Istano Basa Pagaruyung – Misteri Istana Pagaruyung -Sejarah Istana Pagaruyung
Entah apa yang terjadi terhadap sejarah Minangkabau seandainya Belanda dengan VOC tidak merangsak masuk ke Sumatera beratus tahun lalu. Mungkin Istano Basa Pagaruyung dan Kerajaan Pagaruyung tetap eksis di Sumatera Barat sampai sekarang. Diperintah bangsawan. Menggunakan sistem pemerintahnya berdasar  sistem politik konfederasi dengan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Mungkin kah?
Sekalipun mencintai Minangkabau, saya tak kenal banyak sejarah maupun budayanya. Ada semacam gap dari pernyataan mencintai dengan fakta ketidaktahuan di dalamnya. Bukan kah mencintai harus pula mengetahui?
Nah untuk menjembatini gap itu, kalau sedang di kampung saya akan jalan-jalan ke berbagai tempat. Lihat deh Kategori Sumatera Barat di kategori travel blog ini.
Jadi untuk menambah destinasi jelajah di Sumatera Barat suatu hari saya berangkat ke Batu Sangkar. Merasakan aura sisa kemegahan Kerajaan Pagaruyung, melihat Istano Basa yang baru, Situs Batu Basurek, Makam Bangsawan Minangkabau di Ustano Rajo Alam.
Lihat seluruh posting tentang Sumatera Barat di sini : Sumatera Barat
Cara Menuju Istano Basa Pagaruyung
Dari manapun teman-teman datangnya, untuk menuju Istano Basa Pagaruyung, jika berada di Bukitttingi pastikan pagi-pagi kalian sudah berada di kota ini.
Perjalanan ke Istano Basa Pagaruyung ini mudah karena lokasinya memang strategis, terletak di tepi jalan Raya Bukittingi-Batusangkar yang lebar.
Saya memulainya dengan angkutan umum dari Terminal Aur Kuning. Karena banyak menurun-naikan penumpang, Bukittinggi-Batusangkar menghabiskan waktu 2 jam lebih. Di sebuah persimpangan kami turun. Sebelumnya sudah berpesan kepada sopirnya bahwa kami akan ke Istana Pagaruyung, jadi beliau mengerti di simpangan mana harus menurunkan kami.
Dari simpangan perjalanan dilanjutkan dengan ojek, biaya Rp.10.000/orang sudah sampai di pusat Kerajaan Pagaruyung.
Misteri Istana Pagaruyung yang Terbakar Berulangkali
Sejarah Istana Pagaruyung sedikit memilukan menurut saya. Konflik dan bencana alam, membuat fisiknya hilang timbul dalam sejarah. Berkali-kali terbakar, berkali-kali jadi abu. Memusnahkan segaka kekayaan yang tersimpan di dalam.
Namun istana adalah pusat peradaban, hukum, seni, dan jati diri. Yang musnah perlu dihadirkan kembali. Jangan sampai generasi setelah ini hanya mendengar ceritanya dan tak melihat sedikipun buktinya. Lagi pula orang Minang memang suka banget menggunakan filosofi Mambangkik Batang Tarandam, mengangkat kembali keagungan masa lalu.
Baca juga Ustano Rajo Alam – Jejak Kebudayaan Purba Minangkabau
Maka atas insitif berbagai elit Minangkabau maka proses pembangunan kembali Istano Basa kembali di lakukan pada 27 Desember 1976. Ditandai dengan peletakan tunggak tuo (tiang utama) oleh Harun Zain, Gubernur Sumatera Barat waktu itu. Bangunan baru ini tidak didirikan di tapak istana lama, tetapi di lokasi baru di sebelah selatannya.
Sayang niat para Mamak yang hendak menghadirkan kembali sekelumit sisa kemegahan Kerajaan Pagaruyung kembali berujung pada abu. Pada tanggal 27 Februari 2007, Istano Basa kembali kebakaran. Penyebabnya petir yang menyambar dari puncak istana. Karena materi bangunan berupa ijuk dan kayu memang bersahabat dengan api, bangunan penuh ukiran falsafah adat Minangkabau ini musnah seketika.
Pilu juga membayangkan bahwa yang ikut musnah tersebut juga dokumen-dokumen penting dan kain-kain hiasan yang sangat bernilai. Diperkirakan hanya sekitar 15 persen barang-barang berharga yang selamat. Diantara yang lolos itu sekarang disimpan di Balai Benda Purbakala Kabupaten Tanah Datar.
Baca juga Situs Prasasti Pagaruyung Batusangkar
Sementara harta pusaka Kerajaan Pagaruyung disimpan di Istano Silinduang Bulan yang berjarak sekitar  2 kilometer dari Istano Basa Pagaruyung.
Replika Kemegahan Istana Pagaruyung
Kalau dilihat dari jauh bangunan Istano Basa bentuk gonjongnya  mirip kapal. Terletak di kecamatan Tanjung Emas, kota Batusangkar, kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Senang juga akhirnya sampai di obyek wisata budaya paling terkenal di Sumatera Barat ini.
Penyuka sejarah atau pun bangunan budaya tak perlu berharap banyak dari Istano Basa ini. Anggap saja sedang berkunjung ke museum atau Taman Mini. Sebab yang berdiri sekarang hanya lah replika dari Istana Pagaruyung asli yang dulu terletak di atas Bukit Batu Patah.
Istana Pagaruyung asli itu sudah musnah, terbakar habis pada kerusuhan berdarah yang terjadi pada tahun 1804. Sekalipun didirikan kembali ia kembali terbakar pada tahun 1966.
Siang itu saya berdiri sejenak di pintu masuk (disebut Bandua) Istana. Mencoba menghadirkan masa lalu ke dalam ruang panjang penuh warna meriah, berlantai kayu, bertonggak kokoh dengan berbagai perkakas.
Sejajar dengan pintu masuk mata langsung bersirobok dengan Singgasana Bundo Kanduang. Mirip pelaminan pengantin masa kini dengan tirai melambai lembut berbahan kain sutra cantik. Di sinilah pada masanya Bundo Kanduang (Sang Ratu) menerima tamu, melihat-lihat ke halaman, atau mengawasi siapa saja yang belum datang bila sedang berlangsung musyawarah.
Menengok ke kanan terdapat Anjung Rajo Babandiang. Sepertinya bagian pangkal rumah (Istana) dengan 3 langgam (tingkat ) ini bagian paling penting dari Istana Pagaruyung. Menurut guide yang sepenuh hati menerangkan segalanya, langgam pertama berfungsi sebagai tempat sidang, langgam kedua tempat peristirahatan raja dan permaisuri, sementara langgam ketiga kamar tidur mereka.
Di kirinya adalah Anjuang Perak. Tempat rapat Bunda Kanduang mengenai masalah-masalah rumah tangga dan kewanitaan. Selain tempat musyawarah terdapat tempat beristirahat dan tempat tidur Ibu Suri pada langgam ketiga. Mungkin karena keterbatasan ruangan bagi saya tidak begitu jelas kronologis dari pembagian langgam-langgam di atas. Mestinya pada istana asli ada pemisah yang jelas.
Memasuki Istano Basa berarti belajar tentang bagaimana pemerintahan negeri di jalankan atau cara hidup dilakoni Suku Minangkabau saat lalu. Karena Istano Basa Pagaruyung juga tak lain dari rumah gadang, tempat tinggal tetap anggota keluarga berdasarkan garis keturunan ibu. Maka di bagian tengah ada Bandua (lantai yang ditinggikan), letaknya tepat di depan pintu masuk (surambi papek). Ini merupakan ruang berkumpul para penghulu.  Posisi duduk mereka harus membelakangi jendela, simbolisasi dari perhatian, pengawasan, kepedulian, dan tanggung jawab penghulu kepada anggota kaumnya.
Baca juga:
Bandua Tangah Istana Pagaruyung
Dalam ruangan yang terlihat tanpa batas ini sebenarnya banyak batas. Hanya saja bukan dalam artian dinding. Sentral hidup bersama harus dibatasi oleh aturan-aturan ketat namun tak terlihat. Seperti Bandua Tengah ditujukan bagi para sumando (lelaki yang masuk ke dalam lingkungan keluarga perempuan karena perkawinan) bersama keluarga mereka. Bandua tengah adalah simbolisasi penghormatan masyarakat Minangkabau yang bersistem sosial matrilineal terhadap para urang sumando.
Labuah Tangah
Ada Bandua Tangah ada pula Labuah Tangah. Labuah dalam bahasa Minang artinya jalan. Dalam Istana Paga Ruyung terdapat sebuah ruangan persegi empat yang terbentuk oleh empat buah tiang. Ruang ini disebut Labuah Tangah (jalan tengah) terletak persis di muka Singgasana. Labuah tangah juga membagi Istano menjadi dua bagian, kiri dan kanan.
Kemudian Labuah Gajah yang terletak antara Bandua Tapi dan Bandua Tangah. Lengkapnya sebuah rumah selain dinding terdapat jendela lebar. Jendela menghubungkan rumah dengan dunia luar. Simbol dari masyarakat yang aktif mengawasi dan mengikuti perkembangan dalam anggota keluarga, anggota kaum, maupun masyarakat secara umum.
Anjung Peranginan terletak di lantai dua. Para putri yang belum menikah di tempatkan di sini.Mengingat tempatnya terletak di lantai atas ini juga lambing bahwa sang putri terjaga dengan baik dalam lingkup rumah gadang berpenghulu (dipingit).
Naik lagi ke lantai tiga bernama Mahligai. Namun saya tidak sampai masuk ke sini karena tertutup saat itu. Bisa dimaklumi karena di sini adalah tempat menyimpan benda-benda berharga. Seperti perhiasan, baju, dan mahkota Kerajaan. Peti penyimpannya disebut Aluang Bunian.
Unsur Penunjang Istano Basa Pagaruyung
Puas mengelilingi ruang dalam Istano Basa Pagaruyung saya turun kembali ke halaman. Berputar searah jarum jam pertama bersua dengan Surau lengkap dengan Tabuah Larangan. Surau tempat anak-anak raja belajar mengaji dan tempat tinggal anak lelaki yang sudah akil baliq. Sementara tabuah Larangan digunakan sebagai media penyebar berita seperti sedang terjadi situasi mendesak di perkampungan seperti bencana alam atau kebakaran. Tabuah Larangan juga digunakan untuk memanggil para penghulu agar datang ke istana untuk rapat. Yang membedakan keduanya adalah hitungan tabuh dan langgam bunyi.
Sementara Rangkiang Patah Sembilan berada di pekarangan sebelah kiri Istano Basa Pagaruyung. Rangkiang  berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Selain itu fungsi rangkiang di Sitanao adalah sebagai simbol kemakmuran dan kekuatan Alam Minangkabau.
Beringsut ke halaman belakang saya menemukan bangunan. Sebenarnya dapur bisa dicapai dari lantai dua karena dihubungkan oleh sebuah selasar. Namun saya lebih menyukai mengawasi dapur yang mempunyai dua ruang itu dari bawah. Ruang kanan berfungsi sebagai tempat memasak, tempat menyimpan perkakas, termasuk Pisau Dapur. Sementara ruang sebelah kiri tempat tinggal para dayang yang berjumlah dua belas orang.
Di belakang dapur terdapat Pincuran Tujuh yang merupakan tempat pemandian keluarga raja. Disebut demikian karena tempat pemandian ini mempunyai tujuh buah pincuran yang tebuat dari batang bambu dan dilengkapi juga dengan jamban tradisional.
Sebelum meninggalkan Istano Basa Pagaruyung, di atas Batu Tapakan, kembali menatap ke arah Istana yang halamannya penuh wisatawan. Berharap bangunan ini tak terbakar lagi. Sebab menurut cerita keluarga yang tinggal di Batusangkar, istana yang sekarang kurang megah di banding sebelumnya. Baik bantuk bangunan maupun koleksi. Kalau terbakar lagi saya kuatir Istano Basa Pagaruyung berikutnya mutunya semakin berkurang.