eviindrawanto.com – Dari Jauh Semua Tampak Indah * Beberapa hari lalu saya sedang memilah foto-foto untuk blog dan berhenti pada foto perjalanan yang diambil dari dalam pesawat. Cukup banyak. Yang bagus disimpan dalam satu folder, mayan nanti untuk tepe-tepe. Yang jelek dibiarkan di tempatnya, tak perlu seorang manusia pun tahu. Yang jelas saya memang suka memotret selama dalam pesawat udara. Walau aktivitas ini pernah disebut “norak”, tak mengghentikan saya menyorongkan lensa ke luar. Terlalu banyak pesona harus dilewatkan jika cuma duduk manis selama perjalanan. Mending menambah stock gambar untuk ilustrasi blog atau nampang di Instagram nanti. Langit biru berlapis awan putih nan lembut dalam hari yang cerah tak terkira indahnya. Apa lagi saat memasuki kepulan awan yang rasanya seperti tengah bersilancar di padang salju berteman gumpalan kapas putih. Saat mengintip puncak gunung bersapu mega yang dari jauh tampak begitu mungil mirip nasi tumpang dalam tampah. Saat ketidak jelasan batas antara laut dan daratan bisa yang menimbulkan ilusi bahwa semesta ini tak berisi apa-apa selain kehampaan. Begitu pun saat menjelang pendaratan, ketika laut dan darat sudah tampak terpisah oleh garis pantai, ketika atap gedung dan rumah seperti terbuat dari kertas karton, sungguh rugi bila saat-saat seperti itu tak diabadikan.
Tak hanya di udara, selama perjalanan di laut pun sangat banyak objek yang dari jauh semua tampak indah. Ada pulau-pulau kecil seperti taman mungil berdiri di tengah air jernih dengan langit biru di atasnya. Begitu pun di darat. Pada pemandangan ke persawahan terbuka, pola pematang, pondok kecil di tengah yang kian mencuat keindahannya bila dipandang dari jauh .
Iri Kepada Para Digital Nomad
Dalam analogi yang sama, gara-gara percaya begitu saja terhadap apa yang terlihat mata, suatu ketika saya pernah “iri berat” kepada para traveler berstatus digital nomad. Mereka yang berhari-hari, berbulan atau bertahun berada di jalan. Kok ya mereka beruntung banget bisa pindah antar negara seolah pindah antar RT saja? Apa lagi kalau ngeklik foto berisi pemandangan, budaya, dan makanan, membuat saya menelan kembali air liur yang buncah. Kalau sudah begitu berdiri lah saya di depan kaca. “Kok ya kamu kasihan amat sih di rumah terus? Jalan-jalan cuma seputaran rumah dan dapur pakai diiring musik tangis anak-anak lagi. Kenapa sih energimu cuma habis untuk dua berandal cilik itu? Mengkuatirkan mereka sakit lah, kenapa mereka tak mau makan lah, masak apa hari ini lah, atau perasaan buruk jika nilai sekolah mereka jeblok?” Nah dalam kurungan sangkar sempit seperti itu terbayang kan bagaimana indahnya melihat para digital nomad moving kesana-kemari, bebas lepas bak burung elang. Ditambah lagi sepertinya duit mereka tak berseri.
Lalu Mata Saya pun Terbuka
Dari jauh semua tampak indah. Postulat ini tak hanya berlaku pada pemandangan alam tapi juga sangat bisa digunakan menyorot akar dari rasa iri saya. Saya melupakan pepatah berumur beratus tahun bahwa rumput tetangga tampak lebih hijau. Walau uang tetap jadi isu utama mengapa tak bisa jalan kemanapun saya suka, sekarang tidak lagi memendam sengsara tiap kali melihat atau membaca catatan perjalanan seseorang. Setelah anak-anak besar, setelah waktu berpihak, setelah saya memutuskan traveling sebatas kemampuan ekonomi, mata pun terbuka. Pemahaman saya terhadap dunia traveling juga diperkaya dari membaca buku, blog, traveling related material, dan bertuka pikiran dengan beberapa travel blogger. Itu semua membawa saya pada kesimpulan : Saya tidak perlu “iri banget” lah kepada para traveler keren itu. Sebab ada harga yang harus dibayar untuk semua jalan hidup yang dipilih.
Bertahun-tahun atau berbulan-bulan berada di jalan tak cocok disebut wisatawan seperti anggapan saya selama ini. Pejalan kelas berat seperti itu adalah sebuah profesi. Mungkin profesi itu seiring hobby tapi jelas ia meminta tanggung jawab besar dan beberapa diantaranya bahkan pengorbanan. Walau tak sedikit memang kaya dari sananya, traveling semata demi kesenangan, sangat banyak traveler yang membiayai perjalanan mereka dengan menjual rumah atau barang-barang milik berharga mereka. Di perjalanan pun mereka bekerja dengan menulis untuk website-website traveling, menjual jasa blog design, menjadi guru bahasa, dan beberapa pekerjaan yang akan membuat saya mengkerut jika menempatkan kaki di sepatu mereka.
Memang untuk disebut traveler sejati tak harus selalu berdompet tebal. Untuk segmen low budget ini, sekalipun sudah sampai ke ujung dunia, foto dan cerita perjalanan mereka bisa membuat mulut kita ternganga, banyak cerita dibelakangnya sebelum mereka sampai ke sana. Mulai dari berhemat segala hal semisal sandang, papan dan pangan, mendapat sponsor dari jual porto folio dan keahlian, sampai minta pertolongan kepada kenalan, kawan, jaringan atau siapapun yang bisa membantu.
Begitu pun soal berkehidupan sosial. Walau tak sedikit dari para petualang itu jalan bersama keluarga, berpasangan, saya perhatikan banyak yang memutuskan lajang. Hidup sendiri membuat mereka bebas berlama-lama tinggal di suatu tempat. Atau berangkat kapan pun mereka mau tanpa harus memikirkan kebutuhan suami dan anak-anak yang tertinggal di rumah.
Sementara saya? Apa lah saya ini? Kalau jalan bersama suami dan anak-anak tampaknya tak begitu bermasalah. Kalau sendiri? Tujuh hari saja di luar sudah dihantui mimpi buruk. Suami dan anak-anak pada ngapain? Apakah mereka sudah makan? Suami kesepian gak ya? Dan berbagai kisah yang membuat rindu tempat tidur dan kamar mandi di rumah.
Itu lah saya..Perempuan culun yang pernah mimpi jadi petualang, digital nomad, iri setengah mampus pada para pejalan. Itu semua gegara cuma melihat kulitnya, terpaku pada pandangan mata, dan kurang peduli cerita di belakang panggung . Untungnya seiring usia, ketika saya mamppu mendekati kenyataan, baru sadar bahwa digital nomad bukan lah garis hidup yang tepat untuk dijalani. Apa lagi kalau di jalan paling ogah berhitung bak akuntan publik. Untuk keuangan terbatas mana bisa survive di jalan kalau gayanya seperti itu?
Jadi mari jadi wisatawan saja. Pergi beberapa hari setelah itu pulang meneruskan profesi kucing dapur. Setelah itu buat catatan perjalanan dan sebut diri travel blogger. Merdeka!
eviindrawanto
The only thing you need for a travel is curiosity.