Chocolate and Coffee Museum – Tiap meninggalkan rumah sebatang cokelat pasti nyelip dalam ransel saya. Berguna mencegah pening akibat gula darah turun kalau-kalau telat makan. Namanya juga diperjalanan situasi kadang tak menentu. Kadang mudah menemukan tempat makan kadang tidak. Paling aman memang menyelipkan sepotong cokelat atau roti ke dalam ransel. Untuk jaga-jaga.
Namun kebanyakan coklat yang dibawa itu berakhir bukan untuk maksud yang sebenarnya. Bukan untuk pertolongan darurat malainkan jadi makanan iseng. Seperti saat keliling kota Penang beberapa waktu lalu. Perjalanan dari barat ke timur menyusuri Pulau Penang sebenarnya menarik. Hanya saja karena perjalanannya cukup panjang membangkitkan perasaan lapar. Iseng tepatnya. Maka cokelat simpanan itu pun keluar dari ransel. Melihat itu si bungu langsung berkata: “ Stop deh Mama..”
Baca juga
Bogyoke Aung San Market Yangon
Goyang Lidah Dengan Kuliner Lokal di Night Market Phnom Penh
Tanpa dosa ia mengambil coklat dari tangan saya. Mematahkan, membagi ke sepupunya, dan memakannya sendiri. “Aku sayang mama..” katanya menepuk-nepuk perut tambun saya. Perasaan jadi campur aduk. Suka karena merasa di sayang. Sedih karena anak sendiri saja bisa melihat saya kelebihan berat badan. Duh! Maka saya pun ngelap air mata dalam hati.
Museum Cokelat Penang Atau Toko Cokelat Penang?
Rupanya Joe – sahabat yang menemani kami—mengikuti pembicaraan tersebut. “Siapa yang suka cokelat?” Tanya dari balik kaca spion. Saya pun langsung tunjuk tangan. Si bungsu tertawa geli. Yang lain juga. “Okey…Kebetulan sekarang kita akan melewati Chocolate and Coffee Museum Penang.” Katanya. “Wah museum cokelat?” Saya bergumam. Bahkan seisi mobil pun naik suhunya. “Mau..Mau..” Kata mereka.
Tak saya saja kiranya yang ingin melihat seperti apa rupa museum cokelat itu. Kalau pabrik cokelat sih pernah ke Monggo Chocolate di Yogyakarta.
Terbukti kemudian perkataan Joe separuh benar dan separuh tidak. Yang dimaksud sebagai Chocolate And Coffee Museum itu ternyata sebuah toko. Toko yang menjual cokelat dan kopi.
Karena sudah kadung sampai ya dinikmati saja. Apa lagi konsep museum ada benarnya walau teramat minim. Maksud saya sebelum belanja ke dalam toko cokelat dan kopi mereka menyediakan separuh ruangan dari satu bangunan untuk edukasi.
Dengan gambar dan alat-alat sederhana kita dikenalkan pada sejarah, proses pembuatan, dan jenis-jenis cokelat. Dinding juga penuh kutipan kata mutiara maupun filosofi tentang cokelat. Sedikitnya masih dapat lah nuansa Chocolate and Coffee Museum-nya.
Bagian dari Museum Cokelat dan Kopi Penang itu …
Masuk ke bagian tokonya baru terasa bahwa ini surga bagi para penggemar cokelat. Benar bahwa bisnis itu perlu dimodali kreativitas. Dan benar di dalam museum cokelat dan kopi Penang ini berbagai kreasi olahan otak kanan manusia tersaji cantik.
Mulai dari penataan rak-rak, warna, desain kemasan, dan bagaimana mereka dikelompokan, jadi pesta untuk mata pengunjung. Terutama desain kemasan yang akan mudah membuat pelanggan jatuh hati. Walau tak membeli, masuk ke toko ini memberi inspirasi bagaimana bisnis seharusnya dikemas.
Baca juga :
Saya jadi ingat saat berkunjung ke Bulukumba dan masuk ke kebun cokelat. Bagaimana petani di sana terkadang membiarkan buah cokelatnya membusuk di pohon karena merasa tak mendapat keuntungan dari produk mereka. Ah kalau saja ada jembatan yang menghubungkan kreasi otak kanan seperti ini masuk ke kampung-kampung penghasil coklet tanah air, yang saya lihat di Bulukumba itu tak perlu terjadi.
Dari mengagumi kemasan saya mulai memilih-milih cokelat yang hendak di beli. Bertambah takjub bahwa mereka memadukan buah-buahan yang sudah saya kenal dengan cokelat dalam seksi Fruits Chocolate. Ada durian, strawberry, apel, kelapa, semangka, nanas, dan bahkan cabe.
Iya di Rumah Cokelat dan Kopi Penang ini ada coklat pedas. Saat diberi kesempatan mencicipi syaraf perasa saya langsung protes. Cabe biasanya di masakan bukan dalam permen. Karena rekaman rasa itu belum ada di memori pencecap maka dengan sembarangan saja ia mengatakan coklat pedas itu tak enak. Padahal kalau jejak sejarah cokelat manis itu disingkirkan sedikit pasti enak juga lah cokelat pedas itu.
Chocolate and Coffee Museum Rumah Kreativitas
Sambil melihat, mengagumi, dan terus menerus ditawarkan potongan cokelat kecil untuk dikulum dan minuman Hot Chocolate untuk dicicipi, tidak bisa menghentikan saya berpikir. Bahwa toko ini dirancang untuk wisatawan. Sejatinya bukan untuk penggemar cokelat. Terutama penggemar yang sensitif harga seperti saya.
Seperti kata peribahasa bahwa ada rupa ada harga terbukti di sini. Dari dua kotak cokelat yang saya beli karena tertarik kemasan terbukti bahwa saya membeli harapan sendiri. Cokelatnya sih biasa-biasa saja. Isinya juga sedikit. Lebih enak cokelat produk massal yang biasa saya konsumsi.
Lantas ingat kutipan film Forest Gump yang dibintangi Tom Hanks di dinding mereka: Life is like a box of chocolate, you never know what you’re gonna get”. Ok fine! Baik lah.
Keluar dari saya melanjutkan melamun. Mungkin di Indonesia sudah ada toko seperti ini. Dan saya berdoa semoga sudah ada. Semoga. Semoga. Tanah air kita begitu kaya. Tak susah membuat toko seperti itu.