Wisata Lereng Gunung Tanggamus – Hari pertama dariĀ rangkaian Festival Teluk Semaka 2014, peserta D’Semaka Tour dibawa Mas Elvan (Dinas Pariwisata) menjelajah lerengĀ Gunung Tanggamus. Gunung tertinggi kedua setelah Gunung Pesagi di Propinsi Lampung – Indonesia. – Makan bancakan di kebun –
Gunung Tanggamus merupakanĀ salah satu destinasiĀ para pecinta gunung di Lampung. Jadi latar belakang tiap kali kita memotret landscape Kotaagung. Menimbulkan penasaran karena pernah mendengar cerita mistis tentangnya.
Tujuan D’Semaka TourĀ tidak mendaki sampai puncak. Cukup trekking, menikmati panorama indah sebuah lereng gunung, mendaki sampai Sonokeling Base Camp. Tempat perhentian pertama jalur pendakian Gunung Tanggamus.
Jajal Dengkul – Wisata Lereng Gunung Tanggamus
Sekita pukul sepuluh pagi kami tiba di desa Sido Katon sebagai titik awal trekking. Matahari bersinar cerah. Hawa sejuk walau tidak sedang berangin. Begitu turun dari bus saya mengambil napas dalam-dalam agarĀ bisa menghirup aroma tanah. Kawan-kawan langsung bergerombol di halaman sebuah rumah. Rupanya di sana sedang mekar bunga bokor dan mawar. Membuat pemandangan sangat asri.
Saya sudah beberapa kali trekking. Terakhir jajal dengkul di sebuah desa di kaki Pegunungan Halimun. Jadi nyantai saja saat Mas Hanung membawa kami berbelok dari jalan desa berbatu ke jalan setapak. Kami berbaris satu persatu menyusuri jalan menanjak sambil menikmati pemandangan hijau dari ladang sayuran di kiri-kanan.
Saya merasa gagah beriringan dengan para blogger muda yang kebanyakan usianya sebaya dengan anak-anak saya. Beberapa menit kemudian : “Lah kok jalannya naik terus ya, tak terlihat tanda-tanda berhenti?” pikir saya mulai menakar. Seperempat sampai setengah Base Camp Sonokeling belum terlihat juga.
Baca jugaĀ Ā Wisata Ulubelu Tanggamus
Saya menghibur diri, tak mengapa, waktu jajal dengkul dulu saya jalan selama 2 jam. Saya pasti kuat. Tiga perempat jam, saya mulai tertinggal. TadinyaĀ di barisan paling muka, bergeser ke tengah dan sekarang paling buncit. Tapi kawan-kawan masih jalan terus, tidak terlihat tanda-tandaĀ akan segera berhenti.
Keringat mulai menjalar dari kepala dan menjalar ke punggung. Jalan terus mendaki. Dan saya mulai berdoa sambil sesekali berhenti dengan dalih motret. Mas Yopie pun nampaknya bangkit alarmnya dengan terus mengiringi saya dari belakang.
Satu jam, alhamdulillah doa saya di jawab Allah. Tak jauh tampak sebuah pondok berdinding bambu dan beratap rumbia. Sekarang tak pakai jaim lagi. Saya mempersilahkan Mas Yopie, pak lurah dan teman yang mengawal dari belakang lanjut sementara saya akan berhenti di pondok itu.
Menyerah Meneruskan Perjalanan
Kata orang, Pejalana yang baik harus tahu dimana harus berhenti. Dan saya memutuskan pondok itu adalah pencapaian puncak saya menjelajah lereng Gunung Tanggamus. Dari pada menyusahkan orang nanti, lebih baik angkat handuk putih.
Tapi panitia tak melepas saya begitu saja di pondok terpencil itu. Mereka meninggalkan Mas Jonan dari Dinas Perhubungan. Setelah semua menghilang, ketika yang tinggal hanya kesunyian, sesekali ditenggarai suara tonggerek, saya berterima kasih telah dikawani Mas Jonan yang asal Jawa Tengah itu. Tak lama Pak Hasanudin, pemilik pondok dan si empunya ladang datang bergabung.
Ketika Panen TakĀ Memberi Harap
Perjumpaan dengan Pak Hasanudin membuka wawasan baru. Ladang-ladang sayur yang terhampar di depan sekarang tak lagi sekedar gunung yang romantis atau view indah. Di belakangnya terpahat kisah dari para pemilik maupun penggarap ladang di lereng Tanggamus ini.
Baca jugaĀ Wisata Pelelangan Ikan Tanggamus
Entah menggarap lahan sendiri yang disebut Marga atau mencuri-curi menggarap tanah pemerintah yang disebut Kawasan, mereka terpaut dalam kisah klasik petani Indonesia yang belum terbedayakan.
Pak Hasanudin menjawab keheranan saya tentang ladang tomat yang sepertinya ditelantarkan. Menurutnya, pohon tomat yang dibiarkan meranggas dan buahnya tak dipetik itu adalah bagian dari kekecewaan petani. Dengan harga jual Rp.600 perkilo, ongkos produksi saja tak menutupi. Apa lagi jika harga tersebut harus dipotong lagi ongkos ojek sebesar Rp.200/Kg. Hasil bersih yang diterima petani hanya Rp.400/kg. Itu juga tak dibayar kontan. Harus menunggu 2-3 hari sampai tomat-tomat itu terjual di Pasar Sayur Gisting.
Bersama Pak Hasanudin saya melupakan kegagalan mencapi Sonokeling Basa Camp. Bekas sopir bus antar propinsi, beranak tiga dan sudah bercucu ini langsung memanggil saya Uni saat tahu saya orang Minang.
Baca jugaĀ Khakot Tanggamus yang Spektakuler
Saya menggodanya, ” Apakah pernah punya pacara orang Padang?” Jawabnya:Ā “Banyak”Ā terkekeh sambil mengambil makan siang sederhananya yang terdiri dari nasi putih, orek tempe campur buncis dan toge. Ia meminta saya agar ikut mencicipi. Bahkan ia juga naik dan memetikan jambu untuk saya. Keramahan khas penduduk desa.
MakanĀ Bancakan di Kebun
Tiba juga waktunya berpisah dengan Pak Hasanudin. Pak Lurah Sido Kedaton mencarikan saya ojek gunung untuk turun. Walau deg-degan (bayangin berslalum di lereng gunung), namun tukang ojek saya berpengalaman membawa minimal 3 kwintal hasil panen sekali jalan. Sementara berat saya kurang dari seperempatnya. Aman!
Menjelajah wisata lereng Gunung Tanggamus ditutup makan bancakan di kebun. Daun pisang di gelar berbaris di atas selembar terpal biru di tengah kebun kol. Ibu-ibu meletakan nasi dan lauk pauk di atasnya. Ada ikan bakar, sayur asem, rebusan kol dan daun singkong, tempe goreng dan sambal rampai (tomat cherry).
Entah mengapa sambal bikinan ibu-ibu Sido Kedaton ini enak nian rasanya. Mungkin saya juga sedang lapar berat karena telah membakar energi cukup banyak. Yang jelas sambel itu membuat saya panik kala menikmatinya bersama sayuran rebus. Hanya saja, tak beberapa lama, tiba-tiba hujan seperti ditumpahkan begitu saja dari langit. Membuat semua orang terbirit-birit menyelamatkan camera dan ponsel. Sementara ibu-ibu berusaha menyelamatkan makanan yang belum tergelar ke atas daun pisang.
Makan siang bertema hujan di lereng Tanggamus ini akhirnya jadi bahan lelucon kami sampai D’Semaka Tour berakhir dua hari kemudian. Terutama kisah seseorang yang menyelamatkan semangkuk sayur asem yang sebelumnya telah menyimpan ponselĀ ke dalam celana dalam.Ā Terus ada lagi kisah petai yang terinjak saat kami berteduh berdesakan di dalam saung. Sungguh sebuah pengalaman tak terlupakan.
@eviindrawanto
Yang belajar lebih baik akan jadi yang terbaik