Perasaan membuncah kala menyadari bahwa saya sedang berdiri di atas tanah paling ujung dari Pulau Sulawesi bagian Selatan. Pantai Tanjung Bira mendatangkan kegembiraan. Ada sensasi aneh. Ada gelitik rasa, saat memandan ke dalam airnya sebening kaca.
Tapi perasaan seperti itu tentu saja tidak terlalu asing. Tiap kali kaki menginjak menginjak tempat indah pertama kali rasa itu pasti muncul. Sekalipun secara geografis langkah belum terlalu jauh, masih di kawasan Nusantara, kawasan Tanjung Bira pun tak seluruhnya terjelajahi, tetap saja merasa bahwa ini termasuk perjalanan epik saya. Sudah lama membaca dan mendengar keindahan Pantai Tanjung Bira yang terletak Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba ini.
Rute Menuju Pantai Tanjung Bira
Perjalanan menuju Pantai Tanjung Bira kami mulai dari Kota Bulukumba. Kalau dari Makassar bisa naik Trans sampai ke Bulukumba. Tapi itu pun tak langsung sampai ke pantai yang airnya bak sebening kaca ini. Dari terminal Bulukumba cari angkot yang bisa melewati pantai ini.
Baca juga : Sunset di Pantai Merpati Bulukumba
Jadi perjalanan kami dari Bukumba-Tanjung Bira masih sekitar 67 Km lagi. Bagi saya terasa asik. Karena dibawa menyisir lansekap perbukitan, sawah, dan sungai.
Lansekapnya sedikit berbeda dari Pulau Jawa yang saya kenal. Hamparan persawahan terkadang mirip savanna, terbuka luas dengan sisa batang padi, petani, kerbau, dan asap yang mengepul ke udara karena pembakaran jerami.
Di beberapa sawah terlihat gelimpangan batu-batu granit besar. “Dari mana asal bebatuan tersebut?” Tanya saya pada kawan yang mengantar. “Mungkin muntahan Gunung Moncong Lompobatang yang meletus ratusan tahun lalu” Jawabnya.
Mengenal Rumah Bugis di Sepanjang Poros Bulukumba – Pantai Tanjung Bira
Menyusuri Jalan Poros Bulukumba yang mulus mata juga dimanjakan oleh berbagai kekayaan budaya Bugis. Rumah panggung yang berteras dengan tangga lurus dari halaman dan kadang menyerong dari samping.
Yang menarik adalah mengamati atap rumah yang berbentuk prisma. Karena saya berjalan dengan orang Bugis asli jadi dapat sedikit pengetahuan tentang arsitektur tradisional rumah mereka. Bahwa bangungan terbagi dua bagian, atas dan bawah.
Bagian atas (rakeang) yang menarik perhatian saya itu terdiri dari loteng dan atap. Atap menggunakan bahan dari seng dan sebagian asbes. Bentuk prisma, memakai tutup bubungan yang disebut Timpak Laja. Nah dari bentuk dari Timpak Laja ini kita bisa membedakan status sosial penghuninya.
Walau pun disainnya berbeda-beda, pada umumnya rumah-rumah yang saya lihat di tepi jalan itu dihuni oleh masyarakat Bugis di kelas menengah ke bawah. Teman saya berjanji akan membawa melihat Rumah Bugis bagi bangsawan. Sayang tidak jadi karena keterbatasan waktu.
Baca juga : Barongko Pisang Khas Bugis
Mampir di Tana Beru Mengintip Pembuatan Kapal Pinisi
Perjalanan Bulukumba – Pantai tanjung Bira ini memang banyak nilai plusnya. Setelah mendapat penjelasan tentang rumah Bugis, kami pun mampir di Tanaberu, melihat pembuatan kapal Pinisi.
Warga Bulukumba memang terkenal sebagai pembuat kapal kayu warisan nenek moyang Bugis ini.
Saya pertama kali mendengar tentang kapal Pinisi sewaktu masih duduk di SD. Dalam pelajaran tebak-tebakan IPS. Lalu tahun 1986 TVRI sempat heboh tentang pembangunan satu kapal untuk dibawa berlayar ke Vancouver Kanada, Amerika Serikat. Mungkin untuk napak tilas para Pelaut Bugis kuno.
Atau mungkin hanya sekedar membuktikan ketangguhan kapal. Jadi mumpung sudah berada di jantung kebudayaan orang Bugis saya pun merasa perlu mampir di Tana Beru, lokasi pembuatan kapal pinisi sudah terkenal seantero dunia.
Setidaknya salah satu kapal yang sedang dibuat saat saya berkunjung merupakan pesanan orang Amerika untuk dijadikan yacht pribadi. Harga kapal tersebut hampir 2 milyar rupiah.
Pembuatan kapal pinisi memang mahal. Menurut Bapak yang saya tanyai rata-rata di atas 1 milyar Rupiah. Lalu mata saya berkeliling ke rumah-rumah panggung penduduk. Bila bentuk rumah mewakili kesejahteraan penghuninya saya kira harga kapal-kapal pinisi tak tercermin pada rumah-rumah penduduk sekitar.
Ah mungkin karena membangun satu kapal membutuhkan waktu berbulan-bulan dan bahkan ada yang sampai satu tahun. Mungkin itu lah sebab sekalipun pesanan kapal terus bergulir namun rumah-rumah penduduknya tetap sederhana.
Pantai Tanjung Bira, Airnya Sebening Kaca
Jika Sobat Traveler mencari pantai cantik, eksotis, dan belum terjamah mass tourism, Pantai Tanjung Bira bukan pilihan tepat. Pantai Tanjung Bira adalah pantai yang ramai. Namanya sudah melesat ke udara. Jadi bintang para turis yang sedang berkunjung ke Makassar atau Bulukumba.
Baca juga : Pantai Tanjung Setia Lampung
D sana sudah berdiri berbagai warung souvenir, makanan, maupun bungalow, resort, hotel, dan penginapan. Dari yang murah sampai yang mahal. Mata kita akan terbiasa melihat turis kulit putih yang sudah tanning tapi masih berjemur santai di bawah sengatan matahari. Lalu turis lokal seperti saya yang tentu tak akan melewatkan kesempatan foto-foto di tiap sudut.
Baca juga : Pantai Tanjung Kait Tangerang -Seafood dan Kehidupan Nelayan
Matahari sedang garang saat saya tiba. Agar tak lebih hitam lagi saya memilih berteduh di warung makan ketimbang bermain di atas pasir putih.
Menghisap air kelapa mudah sambil memandangi kerlip kristal pasir yang dipantulkan matahari. Itu saja sudah membuat telapak kaki saya merasa terbakar. Padahal rencanaya saya ingin membuat foto bawah air. Ingin menjajal sampai dimana kehebatan DSLR Waterproof Case punya teman.
Tapi tidak jadi. Saya takut panas. Kadang iri pada para bule itu. Dengan berjemur beberapa hari saja mereka bisa membuktikan telah berkunjung ke negeri tropis dengan kulit yang terbakar. Lah andai kata saya main salju, bahkan sampai seumur hidup, apa mungkin bisa membuktikan diri telah berkunjung ke negeri 4 musim?
Nyantai di Bira View Inn
Dari tempat makan saya beranjak ke Bira View Inn. Bukan untuk menginap cuma meminjam beranda restonya yang menjorok ke laut. Kembali berteduh. Membiarkan angin yang datang dari laut membelai kulit dan melayangkan hayal.
Memandang ke ikan-ikan kecil berenang berformasi di bawah. Tak hirau pada beberapa ekor burung laut yang terbang melingkar-lingkar di atas dan mengincar mereka. Sebetulnya saya tak rela juga para ikan unyu itu jadi santapan siang burung yang sedang lapar. Ingin menyambitnya dengan batu agar mereka menjauh. Tapi siapa lah saya? Apa hak saya ikut campur pada proses alam?
Mampir ke Pantai Panrang Luhu Tanjung Bira
Dua jam kemudian air bening Pantai Tanjung Bira sudah berada di belakang. Sebelum melesat menuju Makassar kamipun mampir sejenak di Pantai Panrang Luhu. Pantai yang tidak kalah cantik dengan Bira. Pasir putih, airnya bening, dengan pohon kelapa berbaris sepanjang bibir lalut.
Gambaran pantai tropis dalam iklan dapat banget di Pantai Panrang Luhu. Airnya sebening kaca.
Dan di sini pun kembali melihat pembuatan Kapal Pinisi. Kalau melihat dari ukuran kapal pinisi yang dibuat di Panrangluhu lebih besar dari yang di Tana Beru. Entah kalau saya salah…