Museum Kretek Kudus dan Sejarah Penemuan Rokok Kretek ~ “Panggil aku Nitisemito. Ini namaku setelah menikah. Sebenarnya nama kecilku Rusdi. Aku lahir di desa Janggalan Kabupaten Kudus tahun 1874, putra bungsu dari Bapak Haji Soelaeman dan Ibu Markanah. Ayahku seorang lurah di Desa Janggalan. Aku tidak pernah bersekolah namun aku adalah pembelajar sejati. Jadi buta huruf tak mematikan semangatku untuk terus belajar.
Usia 17 tahun aku pindah ke Malang dan bekerja sebagai buruh jahit. Perlahan namun pasti kemudian aku beralih jadi pengusaha pakaian jadi. Sayangnya usaha itu gagal. Terpaksa lah aku kembali ke Kudus dan berganti profesi sebagai pengembali kerbau disamping memproduksi minyak kelapa. Tampaknya peruntungan belum juga berpihak kepadaku sebab lagi-lagi usahaku gagal.
Namun putus asa tak ada dalam kamusku. Aku beralih profesi jadi supir dokar sambil berjualan tembakau.
Usia 32 tahun aku menikahi Nasilah. Dengan dibantu istriku kami mendirikan usaha rokok kretek. Istri yang meracik tembakau sementara aku mengelola perusahaan. Kami bekerja keras sampai-sampai pekerjaan melinting dan menjual hasil produksi kami kerjakan sendiri….”
Pertemuan Dengan Seorang Pioner
Di dalam Museum Kretek Kudus, patung setengah badan lelaki tua yang dipanggil Nitisemito itu berdiri anggun, dari jendela rumahnya, seolah memberi salam, dan menceritakan kisah pendek hidupnya seperti yang saya kutip di atas. Posisinya di sebelah kiri pintu masuk, tempat pengunjung mengawali eksplorasi isi museum.
Seperti penempatan di museum, Nitisemito adalah seorang pionir. Ia yang menjadikan Kota Kudus dijuluki seperti namanya sekarang: Kota Kretek. Di belakangnya terdapat satu ruang kecil, Nitisemito’s room, khusus diperuntukan bagi foto-foto dan benda yang menggambarkan kejayaan masa lalunya.
Museum Nitisemito
Ceritanya, suatu siang sebelum mengunjungi Masjid Menara Kudus saya memutuskan mampir dulu ke Museum Kretek Kudus. Apa lagi jaraknya tidak begitu jauh dari kost si Sulung tempat kami numpang menginap. Dan di pintu masuk sudah dibuat terkejut karena hanya membayar tiket Rp.2000/orang. Wah murah banget!. Namun kemudian saya berpikir, hal yang wajar saya karena museum dikelola oleh pemerintah, tiket masuk pasti dapat subsidi.
Usai mengambil gambar di halaman muka, sebelum meneruskan melihat keseluruhan isi museum, saya mengedar pandang ke seluruh ruang. Dan dibuat terkejut lagi. Benak lantas saja membandingkan museum serupa di Surabaya, House of Sampoerna.
Musemum Rokok Kretek Kudus ini terasa sepi dan plong. Bukan saja dari sisi pengunjung juga dari sisi isinya. “Heran bagaimana industri penyumbang pajak nomor tiga terbesar di Indonesia punya museum ya kok “agak” menyedihkan gini”, pikir saya. Namun kemudian saya paham, setelah bincang-bincang dengan Pak Yanto, Kepala Museum Kretek..
Sejarah Penemuan Rokok Kretek
Penemu pertama rokok kretek adalah H. Jamhari. Seperti kebanyakan penemuan, terjadi secara tak sengaja. H.Jamhari yang sudah lama menderita sesak napas mencoba meringankan penderitaannya dengan mengoleskan minyak cengkeh ke dada dan pundak. Kehangatan minyak rempah ini ternyata meringankan rasa sakit di dadanya. Kemudian beliau mencoba treatment lain dengan mengunyah cengkeh dan hasilnya jauh lebih baik.
Akhirnya ia memutuskan memakai rempah-rempah untuk mengobati sesak nafasnya.
Caranya cukup sederhana. Dengan merajang halus cengkeh, dicambur irisan tembakau, dibungkus daun jagung kering (klobot), dan diikat oleh benang. Ajaib, rokok klobot H. Jamhari berhasil menyembuhkan sesak di dadanya. Tentu saja keberhasilan ini juga ia tularkan kepada tetangga dan penduduk sekitar. Sejak itu lahirlah rokok yang namanya diambil dari bunyi kretek-kretek saat dibakar.
Begitu lah cerita singkatnya tentang sejarah penemuan rokok kretek.
Baca juga : Gentong Sehat Resto Herbal Kudus
Cerita Orang Dalam
Saat asyik mengamati berbagai alat dan kegiatan membuat rokok kretek, dari yang tradisional sampai modern, foto para tokoh penerus Nitisemito, kami di sapa oleh seorang Bapak berseragam pegawai negeri.
Ternyata beliau adalah Pak Suyanto, kepala Museum Rokok Kretek Kudus. Tentu saja sapaan dari Pak Yanto—panggilan beliau– membuat kunjungan ini jadi bertambah menarik.
Dari hanya memandangi benda-benda mati dengan tulisan dan keterangan monoton jadi cerita hidup dari sang pengelola.
Jika tadi agak under estimate, setelah tahu cerita perjalanan Museum Rokok Kretek Kudus lebih dalam, tak ada yang bisa saya lakukan selain bersimpati.
Sekarang saya paham mengapa display museum nya sangat sepi. Bagaimana tempat ini dulunya dikelola oleh persatuan perusahaan rokok di Kudus, diambil alih pemerintah, mengalami penurunan seiring meredupnya industri rokok di Kudus.
Kesuksesan Kampanye Anti Rokok
Dari cerita Pak Yanto akhirnya tahu bagaimana kampanye anti rokok pemerintah telah merontokan insustri rokok Kudus satu persatu.
Dulu saya pikir, kampanye anti rokok tak berdampak khusus pada para pemakai. Setidaknya berkaca kepada kerabat dan handai tolan yang perokok. Bagaimana mereka yang sudah terlibat begitu dalam pada kencanduan nikotin tidak akan terpengaruh hanya karena slogan-slogan yang mengancam kesehatan. Smoking pleasure lebih kuat dari akal sehat. Jadinya dengan bermacam dalih mereka akan tetap merokok..
Tapi rupanya dugaan saya salah. Setidaknya masih banyak yang berpikir waras di luar sana. Kampanye itu berhasil saudara-saudara!
Menurut Pak Yanto, pabrik rokok yang bertahan di Kudus sampai sekarang hanya yang bermodal besar. Pabrik-pabrik kecil sudah lama gulung tikar. Karena sistem ekonomi saling terkat, tentu teman bisa membayangkan dampak dibelakang keberhasilan kampanye anti rokok ini? Para karyawan, buruh, petani tembakau, dan segala macam industri yang tumbuh untuk mendukung kebutuhan pabrik rokok adalah penerima pukulan paling hebat akibat maraknya kampanye anti rokok.
Saya jadi membayangkan reaksi H.Jamhari dan Nitisemito jika saja mereka masih hidup.
Seandainya tadi saya tidak melemparkan pertanyaan iseng kepada Pak Yanto, mungkin nada isi posting ini akan berbeda. “ Pak, kok koleksi museumnya sedikit banget? Bila pemerintah tak cukup dana memodalinya, kok tidak minta bantuan kepada pabrik rokok? Group Jarum itu kan kaya raya? “
Untung lah Pak Yanto mau meluangkan waktunya, berbagi cerita sejarah dan perkembangan industri rokok kretek Kudus. Gambaran muram akibat bangkrutnya pabrik rokok membuat saya bisa memahami berbagai kekurangan di Museum Rokok Kretek Kudus.
Masih banyak cerita lainnya dari Pak Yanto. Karena ia mempercayai kami tak elok pulalah saya buka semuanya. Seperti Nitisemito yang tak membuka kisah kebangkrutan usahanya pada salam pemuka tadi, biar lah cerita itu hanya jadi milik kami.
Yang jelas saat meninggalkan tempat itu saya berharap ada donatur kaya yang mau menyumbangkan koleksinya untuk Museum Kretek Kudus. Syukur-syukur bisa sejajar dengan rumah Sampoerna dan Pak Nitisemito tetap berdiri anggun menyapa tiap pengunjung di muka jendelanya.
Semoga…