Surabaya merupakan salah satu kota impian bagi para penikmat Sejarah. Terletak di ujung timur Pulau Jawa ia sudah mencatatkan namanya jauh sebelum peperangan 10 November yang terkenal itu. Itu lah mengapa menelisik satu persatu gedung-gedung tua yang bertebaran di sini seperti membuka pintu ke berbagai cerita yang pernah terjadi di masa lalu.
Salah satunya gedung bernama House of Sampoerna di dekat Jembatan Merah. Didirkan Belanda tahun 1862. Berkat keunikannya museum ini sekarang jadi destinasi paling diminati selama wisatawan berada di Surabaya. Saya yang sedang jadi turis dadakan pun tak mau ketinggalan. Mampir sebentar melihat satu persatu benda warisan keluarga Sampoerna. Meliputi museum, cafe, art gallery serta kios souvenir.
Sekilas Pandang House of Sampoerna Dari Gemerlap Masa Silam
Memasuki halaman kompleks House of Sampoerna, yang pertama kali menarik perhatian saya adalah bangunan yang difungsikan sebagai museum. Di depannya empat tiang beton seperti batang rokok kretek Dji Sam Soe yang dulu sering dihisap bapak saya.
Baca juga :
Menyangga tumpang atap bertuliskan ANNO 1932 di atasnya. Ini tahun pendirian pabrik Rokok Sampoerna. Lebih ke atas lagi terdapat tulisan N.V Handel MiJ – Sampoerna, nama pabrik rokok yang didirkan oleh Liem Seeng Tee bersama istrinya Siem Tjiang Nio, wanita imigran Tionghoa dari Fujian – China. Dindingnya berupa bata beton bersusun yang kemungkinan bangunan tambahan di depan bangunan asli dengan tetap mempertahankan aura kolonialismenya .
Sejarah Rokok Kretek Sampoerna
Rokok Kretek Ji Sam Soe legenda diantara para penggemarnya. Salah satunya bapak saya. Maka memasuki House of Sampoerna memberi saya sedikit pemahaman mengenai rokok yang akrab di penciuman . Gimana gak akrab, bapak saya kalau di rumah merokok sepanjang hari.
Meski Pabrik Rokok Sampoerna resmi berdiri 1932 namun jejak keluarga Sampoerna dalam sejarah kretek Indonesia harus ditelusuri lebih ke belakang, ke tahun 1898. Ketika Seeng Tee yang baru berusia 5 tahun bersama ayah (Liem Tioe) serta kakak perempuannya meninggalkan kampung halaman mereka di Provinsi Fujian menuju Surabaya.
Baca juga:
Rupanya diperantauan nasib baik kurang berpihak kepada keluarga Liem. Baru 6 bulan berada di kota yang serba asing itu Liem kecil sudah jadi anak sebatang kara.
Kemiskinan membuat ayahnya merelakan anak perempuannya diadopsi keluarga dari Singapura kemudian ia pun meninggalkan dunia fana akibat sakit cholera.
Jadi Ingat Anak Sendiri
Membaca kisah Liem Seeng Tee kecil seperti ini mau tak mau sebagai ibu dari dua anak lelaki jadi terenyuh sendiri. Karena tiap mendengar atau membaca kisah kemalangan anak kecil di manapun akan selalu muncul pertanyaan seperti ini di benak saya: “Bagaimana kalau itu terjadi pada anak saya?”
Baca juga: Suka Duka Beranak Remaja
Bayangkan seorang anak berusia 5 tahun terlunta-lunta di tempat asing tanpa sanak saudara. Lebih pedih dari patah hati barangkali ya? Untung lah sebuah keluarga di Bojonegoro mau mengangkatnya sebagai anak. Dari sini pula Tee mengenal tembakau dan meraciknya jadi kretek.
Tee Dari Anak Yatim Piatu Bangkit Jadi Pengusaha Kaya
Dan tiga puluh tahun kemudian Dewi Keberuntungan pun berdiri di sisinya. Kali ini Tee sudah menyandang predikat pemuda kaya. Ia pun mulai malang melintang sebagai pengusaha rokok di Surabaya. Ia pun sanggup membeli rumah bekas panti asuhan milik Belanda dan dijadikan pabrik rokok pertamanya.
Baca juga : Little House on Prairie
Saya tak mendapatkan informasi apakah Tee pernah ditinggal di panti asuhan ini dan mengapa ia membeli rumah yatim piatu ini. Apakah sekadar pertimbangan bisnis atau ada hubungan emosi di sana.
Gemerlap Masa Lalu di House of Sampoerna
Secara umum benda-benda yang terdapat dalam museum ini rekam jejak kerja keras seseorang yang memulai usahanya dari bawah. Warung berdinding bambu, sepeda onthel, dan motor tua yang terletak di ruang depan cukup mewakili gambarannya.
Begitu pun benda-benda lain di ruang tengah merupakan alat-alat produksi sederhana yang pernah digunakan Pabrik Rokok N.V Handel MiJ – Sampoerna. Sementara di dinding bergantung foto-foto keluarga dan para eksekutif perusahaan Sampoerna.
Bagi yang punya waktu dalam menelisik foto itu satu persatu tentu akan menemukan benang merah bahwa di sana ada kerja keras, profesionalisme, dan ikatan keluarga yang kuat yang jadi fondasi mengapa perusahaan ini meraih sukses.
Gedung ini berlantai dua. Usai dari bawah saya pun mengikuti yang lain naik ke lantai atas. Gemerlap masa lalu House of Sampoerna terlihat lebih utuh di lantai ini. Ada konter souvenir yang menjual batik-batik halus, lukisan, benda cindera mata, dan buku The Sampoerna Legacy untuk dilihat.
Kita pun bisa melihat ke dalam pabrik Dji Sam Soe yang masih berproduksi hingga sekarang. Sayang saya datang hari Minggu jadi tak melihat karyawan yang sedang bekerja melinting rokok.
Begitu lah semua benda-benda dalam museum ditata dan diberi penerangan sesuai kebutuhan. Jadi kesannya sangat apik dan gemerlap. Citra yang tepat bagi kesuksesan bisnis Pabrik Rokok Sampoerna. Setidaknya beberapa tahun di belakang sebelum pemerintah gencar mengkampanyekan bahaya merokok dan menyurutkan laju industri rokok krektek di seluruh Indonesia.
Menikmati Makan Siang di Café House of Sampoerna
Usai menelisik satu persatu sejarah keluarga Sampoerna kami pun diterjang rasa lapar dan haus. Maklum saat itu sudah pukul 2 siang. Tampaknya sarapan di hotel tadi padi sudah digilas jejaring usus dengan sempurna. Turun dari lantai dua kami langsung menuju ke Café yang terletak di samping kiri museum. Pas di depan café juga parkir Heritage Tour Bus yang menawarkan keliling gratis. Mereka sudah akan berangkat. Saya pun bimbang antara mau ikut tour atau makan? Akhirnya mengalah pada deraan rasa lapar.
Untung lah begitu masuk rasa sesal terbayar lunas oleh suasana café bernuansa cozy dan klasik, mengikuti style saudaranya di sebelah. Menu yang dapat dipilih pun bervariasi, dari Eropa sampai Asia. Mengikuti rekomendasi dari beberapa blogger yang mengatakan lebih enak masakan Indonesia maka sayapun memilih ayam goreng sementara suami garang asem.
Sejujurnya pilihan saya kurang tepat. Rasa ayam gorengnya yang dipadu dengan urap itu biasa-biasa sahaja. Kurang sesuai dengan harganya. Begitu pun garang asemnya tak ada apa-apanya dibanding garang asem di Rumah Makan Sari Rasa Kudus. Tapi es campur yang saya lupa namanya itu lumayan lah sebagai pelipur lara.