Eviindrawanto.com – Cerita Dari Lapau Kopi – Jika kamu sedang pulang kampung yang sudah lama ditinggalkan, tiba-tiba ingin bernostalgia, minum kopi Bukik Apik sambil menikmati ketan dan pisang goreng, menurutmu kemana kaki harus melangkah? Tepat! Pergilah ke Lapau!
Waktu sudah menunjukan pukul 6.30 WIB. Pinang Balirik, jalan di depan rumah kami, masih terbungkus kabut tebal. Dingin. Di belakangnya sayup-sayup menyembul Bukit Barisan. Diantara hamparan padang halimun yang luas itu menyelinap lah warna keemasan. Mentari baru saja lahir di kampung saya. Biasanya memecah awan jadi banyak kepingan yang terserak sampai ke kaki langit.
Lapau, Kedai Kopi di Kampung
Saya beringsut keluar dari rumah, menaikan kerah jacket, siap menjalankan rencana semalam. Saya dan kakak ingin kembali mendengar cerita dari lapau kopi.
Ohya lapau dalam masyarakat Minangkabau adalah semacam coffee shop, kedai kopi tempat hangout kaum lelaki. Selain kopi berfungsi juga sebagai kedai nasi dan camilan yang biasanya ketan kelapa, pisang goreng, dan aneka kue kering.
Sekalipun secara umum dikunjungi kaum lelaki, tentu tak haram juga bagi dua perempuan yang mau bernostalgia duduk sejenak di sini. Mengulang pengalaman masa kecil, menikmati ketan plus pisang goreng hangat, makanan akrab dari masa lalu.
Sekejab saja kami sudah sampai di ujung jalan, tepat di mana Kedai Kopi Banto berdiri. Merasa sayang kehilangan momen alam yang indah, saya pun berhenti di depan pintu. Berbalik dan menatap ke arah jalan yang ditumbuhi pohon pinang di kanan-kiri. Seperti yang saya harap, pelintas muncul satu persatu dari dalam kabut. Motor, sepeda dan pejalan kaki. Dari bayang-bayang kelabu perlahan berubah membesar saat jarak kami kian dekat.
Saya menengadah, mengisi paru-paru dengan udara dingin yang membawa aroma rumput basah. Tercium pula bau jerami lembab dari sawah, bercampur harumnya kopi panas dari dalam kedai. Saat itu seolah sedang berdiri di negeri antah berantah.
Untungnya tak lama melintas pula angkot. Deru mesinnya melumat semua imajinasi. Berlari kencang memburu penumpang ke arah Pakan Sinayan. Kebisingan ini juga yang menyadarkan bahwa saya tidak berada di negeri awan seperti dalam cerita petualangan remaja. Saya sedang berada di kampung halaman yang sedang berubah.
Cerita dari Lapau Kopi Simpang Banto
Lapau Banto sudah berdiri di tempatnya sekarang sejak kesadaran kanak-kanak saya tumbuh. Bangunannya karena terbuat dari material sederhana seperti papan, berganti secara berkala. Yang tak berubah adalah pengaturan interior. Dua meja panjang berbentuk L mengisi pojok ruang. Di sisinya berdiri bangku kayu yang juga panjang mengikuti meja. Bangku itu terlihat halus berkat sering diduduki.
Berdiri di sana lantas saja seperti film, cerita dari kedai kopi kampung berpuluh tahun bermunculan di kepala. Di atas meja tampak berjejer gelas kopi tubruk , kopi susu, teh talua (telur ayam mentah dikocok bersama teh), piring ketan dan kue kering dalam stoples. Bapak-bapak berpeci duduk takzim menatap kartu di tangan. Asap rokok bergulung-gulung di udara. Desahan dan celoteh ditingkahi bunyi kocokan kartu domino. Lalu suara bantingan ke atas meja. Sepanjang ingatan saya bunyi-bunyian seperti itu bisa berlangsung dari pagi sampai malam.
Baca juga:
Lalu di meja sebelahnya, bapak-bapak yang tak ikut main domino ngobrol tentang sawah, kebun, panen, atau kabar dari rantau. Tak jarang gosip kehidupan lokal melompat jauh keluar area geografis yang cuma langit batasnya. Cerita di lapau kopi juga menyentuh aspek politik dan agama. Misal di politik, sakingnya banyak “ota” (obrolan) lahir lah olok-olok seperti ini : “Di Senayan orang masih rapat namun di Lapau masalah sudah selesai”
Ada pendapat bahwa aktivitas Lapau seperti itu lah yang membuat kebanyakan orang Minang jadi pandai berbalas pantun, berdebat, berpendapat, bicara dan menulis. Pendapat yang saya pikir berpijak pada tokoh-tokoh lama Minangkabau seperti Buya Hamka, Sutan Syahrir, Tan Malaka, dll. Budaya Lapau seperti ini juga dianggap sebagai akar dari karakter egaliter suku yang menarik garis keturunan melalui ibu. Atau setidaknya demikian lah yang pernah saya baca dahulu kala.
Surutnya Aktivitas ke Lapau
Namun pagi ini pemandangan seperti dalam kenangan saya tak terlihat lagi. Cara berpikir kaum terdidik rupanya sudah masuk ke dalam Lapau. Setelah mengunjungi dua lapau saya menarik kesimpulan bahwa aktivitas berlapau sedang sekarat. Pasalnya siapa yang bisa membantah bahwa main domino dengan taruhan dianggap tidak “baampok” (berjudi)?
Siapa yang tak mengakui bahwa aktivitas berjudi sangat tercela di kehidupan sosial yang hidup bersandikan syarak dan syarak yang bersandikan Al Quran? Begitu pun duduk berlama-lama menikmati sarapan hanya akan memunculkan label pemalas dan kurang bertanggung jawab dalam sistem sosial yang menuntut agar manusia produktif.
Maka yang kami temui pagi ini adalah isi Lapau yang berantakan. Dua meja panjang masih di sana, permukaannya beralas karpet plastik, dan hanya satu yang terpakai untuk melayani tamu. Sisanya disesaki perabotan dapur dan bahan makanan menunggu di masak. Agak pilu juga melihat langit-langitnya yang sudah tambal sulam. Namun tehibur mencium aroma seduhan kopi Bukik Apik yang mengalir dari dapur. Tungkunya jugasedang menyala.
Baca juga:
Selain kami pengunjung pagi itu hanya seorang Bapak yang kebetulan masih Mamak (om) bagi kami. Kami panggil Mak Acai, sedang khidmat dengan segelas teh manis, dua kepal ketan dan sepotong pisang goreng . Pertanyaan dan jawaban kapan pulang dan kapan kembali pun bergulir. Ini semacam salam tipikal di pertemuan pertama antara mereka yang tinggal di kampung dengan yang baru pulang dari rantau. Biasanya akan disambung, “Berapa hari di rumah? Berapa orang anaknya sekarang? Apakah mereka ikut?”, dan lain sebagainya.
Usai bertukar sapa dengan Mak Acai, kepada Ibu pemilik lapau, kami memesan kopi, teh talua, dan tentu ketan dan pelengkapnya pisang goreng.
Kopi Bukik Apik yang Istimewa
Sekalipun kedai kopi kampung, namun kopi yang tersaji di Lapau Banto berasal dari kualitas prima. Ditanam di ladang kopi Bukik Apik. Daerah penghasil kopi di dari Sumatera Barat ini tak jauh dari Ngarai Sianok, sebuah lokasi wisata di Bukittinggi. Mereka menghasilkan biji kopi berama kuat dengan kepahitan di atas rata-rata.
Sambil menguncang-guncang piring tatakan gelas, menatap kepulan asap tipis, saya berpikir tentang tanaman paksa yang pernah terjadi sekitar abad 18 di Sumatera Barat. Bagaimana tanaman ini dipuja dunia, punya sejarah penuh air mata dan telah mempengaruhi kehidupan jutaan umat manusia.
Sekarang orang Sumatera Barat tak harus minum rebusan air kawa pengganti kopi. Sekarang mereka bisa menikmati seduhan kopi bermutu di Lapau yang demikian kusam. Sekalipun kopi hitam yang saya pesan terlalu manis namun tak mengurangi kenangan pada lagu Elly Kasim yang memuja Kopi Bukik Apik.
Rang Bukik Apik oi marandang kopi,
Tampak nan dari lereang pandakian,
Sungguah maramuak hai di dalam hati,
Di muko jan sampai kanampakan….
Begitulah setelah Masjid (Surau) dan Rumah Gadang, Lapau adalah salah satu institusi sosial terpenting dalam budaya Minangkabau. Jika Surau berkiblat akhirat, Rumah Gadang berkiblat adat-istiadat, Lapau adalah ruang yang berpangkal dan berujung pada masalah-masalah keduniawian.
Tiap nagari berisi tiga komposisi ini yang juga dapat disimbolkan sebagai tigo tungku sajarangan.
@eviindrawanto
The only thing you need for a travel is curiosity.