Renungan di Ruang Tunggu Bandara – Takut kena macet dan ketinggalan pesawat adalah alasan yang mendorong saya datang lebih awal ke bandara. Seperti kali ini. Ternyata jalan Serpong-Soekarno Hatta lancar jaya hari ini. Sekarang merasa sedikit bosan setelah 30 menit duduk di ruang tunggu.
Penat dengan gadget saya mulai mengamati lingkungan diam-diam. Orang-orang hilir mudik menggeret koper cabin. Seorang ibu, sepertinya keturunan India mengenakan sari bunga-bunga dominasi oranya membuat saya mengaguminya. Cantik, anggun, dan segar. Ada pula yang duduk tenang seperti saya dengan mata terpaku ke layar ponsel. Karyawan banda asik dengan tugas mereka.
Baca juga:
- Bermalam di Bandara Kuala Lumpur dan Tips Survive
- Pemandangan Dari Atas Bandara Minangkabau Padang
- Pengalaman Terbang dari Manila ke Tagbilaran
Tak lama para penumpang lain mulai berdatangan. Saya merasa tak merasa bebas lagi membiarkan mata jelalatan.
Saya kembali lekat ke layar ponsel namun berpikir. Kami datang dari berbagai tempat dengan latar belakang sosial, jenis kelamin dan usia berbeda. Di menit dan detik ini kami berkumpul di sini, di ruang tunggu, dengan niat yang sama : Menunggu keberangkatan dari nomor penerbangan yang sama untuk diantarkan ke airport yang sama.
Selama beberapa jam ke depan kami akan terikat pada nasib yang sama, berbungkus doa dan harapan yang sama, Insya Allah penerbangan ini tiba dengan selamat. Setelah itu kebersamaan selesai. Kami meneruskan perjalanan dan hidup dengan romansa masing-masing.
Terikat Namun Asing – Renungan di Ruang Tunggu Bandara
Sekalipun saat ini kami terikat oleh banyak kesamaan, kami tak harus saling mengenal. Walaupun tak ada larangan saling menyapa, bertukar cakap tentang asal-usul atau isu-isu umum, umumnya kami lebih suka mengurusi diri sendiri. Kalaupun terjadi komunikasi paling-paling berlangsung diantara mereka yang memang sudah kenal sejak di luar ruang tunggu ini. Selebihnya kami lebih suka membaca, melamun, atau terpekur pada gadget masing-masing.
Renungan di ruang tunggu bandara ini ternyata seru juga.
Terikat realitas di satu tempat dan waktu yang sama, kami tak lepas dari realitas bahwa kehidupan kami masing-masing amat berbeda. Dan pasti itu sangat jauh berbeda. Sebagai bukti di pojok kiri, ibu-ibu berkerudung, berkulit bersih dengan muka ceria asyik mengobrol dengan seorang lelaki yang kalau melihat kedekatan mereka pasti sang suami.
Sementara di kanan hanya berjarak dua bangku, seorang ibu yang juga berkerudung asyik bertelepon sambil menangis. Dalam isaknya ia menyebut “Nak” ke orang di seberang sana dan minta di doakan agar ia selamat. Entah apa yang sedang ia hadapi. Diam-diam saya melirik pada wajahnya yang lelah dan ikut mengaminkan semoga Allah mengabulkan harapan itu.
Persis di hadapan saya ibu-ibu bergaun pink asyik menelisik saya yang sedang membuat post ini. Hehehe..Ayo deh, sekarang siapa yang memperhatikan siapa.
Naik Pesawat Dengan Bar-Bar
Sebentar pengumuman naik ke pesawat pun tiba. Saatnya kami meninggalkan Soekarno-Hatta. Sekalipun sudah mengantongi nomor tempat duduk masing-masing, desak-desakan karena semua ingin cepat menemukan kursi masing-masing tak terhindari.
Ketidak sabaran ini entah datang dari mana, berlatar belakang apa, yang jelas semua melupakan bahwa kalau gak lelet kebangetan, pesawat takan meninggalkan mereka. Buktinya sudah tiga kali panggilan kepada seorang penumpang tujuan Pangkal Pinang agar segera naik ke pesawat. Tidak tahu apakah karena si pesawat berangkat lebih awal dari jadwal, atau sesuai jadwal tapi penumpangnya memang telat, semestinya tak perlu lah desakan-desakan begitu. Sabar gitu lho…
@eviindrawanto
The only thing you need for a travel is curiosity.