Mengenal makanan khas Bima di Pasar Raya Kota Bima | Hari pertama di kota “Dou Mbojo” , pagi-pagi Mbak Fadlun bertanya, “ Mbak Evi, mau ikut ke pasar?” Ya tentu saja mau. Sebab senang jalan-jalan ke pasar mungkin ada hubungan dengan status emak-emak. Tapi mungkin juga masyarakat dan makanan yang mereka konsumsi selalu menarik untuk diamati. Makanan khas Bima – Bumbu Rempah – Sayuran – Mangge Mada -Sirih dan Pinang dalam ritual adat – Keistimewaan Ikan di Bima
Seperti pengalaman di Pasar Tradisinal Kandangan – Kalimantan Selatan, di sini untuk pertama kali mengenal buah kalangkala, kepayang, Binjai, dan Tarap. Di Pasar Raya Kota Bima pun saya berharap sama, bersua dan bisa mengenal makanan khas Bima. Alhamdulillah harapannya terkabul karena salah satunya dipertemukan dengan Sia Dungga – Sambal tradisional yang diolah bersama asam (mbohi dungga) dan garam kemudian difermentasi.
Lokasi Pasar Raya Kota Bima tidak jauh dari kompleks perumahan dan dekat juga dari Museum Asi Mbojo. Bisa dicapai dengan ojek motor. Namun karena berlima, teman-teman Makembo menyarankan naik delman.
Delman di Bima disebut Benhur. Terbuat dari semacam gerobak diberi roda mobil. Ada tempat duduk, dberi payung, dan ditarik kuda. Dengan ongkos Rp.20.000 sekali jalan 15 menit kemudian sudah tiba di pasar tradisional Bima. Ketibaan yang sedikit mengagetkan pedagang karena semua membawa camera.
Beberapa orang berkelakar dengan temannya, ” Kita mau masuk TV”
Baca juga Jalan-jalan ke Bima Nusa Tenggara Barat
Jelajah Pasar Sambil Mengenal Makanan Khas Bima
Penampilan Pasar Raya Kota Bima tak beda dengan Pakan Sinayan atau pasar tradisional lain di Indonesia: berdesakan, tak teratur, becek, dan bau.
Pedagang bahan makanan segar berteduh di tenda seadanya. Dan tak jarang ngemper begitu saja. Namun yang mereka jual membuat wawasan saya benar-benar terbuka.
Benar teori yang mengatakan bahwa makanan berhubungan dengan kondisi alam dan tradisi yang dilakoni masyarakat, sekaligus berfungsi sebagai identitas sosial. Melongok ke dalam Pasar Raya Kota Bima Bima ini berarti saya bersentuhan langsung dengan beberapa aspek sosial masyarakat yang menyebut diri Suku Mbojo ini.
Secara umum masakan di Bima di dominasi rasa asam. Contohnya bandeng bakar yang saya nikmati kemarin. Sambalnya kaya sekali jeruk nipis. Maka di pasar kita akan menemui berbagai macam buah asam, dari yang mirip asam jawa sampai ke berbagai jenis jeruk.
Baca juga Belanja Tenun Ikat Sikka di Pasar Alok
Menurut kawan yang mengantar, asam jawa Bima rasanya lebih tajam dari asam jawa yang ada di Jawa. Asam seperti itu biasa digunakan untuk mengolah Sop Asam Ikan atau Ayam yang disebut Saronco Janga, Uta Palomara Londe (bandeng kuah santan), atau Palumara Poco (cumi masak asam), dll.
Buah Khas Bima
Dalam jelajah pasar ini saya pun bertemu buah asam yang menutu cerita berasal dari tumbuhan Kinca yang disebut Fu’u Wua Kawi. Buah ini tak lain dari Kawista (Limonia acidissima syn. Feronia limonia) adalah kerabat dekat maja dan masih termasuk dalam suku jeruk-jerukan (Rutaceae).
Orang Bima dan Dompu di NTB menyebutnya kawi dan merupakan salah satu bahan pelengkap rujak khas suku Mbojo (Bima).
Bagi Masyarakat Bima buah dari pohon ini sangat cocok di olah menjadi rujak dengan sambal gula aren, beserta saus asam.
Rasanya yang asam, manis, pedas akan kita temukan dalam menu rujak dalam acara Tradisi Kiri Loko. Semcam acara tujuh bulanan di jawa, ritual ibu hamil yang mendoakan kesehatan dan mengharap berkah untuk calon bayi.
Bumbu Rempah Khas Bima
Saya juga bersua bumbu rempah khas Bima. Bentuknya bunga kering yang disebut Musi. Bunga Musi ini digunakan sebagai bumbu masak. Musi juga digunakan sebagai herbal untuk menghangatkan badan dan melancarkan peredaran darah.
Di salah satu penjual biji-bijian seperti kacang, jagung dan kedalai saya melihat daun kering lagi. Kali dipulun-pulun menyerupai bola. Ternyata itu adalah daun kosambi yang dikeringkan. Gunanya untuk campuran memasak daging atau tulang rusa yang dalam bahasa Bima disebut Uta Mbecca Ro’o Sambi.
Baca juga Pasar Apung Nusantara
Sayuran Khas Bima di Pasar Tradisional
“Orang Mbjo tidak akan pernah kelaparan selama daun kelor masih melambai”
Saya tertawa membaca pernyataan itu. Padahal daun kelor yang saya kenal di Pulau jawa banyak digunakan sebagai penangkal ilmu hitam. Juga sebagai obat asam urat, kanker, dan diabetes. Tapi daun kelor di Bima dibuat sayur.
Benar saja selama di Bima kami sering disuguhi sayur bening daun kelor bercampur dengan bunga labu parang. Rasanya? Lebih enak dari bening bayam.
Baca juga Sayur Rambanan Khas Bali
Maka di Pasar Raya Kota Bima kita temui banyak sekali sayur daun kelor. Baik yang masih utuh maupun yang sudah diracik. Sayur kelor racikan dicampur bunga labu parang, labu parang, dan irisan buah oyong. Namanya uta mbeca roo parong. Harga uta mbeca roo parong ini Rp.5000/bungkus.
Mengenal Makanan Khas Bima Mangge Mada
Di Bima, Nusa Tenggara Barat, jantung pisang diolah jadi masakan tradisional yang menggugah selera. Namanya Mangge Mada, gulai santan warna kuning dengan aroma enak.
Mangge Mada adalah makanan khas Bima Dompu. Di masak bersama bumbu rempah khas Bima dan belimbing sayur dan diberi udang. Terbayang ya lezatnya?
Sirih dan Pinang Dalam Ritual Adat
Dalam tata cara perkawinan terutama saat proses lamaran di Bima terdapat suatu tradisi bernama Wa’a Mama. Ini adalah prosesi mengantar atau membawa bahan untuk makan sirih (mama) dari keluarga pihak pria ke rumah wanita. Isinya adalah nahi ( sirih), u’a ( pinang), tambaku ( tembakau), tagambe dan afu mama ( kapur khusus untuk pemakan sirih). Dalam pelaksanaanya pihak orang tua pria bukan hanya mengantar bahan untuk makan sirih ( mama) tetapi juga membawa berbagai jenis makanan dan kue tradisional.
Upacara Wa’a mama dilaksanakan pada awal musim panen ( oru pako) dan dilangsungkan pada malam bulan purnama. Dari pihak keluarga pemuda akan diwakili oleh ompu panati dan tokoh – tokoh adat bersama kaum ibu. Dari pihak keluarga gadis akan diwakili oleh Wa’i Panati didampingi keluarga gadis dan kaum ibu. Wa’i Panati adalah Tokoh Adat Perempuan yang dipandang mampu seperti Ompu Panati dalam hal berpantun dan bersyair atau yang dituakan dalam proses Wa’a Mama ini. Dalam proses ini juga terjadi saling berbalas pantun antara Ompu Panati dan Wa’i Panati. Lebih lengkap baca ulasan Pak Alan Malinggi di sini.
Dan sirih tak hanya digunakan dalam upacara adat. Dalam keseharian pun masih banyak kaum ibu yang saya lihat menginang alias makan sirih. Di Pasar Bima para penjual sirih juga menjual bunga rampai juga untuk keperluan upacara perkawinan maupun kematian.
Kuliner Olahan Ikan di Nusa Tenggara Barat
Negeri Bima di keliling oleh teluk dan pantai yang indah. Hasil laut berlimpah. Maka tak heran bila ikan jadi bahan utama yang diolah pada kuliner Nusa Tenggara Barat.
Yang lucu adalah sebutan ikan tidak melulu ditujukan kepada makhluk laut lezat ini. Kata ‘ikan” di Bima jadi pengganti kata “lauk”.
Begitu fanatiknya masyarakat Bima terhadap ikan. Bila makan tanpa ikan maka orang Bima belum merasa makan. Iya orang Bima tidak mengenal lauk pauk selain ikan.
Contohnya. Jika di daerah lain orang bertanya “makan pakai apa?” ( maksudnya makan nasi dengan lauk apa?? Maka dalam bahasa Bima pertanyaannya seperti ini: “Ngaha kai uta au?” Artinya “makan pakai ikan apa?” Jawabanya bisa saja “ngaha kai uta janga” . Artinya “Makan pakai ikan ayam”. Atau pertanyaan, “ngaha kai uta mbe’e”. Artinya , “makan pakai ikan kambing”
Dalam bahasa Bima, kata ikan menempel langsung pada nama lauknya.
Maka di pasar tradisional Bima ikan hadir dengan berbagai jenis, bentuk, rupa, dan massa. Ikan-ikan tersebut dijual dalam bentuk segar maupun yang sudah diolah. Terlihat seorang ibu menjual ikan teri yang sudah difermentasi plus diasinkan. Ikan-ikan tongkol asap di jejerkan di atas keranjang balutan kelobot pinang.
Berkenalan Dengan Ibu-Ibu Ramah
Ingin membuktikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang ramah? Maka pergi lah ke pasar-pasar daerah seperti Pasar Tradisional Bima ini. Hampir tiap penjual menyambut kami dengan tangan terbuka. Mereka tak keberatan difoto, barang-barangnya di pegang, ditanya sana-sini mengenai kegunaan, dan bahkan sampai harga.
Padahal tak seorang pun diantara kami yang membeli. Karena perjalanan di Nusa Tenggara masih lama, tak mungkin juga membeli barang segar itu untuk oleh-oleh. Kecuali sambal fermentasi Sia Dungga dan kacang hijau yang saya curiga varitas lokal karena butirannya kecil-kecil sekali.
Hari terus beranjak . Sekalipun masih banyak yang ingin dilihat terpaksa segera meninggalkan pasar tradisional Bima. Tempat-tempat lain yang tak kalah eksotis sudah menunggu.