Bukittinggi Kota Rang Agam adalah sebuah kota bersejarah. Baik bagi saya pribadi maupun secara harfiah mengenai kota itu sendiri. Ia sukses melawati tahun-tahun sejarah yang penuh cerita dengan menyandang berbagai nama. Pernah dijuluki Fort de Kock mengikuti nama benteng pertahanan yang dibangun di tengahnya. Pernah disebut Parijs van Sumatera karena keindahan alam dan hawanya yang sejuk. Ia juga disebut sebagai Kota Rang Agam dengan nada sedikit sentimental untuk menggambarkan penduduknya di Kabupaten Ama Sumtera Barat. Semasa kecil tinggal di pedalaman, tidak pernah pergi kemana-mana, Bukitting adalah pusat peradaban. Dan sekarang tempat kelahiran Proklamator Muhammad Hatta ini di dapuk sebagai Kota Wisata.
Bukitinggi Kota Rang Agam Kini
Walau luas keseluruhan Bukittinggi mencapai 25.24 km persegi, menurut saya, kembaran dari Kota Seremban Negeri Sembilan Malaysia ini sekarang over crowded. Tidak begitu nyaman lagi mondar-mandir seperti dahulu kala. Ia sudah disesaki berbagai ruko, hotel, penginapan, dan segala jenis kendaraan. Bendi, angkutan kota, angkutan pedasaan, bus dan mobil pribadi. Lintang pungkang berebut tempat. Belum lagi tak tersedianya lahan parkir yang memadai, Pasar Atas dan Bawa macet tak berkesudahan. Terutama pada hari pekan atau hari libur nasional. Napas bisa ikutan sesak melihatnya. Jadi jika kawan berminat menjelajahi Kota Bukittinggi dengan kendaraan roda empat lebaran besok, lupakan saja pikiran itu dari sekarang. Percaya deh jalan-jalan menggunakan mobil pas libur lebaran akan merusak mood jalan-jalan. Mending memilih berjalan kaki saja. Kecil kok kotanya. Atau maksimal menggunakan motor—motor juga sudah terlalu banyak– atau naik delman.
Namun Bukittinggi tetap lah kota nan eksotis. Dataran tinggi Minangkabau ini sudah dikenal luas memiliki kultur yang unik. Menyebut namanya orang akan selalu mengaitkannya pada sistem kekerabatan matrilineal—garis keturunan ditarik melalui ibu. Rumah Gadang, Surau, Lapau atau warung kopinya sesuatu yang harus ada tatkala masyarakat membangun kampung. Sayangnya utuk melihat kehidupan sosial Minangkabau asli seperti ini, seperti yang diceritakan dalam buku-buku, kawan harus masuk agak ke pedalaman. Di Kota Bukittingginya sendiri sudah tak ada. Di kampung-kampung sistem sosial yang sudah berumur beratus tahun masih dijalankan dengan baik hingga sekarang.
Ngapain Saja di Kota Bukittinggi?
Jika saya ditanya ngapain saja di Bukittingi, jawabannya tergantung pada minat. Mengeksplorasi sejarah dengan beberapa landmark kota sangat menarik saya kira. Untuk saya pribadi tak ada kegiatan yang lebih menarik selain keluar masuk pasar tradisional (Pasar Banto), melihat-lihat aktivitas dan barang-barang yang sedang dijual. Sebab kegiatan ini menghubungkan saya dengan masa lalu. Membuka gudang memori terhadap berbagai jenis rasa dan aroma makanan yang biasa saya santap di masa lalu.
Namun untuk teman-teman yang pertama datang ke Kota Bukittinggi kegiatan ini di bawah biasa dilakukan para traveler :
Mengunjungi Jam Gadang
Jam Gadang adalah jantung dan titik nol kota Bukittingi. Lihat bagaimana struktur jam kuno setinggi 26 meter ini sudah berdiri sejak 89 tahun lalu namun masih memperlihatkan keanggunannya sampai sekarang. Hadiah dari Ratu Belanda untuk Rook Maker, controller Fort de Cock. Jam yang langsung di datangkan dari Roterdam, Belanda, lewat pelabuhan Teluk Bayur sempat mengalami kerusakan pada gempa dahsyat yang melanda Sumatera Barat pada tahun 2007.
- Baca di sini menginap di Bukittinggi Kota Rang Agam:Â Hotel di Bukittinggi Dekat Jam Gadang
Panorama Ngarai Sianok, dan Lubang Jepang
Usai dari Jam Gadang sekarang berjalan lah ke Panorama. Untuk sensasi yang lebih asyik coba sewa delman dengan harga Rp.20.000 sekali jalan. Kita akan dibawa melintasi jalan Yos Soedarso, melewati patung Tuangku Imam Bonjol yang sedang menunggangi kuda, dan melihat aktivitas penduduk kota lebih dekat. Di Taman Panorama kita boleh melamun sampai puas dengan menghadap ke Ngarai Sianok.
Dari sini kita juga bisa masuk ke gua bekas persembunyian tentara Jepang selama Perang Dunia 11 yang disebut Lubang Jepang. Menyusuri lorong yang digunakan juga sebagai penjara, jadi tempat siksaan rakyat Indonesia yang ditahan Jepang jadi pengalaman tersendiri. Pada ujung Lorong akan sampai lah kita di Koto Gadang. Tak jauh dari pintu keluar boleh singgah sejenak menikmati Pangek Koto Gadang atau gulai itik cabe hijau.
Taman Margawasatwa, Benteng Fort de Cock, Museum KebudayaanMinangkabau
Dari Panorama naik lah angkot yang akan melewati Taman Marga Satwa atau Taman Bundo Kanduang. Selain berfungsi sebagai kebun binatang tempat ini adalah rumah bagi Benteng Fort de Cock dan Museum Baanjuang, museum Kebudayaan Minangkabau. Jangan lupa katakan pada Pak Supir tujuan kita. Ia akan menurunkan kita di tepi jalan tak jauh dari Taman Marga Satwa.
Santap Sedap di Los Lambuang
Ujung perjalanan dari Taman Margasatwa kita akan kembali ke Jam Gadang. Sudah muter-muter jauh, tenggorakan mulai kering, dan perut mulai lapar? Mumpung sudah berada di the paradise of culinary, pergilah ke Pasar Lereng Pasar Atas. Ikuti lorong kios-kios tekstil tepatnya ke pojokan kita bertemu Los Lambuang. Tempat ini semacam foodcourt tradisional masakan Minangkabau tapi dalam bungkus Nasi Kapau. Jangan lupa menikmati atupek Pical (ketupat sayur dengan bumbu pecal), terbaik ada di Bukittinggi kota Rang Agam.
Gimana teman, seru kan Kota Bukittinggi?