Jalan-jalan ke Bima Nusa Tenggara Barat – Hati-hati lah dengan impianmu sebab ia sanggup menggerakan roda alam semesta agar terwujud ke dalam realitamu. – Wisata Bima –
Kurang lebih demikian lah salah satu kalimat dalam novel The Alchemist karya Paulo Coelho yang saya baca sekitar lima tahun lalu. Cerita tentang bocah bernama Santiago dari Spanyol yang menanggapi mimpinya tentang pencarian harta karun sampai ke negeri jauh. Sang pengembala domba itu memulai dari kampungnya di Andalusia, melintasi gurun di Tangier dan akhirnya sampai di Mesir. Pada akhirnya Santiago menyadari bahwa harta karun yang selalu muncul dalam mimpinya sebenarnya terletak tak jauh dari tempat tinggalnya.
Kalimat harapan dari Coelho tersebut dibenamkan waktu di belakang kepala saya. Kadang-kadang mengusik kala sangat menginginkan sesuatu. Dan menyentak ke dalam kesadaran ketika pesawat ATR- 72-600 berbaling-baling milik Wings Air bertolak dari Ngurah Rai Denpasar menuju Bandar Udara Sultan Muhammad Salahhudin – Bima – Nusa Tengara Barat.
Akhirnya alam semesta menggerakan roda-rodanya untuk saya. Hari itu ia membuat impian saya menginjakan kaki di tanah Indonesia Timur terwujud dengan mengawali jalan-jalan ke Bima.
Naik Pesawat Kecil Bali-Bima
ATR 72 merupakan pesawat penumpang yang difungsikan untuk menempuj jarak pendek. Bermesin twin-turboprop produksi perusahaan Perancis-Italia ATR, kapasitas 78 penumpang, dengan ketinggian jelajah yang tak begitu tinggi dibanding pesawat komersil biasa. Itu lah mengapa melintas terbang di sepanjang sisi Laut Bali dan Laut Flores kita bisa menikmati berbagai pemandangan alam yang memukau. Pulau, gunung dan laut yang mengelilinginya tampak seperti taman liliput. Hamparan dataran Lombok, Sumbawa, dan pulau-pulau kecil di sisinya seolah gumpalan lumut yang mengapung di atas kolam raksasa berwarna biru.
Mendekati Kota Bima, ketika pilot menurunkan ketinggian, mata disambut Teluk Bima yang dilingkari jalan berkelok-kelok. Terlihat juga tambak ikan bandeng dan ladang garam yang bersisian langsung dengan laut. Tanah keabuan yang memantulkan garangnya sinar mentari memberi gambaran kepada saya tentang tanah Bima yang gersang. Anehnya ia tak kehilangan keindahannya.
Wisata Bima Nusa Tenggara Barat
Hari itu tanggal 31 Juli 2015. Cuaca yang terang-benderang mewakili perasaan saya. Langit biru berpulas awan putih yang bergelung di permukaannya terlihat jernih. Tak terasa hembusan udara sama sekali namun juga tidak terasa panas. Saya tersenyum kepada teman perjalanan, Mbak Donna, seorang Travel Blogger Indonesia. Saya menyodorkan camera dan minta difoto dekat pesawat. “Akhirnya kesampaian juga jalan-jalan ke Bima” Mbak Donna tertawa mengamini pikiran saya .
Memang begitu lah impian menjejakan kaki di Indonesia Timur ini tidak hanya milik saya namun juga sudah lama terpendam dalam benak Mbak Donna.
Di tempat kedatangan Pak Alan Malingi sudah menunggu. Memang begitu lah awalnya. Bahwa jalan-jalan ke Bima bersama beberapa teman blogger ini atas undangan Majelis Kesenian Mbojo (Makembo) yang diketuai Pak Alan. Kami diundang untuk meliput Festival Gunung Sangeang Api 2015. Berhubung satu dan lain hal festival tersebut diundur pelaksanaannya. Sementara itu saya teman-teman sudah terlanjur beli tiket. Akhirnya teman-teman dari Makembo membawa kami semua pelesiran, wisata Jelajah Bima.
Jalan-Jalan Ke Bima Menikmati Bandeng Bakar
Ketibaan pesawat yang kami tumpangi itu sebetulnya telat selama dua jam yang dimulai dari Bandara Sokarno-Hatta. Seharusnya sudah terbang pukul 7.30 WIB dan transit selama 2 jam lebih di Denpasar. Apa mau dikata terbang bersama Lion memang harus pandai bersabar karena penyakit delay-nya itu.
Rencana sarapan di airport Ngurah Rai-Bali pun batal. Sebab begitu turun dari pesawat kami langsung digiring masuk lambung Wings yang sudah menunggu sejak tadi. Ya sampai sekitar pukul 3 tiba di Bima perut saya baru berisi beberapa gigit roti bantal yang dibelikan suami saat mengantarkan saya subuh-subuh ke bandara.
Baca juga Melongok Eksotisme Pasar Tradisional Bima
Makanya berterima kasih sangat ketika Pak Alan langsung membawa kami menikmati ikan bandeng bakar di sebuah warung yang tak jauh dari airport.
Usai makan kami pun diangkut menuju pusat kota Bima. Begitu memasuki jalan di muka Teluk Bima tangan langsung ingin memotret. Pak Alan merem antusiasme saya dengan mengatakan bahwa ini belum apa-apa, di depan masih banyak spot yang menarik. Ah benar..Tapi blogger keren kan tidak boleh menyerah..Dari dalam mobil pun jadi lah foto di atas
Salah satu spot diantara jalan berliku menuju Kota Bima. Dari sini saya sudah menarik kesimpulan bahwa wisata bima akan banyak melibatkan pantai-pantai indah.
Satu lagi yang menarik dari jalan-jalan ke Bima adalah kuda. Saya melihat kehadiran mereka di banyak tempat. Kebun, jalanan dan bahkan di tepi pantai.
Kuda sangat penting bagi masyarakat Bima. Nah di sepanjang pantai di Teluk Bima tiap sore kita akan menemukan kuda-kuda itu dimandikan atau dilatih agar tetap tangkas di pacuan.
Semua orang sudah tahu bahwa selain alam, Indonesia kaya dengan keragaman budaya. Begitu beragamnya yang bisa diumpamakan jika menengok ke kanan sedikit saja budaya yang dilakoni masyarakat sudah berbeda. Di post berikutnya saya akan bercerita tentang Pacoa Jara, pacuan kuda khas Bima dengan joki-joki ciliknya.
Jalan-jalan ke Bima ini membuat pandangan saya kian akan keragaman tersebut. Jadi makin cinta pada Indonesia 🙂