OJ. Walau baru kenal kami pun segera akrab. Dan Mas Tahlal pun bercerita bahwa nanti malam ia bersama ponakan dan temannya akan wisata sunrise di Bromo, welcome jika kami ingin bergabung. Telapak kaki saya yang gatal langsung saja cenut-cenut mendengar itu, lalu membuat bahasa tubuh “memaksa” agar suami setuju.
Ikut Sunrise Bromo Tour
Sekitar pukul 12 malam kami sudah di jemput di hotel. Check out sekalian sebab setelahnya akan langsung ke Surabaya. Di dalam mobil sudah ada Mas Thalal, ponakannya serta 2 orang peserta Sunrise Bromo Tour Lainnya. Salah satunya adalah Mas Nathan. Mantan pramugara airlines terkemuka yang sekarang jadi manajer pemasaran departemen store yang terkemukan pula.
Baca juga:
Saat bersalaman baru sadar bahwa traveling kali ini akan terasa lain. Bagaimana tidak? Berada dalam rombongan anak muda yang usia mereka tidak jauh dari anak sendiri. Mereka sangat bersemangat. Sepanjang jalan penuh obrolan disertai canda di sana-sini. Perjalanan menembus pekatnya malam tidak begitu terasa.
Setelah 2 jam berkendara tahu-tahu kami sudah sampai di gerbang Taman Nasional Bromo -Tengger.
Dingin, Ramai Tapi Peserta Bromo Sunrise Tour Membludak
Saya merasa bahwa Bromo malam itu crowded sekali. Selain banyak berpapasan dengan berbagai jeep hardtop, di muka pintu gerbang sudah ada lima kendaraan antri untuk beli tiket. Saat melihat kilasan bendera merah putih dari jauh baru sadar bahwa hari itu tanggal 17 Agustus. Tapi belum ada perasaan bahwa Bromo sunrise tour ini setengah gagal.
Kesempatn menunggu masuk saya gunakan membeli topi sebo dan sarung tangan rajut. Teman di Malang mengatakan Bromo di malam bulan Agustus akan dingin sekali.
Baca juga:
Malam begitu takzim. Mendekati subuh suhu semakin dingin. Halimun turun dengan pekat yang membuat jarak pandang hanya 2 meter ke depan. Mestinya saat itu semua penghuni kawasan taman nasional tertidur lelap.
Namun keheningan itu dipecah oleh mesin jeep yang meraung-raung menjalari belokan, tanjakan, dan turunan. Diantara kantuk dan rasa ingin tahu, saya mengagumi kelihaian sang pengemudi menguasai medan. Dengan jarak pandang begitu pendek, halimun dan kepulan dari jalanan berpasir, sedikit saja salah belok mungkin perjalanan itu akan berakhir ke dalam jurang atau menumbuk dinding pegunungan.
Makin ke dalam iringan kendaraan semakin rapat. Malah mendekati Bukit Penanjakan suasana mulai gaduh. Selain jeep, puluhan kendaraan roda dua pun ikut terengah-engah naik turun tanjakan. Beberapa diantaranya terpaksa menepi karena roda motor tak kuat melawan cengkeraman pasir halus nan kelabu.
Saya merasa subuh itu Kawasan Taman Nasional Bromo -Tengger ini mirip pasar malam ketimbang pegunungan.
Bromo Sunrise View Point Penanjakan 1
Akhirnya sekitar pukul 3 pagi kami tiba di Bukit Penanjakan. Saya langsung mengigil kedinginan. Padahal sudah mengenakan dua lapis baju hangat, topi sebo dan sarung tangan. Agustus dan September merupakan puncak musim panas dengan suhu saat itu sekitar 5 derajat Celcius.
Di perhentian terakhir suasana semakin gaduh, manusia dan kendaraan berjalan himpit-himpitan, mirip pasar kaget. Sungguh tak terbayang sebelumnya begitu besar animo untuk merayakan hari kemerdekaan di Bromo. Tak hanya penduduk lokal, yang berkulit putih pun terlihat di sana-sini.
Baca juga:
Pantas saja tadi Mas Pengemudi menawarkan spot Bromo sunrise view yang lain. Ia mengatakan bahwa Penanjakan 1 merupakan spot pertama yang dibuat untuk melihat matahari terbit. Semua orang akan menuju tempat itu. Dan pastinya akan ramai sekali.
Berhubung tak seorang pun dalam rombongan tahu betapa dahsyatnya yang disebut “ramai sekali” itu, ya dengan “lugunya” kami tetap memilih menuju spot Penanjakan satu. Sekarang beginilah, sudah cari tempat parkir susah, saya pun mulai dilanda pesimistis. Sebab sebelumnya sudah searching di internet bahwa teras Penanjakan 1 tak begitu luas, apa iya bisa menampung sekian banyak orang?
Begini Ceritanya Bromo Sunrise Tour yang Setengah Gagal itu
Dari tempat parkir kita perlu berjalan sekitar seratus meter lagi menuju view point. Di kanan-kiri berjejer warung kopi. Diberkati lah pedagangnya karena pagi menjelang subuh itu warung sesak oleh pelanggan. Ada yang menikmati jagung rebus, menggigit gorengan, dan makan.
Saya terpaksa menelan ludah saja sekalipun sangat ingin menghangatkan diri dengan segelas kopi dan jelas takan menyentuh gorengan di pagi buta seperti itu. Sesampai di spot view Penanjakan satu ini saya pun masih terkesima. Bangku-bangku kayu sudah terisi penuh.
Pukul berapa mereka sampai, pikir saya sambil mengedar pandang ke beranda yang berhadapan dengan gunung Bromo, Semeru dan Butak. Lembah di bawahnya hitam pekat. Di langit bintang-bintang berkelip seperti berlian yang terserak di atas permadani kelabu. Dari Barat mengalir angin yang membuat saya tambah kedinginan. Di sana baru terasa betapa nikmatnya pelukan suami. Padahal kalau hari biasa pasti akan ditolak dengan ucapan “gerah ah!”
Detik dan menit berlalu. Pengunjung masih berdatangan. Sekarang saya dan suami terjepit di tengah, terpisah dari rombongan Mas Tahlal. Diantara bahu dan kepala-kepala asing yang tak saya kenal, yang tampak melegakan hanya langit di atas.
Sayapun harus sabar membiarkan karena masih saja ada yang bolak-balik di tempat sesempit itu. Untung lah tak lama teriakan-teriakan pengunjung pun pecah. Seiring muncratnya sapuan jingga di langit timur. Perlahan guratannya membesar, membuat gelimpang awan kemerahan berlatar langit biru.
Dan saya hanya bisa mengusap dada. Sebab garis pandang saya ke arah kaki langit langsung di blok oleh kepala, ratusan pasang tangan yang mengangkat camera, serta tongkat narsis. Rupanya benar bahwa keindahan pun punya nasib sendiri-sendiri.
Menuju Bukit Teletubbies Bromo
Kekecewaan di Penanjakan 1 tergantikan saat jeep perlahan turun ke lembah Bromo. Bukit Teletubbies yang memagarinya sudah tersibak di mentari pagi.
Saya tak tahu mengapa disebut Bukit Teletubbies, sungguh nama yang tak cocok. Saya lebih suka menyebutnya Bukit Savanah. Lebih romantas. Sekarang membentang, memendarkan matahari dengan membentuk tirai cahaya.
Sekalipun pepohonan meranggas, jejak hujan selama ribuan tahun pada gunung di depan, berkerut magis. Sungguh keindahan purba yang “ngangeni”. Keleluasaan dan kehangatan matahari membuat saya kembali bernapas lega. Jeep dan harstop yang terparkir dan kelihatan kecil di kejauhan membuat Savanah terasa sunyi.
Lembah Bromo yang Penuh Kotoran Kuda
Sekarang tiba waktunya mendaki ke kawah Bromo. Pilihannya cuma dua, berjalan kaki atau dibantu separuhnya dengan kuda. Saya memilih yang terakhir.
Dengan uang lima puluh ribu saya bisa menyimpan napas dan menjaga lutut. Sayangnya Pengelola Kawasan Wisata Bromo dan para pemilik kuda lebih jorok dari kuda yang saya naiki. Mereka membiarkan kotoran hewan penyangga ekonomi mereka terserak di mana-mana.
Bayangkan baunya! Bayangkan bagaimana kotoran itu menyatu bersama abu, terbang dan terhirup oleh wisatawan. Entah mengapa saya merasa malu pada bule-bule, turis Jepang, Korea dan China yang terlihat saat itu menutupi mulut mereka dengan masker.
Kalau ini disebut rendah diri, biar lah! Tak ada yang bisa dibanggakan dari tempat wisata cantik tapi penuh kotoran hewan. Mestinya di tiap kuda dipasang kantung penampung kotoran, dikumpulkan di satu tempat, kan bisa nanti diolah jadi pupuk kandang.
Saat berdiri di mulut kawah Gunung Bromo, memandang ke dalam cekungan mangkok terbuka, Bromo sunrise tour yang setengah gagal itu langsung tergantikan.
Di sebelah kiri kawah, di sebelah kanan lembah, saya seperti berada di dua dunia. Gembira di tengah eksotisme sekaligus ngeri. Bagaimana kalau tiba-tiba gempa bumi? Aihhh..enggak banget deh kesimpulannya 🙂
@eviindrawanto
Yang belajar lebih baik akan jadi yang terbaik