Travel Blog Indonesia | Hubungan emosional saya dengan Bima terus berlanjut. Setelah perjalanannya sendiri berakhir beberapa bulan lalu warna negeri Mbojo ini terus berkelindan melalui sosmed dan chatting dengan teman-teman di WhatsApp. Kemudian dimantaffkan oleh Novel Wadu Ntanda Rahi yang bercerita tentang masyarakat Bima masa lalu lewat kisah percintaan La Nggusu dan La Nggini.
Sejatinya buku setebal 161 halaman ini memang untuk memotret kondisi alam dan sosial masyarakat. Sementara cerita percintaannya sendiri ilustrasi agar lebih enak dibaca. Karangan Drs. Alan Malingi, teman yang mendampingi selama kami di Bima, pemerhati budaya, dan kebetulan berkantor di DPRD Bima.
Tutur santai dari novel ini memampukan saya menekuni dari awal sampai akhir hanya selama 2 hari. Prestasi lumayan mengingat banyak buku di perpustakaan mini di rumah sudah menunggu selama bertahun-tahun. Wadu Ntanda Rahi juga tempat wisata di Bima.
Ringkasan Novel Wadu Ntanda Rahi
Wadu Ntanda Rahi adalah kisah legenda yang hidup dalam masyarakat Bima sejak berabad-abad. Seputar kehidupan muda-mudi yang saling jatuh cinta kemudian disatukan tali perkawinan. Sayangnya walau sudah punya ladang sendiri, Teluk Bima juga tak kekurangan ikan, plus istri cantik, tak membuat La Nggusu betah tinggal di kampung halaman. Karena merasa ada yang kurang ia pun bertekat mencari pengalaman baru ke negeri jauh yang selama ini hanya ia dengar namanya.
Baca juga Jalan-jalan ke Bima Nusa Tenggara Barat
Kepergian La Nggusu merantau seperti istilah orang Minang “Marantau Cino”, artinya sekali pergi tak pernah kembali. Namun lenyapnya La Nggusu selama berpuluh tahun tak melenyapkan cinta di dada La Nggini. Sebagai perempuan cantik masih muda, dan ditinggal suami tanpa kabar berita, tak pelak badai gossip pun datang menerpa. Itu pun tak menggoyahkan kesetiaan La Nggini. Alih-alih mendengarkan “kata orang” ia memencilkan diri ke atas bukit yang menghadap ke Teluk Bima. Di sana ia menati sang pujaan, berharap suatu hari akan melihat kapal La Nggusu muncul dari samudera luas.
Setelah merasa cukup mengumpulkan kekayaan La Nggusu akhirnya memang tergerak pulang. Sayangnya dalam perjalanan kapalnya tersapu badai. Tak hanya melenyapkan semua harta yang sudah ia kumpulkan bertahun-tahun juga nyawa La Nggusu.
Kabar itu pun sampai ke La Nggini yang saat itu sedang menanti di pelabuhan. Merasa bahwa penantiannya sudah berakhir akhirnya La Nggini kembali naik ke atas Gunung Dua dan meminta kepada Allah agar dicabut nyawanya saat itu juga.
Baca juga: Melongok Eksotisme Pasar Tradisional Bima
Berhari-hari kemudian orang kampung datang mencari namun tak menemukan La Nggini. Di tempat ia biasa berdiri teronggok batu menyerupai manusia yang dipercaya sebagai pergantian ujud dari wanita setia itu. Batu itu di sebut Wadu Ntanda Rahi – Batu yang menanti suami, terletak di atas Gunung Dua, di tengah Kota Bima sekarang.
Sarat dengan Kearifan Lokal
Saya menyukai novel-novel drama percintaan. Saya juga suka membaca berbagai adat dan budaya masyarakat di seluruh dunia. Membaca novel kaya unsur budaya seperti Wadu Ntanda Rahi ini seperti pertemuan mur dengan baut.
Walaupun ini bukan buku sejarah, saya seperti dibawa menyelami masa lalu Dana Mbojo yang unik. Menelusuri nilai-nilai yang dianut masyarakat saat itu. Misalnya kala La Nggusu menerima pelajaran tarikh perbintangan dari Ompu (ayah)nya yang digunakan meramal masa tanam dalam sistem pertanian.
Sekarang mana ada praktek pertanian seperti itu? Kalau pun ada hitung-hitungannya paling-paling berkisar hari dan bulan baik. Tapi dimaklumi juga sebab iklim sekarang sudah berubah drastis dan cenderung tidak menentu. Belum lagi kala produksi pertanian lebih ditujukan membangun kesejahteraan alih-alih memenuhi kebutuhan dasar.
Lahan pertanian pun disiram berton-ton pupuk kimia dan obat pembasmi hama utuk menggenjot produksi. Membuat tanah pun akhirnya kehilangan kesuburan.
Sistem sosial, hubungan kekerabatan, adap orang muda terhadap orang tua maupun kepada teman-teman sebaya terkilas jelas dalam novel Wadu Ntanda Rahi ini.
Sedikit berbeda dari yang saya kenal dari system sosial Minangkabau yang berasas Matrilinial dimana pihak Mamak (paman) perempuan lah yang pertama kali menjambangi rumah pihak lelaki. Semacam misi rahasia guna menelisik bisa atau tidaknya ikatan suci dilangsungkan antar kedua belah pihak.
Di Bima tugas itu dilakukan oleh orang tua calon mempelai lelaki. Kesamaan dari kedua adat ini hanya pada kerahasiaan pertemuannya. Bila salah seorang pihak sudah berpunya tak ada yang dimalukan karenanya.
Prosesi Pernikahan La Nggusu dan La Nggini.
Dalam mayarakat di kota-kota moderen prosesi pernikahan semakin sederhana. Melakukan berbagai upacara dengan berbagai ritual yang melibatkan keluarga besar dianggap sudah tak praktis lagi.
Bisa dimaklumi karena masyarakat perkotaan tidak lagi mengakrabi adab gotong royong. Prosesi panjang yang seperti dilakukan di era La Nggusu – Langgini biayanya tentu mahal sekali. Mulai dari proses La lose Ro Ra (kunjungan rahasia), Lao Kakakro Labo Ampa Sanco (mengirim buah tangan ke keluarga si gadis), sampai Lao Wi’I Nggahi atau Pita Nggahi (tahapan awal memasuki pertunangan) bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Kemudian diteruskan dengan Wa’a Mamad (mengantar sirih bersama perlengkapannya), Wa’a Sarae (mengantar Caping), sampai ke masa pengabdian sang lelaki kepada keluarga perempuan yang disebut Ngge’e Nuru. Di masa ini sang calon pengantin pria harus bisa membangun rumah untuk mereka tempati setelah menikah nanti.
Duh! Berat nian kewajiban lelaki Bima ya…
Novel Wadu Ntanda Rahi Tentang Kesetiaan Seorang Istri Terhadap Suami
Sisa dari Novel Wadu Ntanda Rahi tentu adalah kisah romantisme hubungan lelaki dan perempuan bergaya klasik. Seperti Rome-Juliet yang unhappy ending. Kasih asmara yang membahagiakan di awal berakhir sedih di belakang. Cerita ini sudah terkristal dalam ingatan bersama masyakat Bima. Tidak seperti Malin Kundang jadi batu karena durhaka kepada Bunda, sosok utama dalam struktur masyarakat, Wadu Ntanda Rahi berfokus pada kesetiaan, tepatnya kesetiaan wanita terhadap suaminya.
Selesai menuntaskan Wadu Ntanda Rahi Lalu timbul pertanyaan di benak saya. Mengapa kah cerita seperti itu perlu dilegendakan?
Lalu saya juga menjawab sendiri. Bahwa masyarakat Bima yang kehidupannya di lingkari laut itu wajar jika bermata pencaharian utama sebagai nelayan. Profesi nelayan mengharuskan mereka keluar rumah dalam waktu lama. Mungkin kah cerita seperti dalam Novel Wadu Ntanda Rahi ini mereka perlukan guna memagari status quo suami dalam rumah tangga?
Wadu Ntanda Rahi Sebagai Tempat Wisata Legenda di Bima
Sepertinya hal cerita legenda Malin Kundang yang dikutuk ibunya jadi batu yang diabadikan sebagai tempat wisara di Pantai Air Manis Padang. Cerita Rakyat Bima, Wadu Ntanda Rahi juga bisa dikunjungi sebagai tempat wisata di Bima.
Dalam bahasa Bima Wadu berarti batu, Ntanda berarti memandang atau melihat, Rahi berarti memandang suami. Jadi secara keseluruhan maknanya adalah batu yang memandang suami. Kalau jalan-jalan di Kota Bima cari lah objek wisata dengan nama yang sama.
Wadu Ntanda Rahi sebagai objek wisata legenda berada di atas Gunung Manggemaci di tengah kota Bima. Karena letaknya di atas bukit, memang butuh tenaga untuk naik ke atas. Wisatawan perlu menapaki tak kurang 281 anak tangga. Pada ujung anak tangga, wisatawan akan langsung disambut oleh sejumlah batu tersusun.
Batu-batu tersebut disusun melingkar dengan tinggi 2 kali lebih tubuh manusia. Batu-batu yang dikelilingi semak belukar inilah yang diyakini sebagai wujud dari Wadu Ntanda Rahi
Tertari eksplor tempat wisata legenda Bima ini? Yuk meluncur