Sinar matahari mulai condong ke Barat. Usai pelatihan membuat gula semut, saatnya kembali ke Hotel Agri. Kami keluar dari Desa Bukit Harapan Kecamatan Gantarang dengan menyusuri perkebunan penduduk. Melewati tanjakan, turunan dan belokan di sela kebun cacao, aren, kelapa, dan kopi. Pelintasan yang memberi gambaran kasar terhadap usaha pertanian masyarakat setempat.
Di sepanjang jalan rumah penduduk berarsitektur Bugis berbaris di kiri atau kanan jalan. Rumah panggung terbuat dari kayu, dan beratap seng dengan lambang khusus di atasnya.
Tampaknya September adalah musim dimana kemarau dan panen padi datang beriringan. Kesimpulan yang ditarik kala melintasi area persawahan yang terbuka. Jerami kering, kerbau yang merumput bersama burung pipit, dan perbukitan yang memagar di bekalakangnya membuat saya sering membuka kaca mobil untuk mengambil gambar.
Bermain diantara asap jerami sebelum pergi mengaji
Melintasi Kota Bulukumba
Menyusuri lansekap Bukukumba yang unik serasa berada dalam film dimana kita dengan mudah pindah dari satu view ke view berikutnya. Masuk ke jalan raya, di muka alun-alun Bulukumba yang disebut Bulatan Pinisi –- ada replica kapal pinisi di tengahnya– meja dan kursi sudah tertata rapi.
Baca juga Beningnya Air Pantai Tanjung Bira
Sepanjang sore dan malam, alun-alun itu akan berubah fungsi jadi cafe terbuka. Saat itu belum ada pengunjung namun sudah membuat susana pelesiran langsung mencuat. Karena itu Mas Awaludin dari Sulawesi Community Foundation (SCF), tuan rumah, menawarkan rehat sejenak menikmati sore. Bukan di alun-alun tapi ke Pantai Merpati. Penawaran yang tentu saja saya sambut dengan riang gembira.
Memasuki Pantai Merpati Bulukumba
Teluk Mini Pantai Merpati – Antara sampah dan burung kecil tidak jelas perbedaannya
Pantai Merpati yang kami masuki sebenarnya pantai nelayan. Ujung dari Pantai Merpati yang biasa digunakan anak muda Bulukumba hangout dari pagi sampai malam. Berhenti di muka pasar pelelangan ikan suasana sepi. Setelah minta ijin kepada seorang Bapak yang duduk tak jauh dari sana kami masuk lewat pintu pagar di samping pasar.
Baca juga Nelayan Karimunjawa Pulang Melaut
Tepat di belakang tembok pasar mata langsung disuguhi ceruk laut dangkal yang bentuknya seperti kolam ikan–semacam teluk mini — digunakan nelayan menyandarkan perahu.
Aroma sunset di Pantai Merpati Bulukumba langsung terasa.
Angin bertiup kencang sore itu. Permukaan teluk mini membias cahaya jingga dan berhenti di perahu nelayan. Saya merapatkan kerah baju. Beberapa ekor camar terbang melingkar-lingkar tak berketentuan. Pasir pantai tampak kelabu dan buram. Selain karena mulai kekurangan cahaya, tebaran  sampah di atasnya sungguh tak sedap dipandang.
Tapi ya mau bagaimana lagi, ini pantai nelayan, kawan. Sudah lah nikmati saja senja kemerahan di ufuk barat.
Menikmati Sunset di Pantai Merpati Bulukumba
Untung lah Pantai Merpati yang kotor tak menghalangi keriangan bola merah sempurna. Ia bersapu gumpalan awan. Di Pantai Merpati Bulukumba rupanya sunset tidak turun di horizon, batas pandang laut dan langit, melainkan di belakang tembok pasar ikan dengan menara masjid dan pohon kelapa sebagai latar muka.
Baca juga Pantai Marina Lampung Seksi atau Angker?
Sayang saya tidak bisa membuat gambar lebih baik. Pemandangan yang membuat para pujangga di seluruh dunia akan melukis dengan kata-kata seperti ini :
Every night
The horizon lights up
Swirls of pink and orange
Fading to blue and purple –Jessica Millsaps
Baca juga  Menginap Asyik di Derawan Fisheries Cottages
Sunset di Pantai Merpati Bulukumba pun usai. Setelah mengambil beberapa gambar lagi kami pun beranjak, meninggalkan pantai nelauan yang senyap ditelan kegelapan. Bapak nelayan yang masih asyik menyiangi rumput laut di depan pondok darurat tersenyum ramah dan mengangguk saat dipamiti.
Kami kembali meneruskan perjalanan. Merasa lebih bersemangat setelah dihibur sunset di Pantai Merpati Bulukumba.
@eviindrawanto
The only thing you need for a travel is curiosity.