eviindrawanto.com – Propinsi Lampung itu ibarat gadis cantik pingitan. Keindahannya nyata, dipuji orang namun tak banyak yang melihat. Dan yang disebut keindahan dalam perspektif pejalan tentu bukan hanya kecantikan alam. Cara hidup masyarakat beserta sumber ekonomi yang menghidupi mereka adalah perpustakaan hidup yang darinya bisa ditarik banyak pembelajaran. Seperti yang terjadi pada kunjungan saya suatu pagi di Kampung Nelayan Kuala Stabas Krui. Terletak di Kelurahan Pasar Krui, Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat (Lambar), tempat berlabuh perahu, dan wadah perdagangan ikan antara nelayan lokal dengan nelayan dari Pulau Jawa dan Makassar.
Baca juga: — > Pesona Alam Ulubelu Kabupaten Tanggamus
Bangun di hari pertama di Krui pagi masih menyisakan rintik hujan yang saya dengar sejak subuh. Dengan membawa secangkir teh hangat beringsut ke beranda Hotel Mulia yang menghadap ke jalan raya. Di sana disambut kelopak Kamboja Jepang merah muda dan Bougenville putih, berkedip-kedip ditimpa rinai gerimis. Segar. Angin lembut membawa aroma laut bersamanya. Tak terlihat seorang pun melintas. Saat itu lah mata saya terhenti pada bangunan compang-camping di seberang jalan. Atap, pintu dan tembok belakang tak utuh yang menjadi bingkai pemandangan laut di belakangnya. Suasana masih berkabut namun airnya hijau tosca dan bening.
Gerimis masih setia saat saya menyeberangi jalan menuju gedung tua itu. Sendirian. Meninggalkan suami dan anak-anak yang masih tidur. Penasaran sebab kemarin saat tiba saya tidak memperhatikan bangunan ini.
Bercengkerama di Kampung Nelayan Kuala Stabas
Saya memanjat tembok rendah yang dulunya mungkin pagar. Melompat dan berjalan ke tengah ruangan lebar tanpa sekat. Di atas, langit Krui tanpa awan mengintip dari atap yang runtuh. Dari arah muka, melalui dinding jebol, terhampar lah laut, perahu-perahu yang sedang bersandar, nelayan yang sedang mengangkat keranjang, dan anak-anak sedang bermain. Seketika saya merasa seperti jadi salah satu anak Pevensie dalam seri The Chronicles of Narnia. Petualangan  Lucy dan Edmund Pevensi ke negeri Narnia selalu di mulia dari sebuah pintu dalam lemari. Dan saya masuk ke Kampung Nelayan Kuala Stabas melalui pintu rusak dari sebuah gudang tua
Baca juga  —>  Khakot Tanggamus yang Spektakuler
Saya pun segera balik langkah. Membangunkan suami dan anak-anak untuk menceritakan penemuan itu. Sebab tak seorang pun diantara mereka pernah melihat desa nelayan sebelumnya tentu kesempatan seperti ini jangan disia-siakan. Dan memang tak seorangpun keberatan saya angkut ke Kampung Nelayan Kuala Stabas yang masuk lewat gudang rusak milik pengusaha kaya Lampung yang seangkatan Pak Ahmad Bakri, ayahnya Abu Rizal.
Satu-satunya cara mengenal kehidupan lokal dengan cepat adalah bertanya dan kalau bisa melebur dengan penduduknya. Insting blogger saya memudahkan hal ini. Apa lagi dengan pasukan lengkap, PD benar saya mendekati Kedai Kopi tempat bapak-bapak sedang ngerumpi. Cuma berbekal salam dan senyum apapun ditanya dapat jawaban yang ramah. Ciri khas karakter Indonesia yang terbuka yang di satu sisi menguntungkan di sisi lain mengkuatirkan.
Baca juga:
- Pantai Tanjung Setia Lampung
- Nelayan Karimunjawa Pulang Melaut
- 11 Rekomendasi Wisata Kuala Lumpur
- Pantai Merpati Bulukumba : Ketika Matahari Terbenam
Pembelajaran dan Tanggul Peninggalan Belanda
Berkat obrolan di warung kopi saya jadi tahu bahwa Dermaga Kuala Stabas awalnya dibangun Belanda. Seiring perjalanan waktu direnovasi di sana-sini. Hingga saat ini hanya tinggal batu pemecah gelombang masih berfungsi walaupun sudah pecah. Tanggul ini sudah berkali-kali ditambal oleh Pemda namun dalam hitungan bulan jejaknya sudah hilang. Sementara yang peninggalan Belanda itu tetap setia mengendalikan gelombang agar pantai tak terabrasi dan perahu-perahu aman bersandar di pantai. Walau secara keseluruhan Dermaga Kuala Stabas tampak menyedihkan, terpaksa sekali lagi saya memoejikan Belanda. Bayangkan sudah berapa puluh tahun kita merdeka namun Kuala Stabas masih mengandalkan peninggalan mereka. Tertawa atau perlu nangis ya?
Begitu lah Perbincangan di warungkopi berubah jadi pembelajaran. Menyenangkan. Saya jadi tahu bahwa nelayan tidak melaut pada malam hari tapi pagi sehabis shalat subuh. Cuaca pagi memudahkan menangkap jenis ikan dari j laut dangkal seperti ekor kuning, kembung dll. Melaut malam hari untuk menangkap ikan besar yang hidup di laut dalam. Malam pun harus pekat agar ikan-ikan yang akan di jala atau dipancing tak curiga. Sedang untuk menangkap udang dan cumi-cumi pada malam bulan purnama.
Baca juga: —>Â Â Jejak Pertama Orang Jawa di Museum Ketransmigrasian Lampung
Ditempat itu berdiri beberapa koperasi . Koperasi lah yang membeli ikan dari kelompok nelayan lalu melelang atau mendistribusikannya ke pasar di sekitar Lampung atau di bawa ke Jakarta. Sayangnya saya tak sempat menunggu perahu-perahu yang pulang melaut. Biasanya sekitar pukul sebelas hasil tangkapan baru naik dan di lelang di tempat. Saya membayangkan alangkah serunya melihat ikan-ikan segar di naikan ke dermaga. Karena itu akan langsung balik ke Bandar Lampung sementara masih banyak tempat yang hendak dikunjungi.
@eviindrawanto