Pantai Tanjung Kait Tangerang – Sebagai warga Tangerang kami jarang mempertimbangakan pantai ini sebagai tujuan wisata. Bila hendak melihat ombak atau pasir putih piliahannya cuma dua, kalau bukan ke Ancol ya pasti ke Anyer. Tangerang bagi kami hanya sebagai tempat tinggal, tempat berusaha, dan menyekolahkan anak. Kalau pun dijadikan destinasi wisata pilihannya agak terbatas sebab yang ada hanya mall, budaya, dan kuliner. Padahal wisata di Pantai Tajung Kait juga menarik. Menikmati Seafood di Tanjung Kait seru. Wisata budaya pun ada Vihara Tanjung Kait.
Saya sering mentertawakan diri sendiri dalam banyak hal. Salah satunya seputar kenaifan dalam membaca peta. Dalam Google Maps jarak Serpong-Mauk di mana Pantai Tanjung Kait terletak tampak singkat. Saya pikir paling butuh 30 menit sudah sampai. Tak tahunya kami harus mengikuti jalan berliku yang disertai macet di sana-sini. Masuk tol, keluar ke jalan bisa, dan bahkan memintas di perkampungan. Untungnya semua jalan relatif baik. Kalau tak salah setidaknya butuh sekitar 2 jam lebih baru lah kami tiba di jalan masuk Tanjung Kait yang terletak pesis di depan Klenteng Tjo Soe Kong.
Baca juga Wisata Kuliner di Tangerang
Vihara Tanjung Kait
Klenteng Tjo Soe Kong tempat bersejarah, dibangun tahun 1860. Sudah mengalami pemugaran, berdiri kokoh dan bisa dijadikan penunjuk arah.
Kronologi Klengteng Tjoe Soe Kong sudah tua. Mulai berdiri abad-18, tepatnya sekitar 1792, berdiri tak jauh dari bibir Pantai Tanjung Kait, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang. Pendirinya adalah warga Tionghoa Tanjung Kait, keturunan imigran dari Kabupaten Anxi di Provinsi Hok Kian Cina. Nama lain dari klenteng Tjoe Soe Kong adalah Rong Jia Yi Da Bo Gong Miao.
Nama Tjo Soe Kong sendiri berasal dari nama pendeta yang lahir di masa Dinasti Song di Cina. Ia masuk ke dalam catatan sejarah ketika sejumlah wilayah Anxi dilanda kemarau panjang. Tjo Soe Kong memimpin upacara memohon hujan kepada Tuhan dan dikabulkan. Sebagai rasa terima kasih Tjo Soe Kong diminta menetap di Anxi. Ia memilih tinggal di kaki Gunung Peng Lai. Di tempat itu lah, warga yang mayoritas adalah petani tebu, mendirikan kelenteng untuk Tjo Soe Kong.
Lokasi wihara tak jauh dari mulut Pantai Tanjung Kait Tangerang.
Vihara Tanjung Kait ini adalah satu dari tiga kelenteng tertua di Banten. Dua kelenteng lainnya adalah Boen Tek Bio di Kota Tangerang, dan Avalokitesvara di Banten Lama, Serang.
Dari Vihara Tanjung Kait perjalanan ke pantai diteruskan 500 meter lagi. Pada ujungnya kita sampai di pelataran pantai berpasir abu-abu. Flamboyant merah sedang berbunga. Pohon kelapa membuat suasana lebih teduh di siang yang sedang menyengat. Anak-anak berlari diantara pohon tumpukan batang bambu.
Wisata Pantai Tanjung Kait
Jika kawan traveler mengidentikan jalan-jalan ke pantai harus sama dengan melihat pemandangan indah, Tanjung Kait bukan untuk kalian. Wisata Tanjung Kait tidak perlu berharap menemukan air yang membiru atau bergradasi hijau tosca. Pantai jernih dengan ikan-ikan kecil berenangnya di bawahnya. Atau berharap pantai berpasir putih dimana kalian bisa menggelar handuk, tidur di atasnya sambil menikmati angin laut, kehangatan matahari, dan sebutir kelapa muda di samping. Tambahkan setangkai bunga kemboja di telinga…Aaaa… Itu mah di Bali, Kakak!
Air laut Pantai Tanjung Kait Tangernga berwarna kecoklatan. Seperti ada lumpur yang bangkit dari dasarnya. Mulut pantai pun curam dan berbatu guna mencegah tepian darat tidak tergerus ombak. Namun wisata Pantai Tanjung Kait punya pesona sendiri.
Ihya jika kalian datang ke sini, baik piknik maupun sekadar menyeberang ke Pulau Untung Jawa, pastikan tidak menambah beban pantai ini. Jangan membuang sampah sembarangan. Simpan bungkus makanan kalian atau buang ke tempat sampah terdekat. Sebab pantai ini masih digunakan berenang oleh adik-adik yang tinggal di sekitar sini.
Berdiri di mulut Pantai Tanjung kait saya menyadari bahwa saya kurang piknik. Sependek pengalaman piknik ke pantai atau pelabuhan nelayan baru kali ini melihat dermaga terbuat dari bambu. Biasanya kan bertembok dengan tiang-tiang beton ya? Di sini tidak. Dermaganya terbuat dari susunan batang bambu utuh yang ditancapkan ke dalam laut. Lebih mirip jembatan ketimbang panambak kapal, menurut saya.
Menikmati Seafood Tanjung Kait
Demikian lah. Tanjung Kait tidak memiliki keindahan fisik seperti yang dipunyai Anyer dan Marina Ancol. Tapi bukan berarti tempat ini bisa diabaikan sebagai destinasi wisata. Tiap akhir pekan atau hari besar nasional tempat ini banyak pengunjung yang datang dari Tangerang, Jakarta dan sekitarnya.
Bahkan menurut cerita Bapak yang saya temui di salah satu rumah panggung, orang-orang yang bersembahyang di Klenteng Tjo Soe Kong biasanya usai ibadah akan mampir, bersama keluarga menikmati es kelapa muda atau makan seafood sambil memandang ke laut lepas. ” Seafood Tanjung Kait terkenal, Bu” Ujarnya meyakinkan.
Saya mengedar pandang deretan rumah panggung yang ditopang ratusan bilah bambu. Menghirup udara dalam-dalam dari alir angin laut utara. Beringsut ke dalam menikmati seafood.
Sambil makan melempar pandang ke laut lepas yang Nampak keabuan. Lalu ke kapal-kapal nelayan yang berbaris di sisi dermaga atau bersandar hening di depan saung-saung yang menjorok ke laut. Saung yang saya duduki berdiri di atas ratusan bambu, berdinding anyaman, dan beratap rumbia.
Tanjung Kait Dari Laut – Keliling Perahu
Diantara puluhan perahu yang tengah bersandar itu tersedia untuk disewakan kepada pelanggan. Sekedar berkeliling mengamati kehidupan laut dari dekat, memandang daratan dari jauh, atau sampai menyeberang ke Pulau Untung Jawa. Perahu itu juga biasa disewakan untuk memancing. Ongkosnya tergantung negosiasi dengan sang pemilik.
Mengamati Aktivitas Nelayan Pantai Tanjung Kait Tangerang
sejatinya Tanjung Kait adalah kampung nelayan. Dan ini merupakan kabar baik bagi Sobat JEI sudah di level “Pejalan”. Mereka yang berwisata tak melulu mencari pemandagan alam yang indah. Mereka yang berjalan dengan menyerap intisari dari berbagai pertemuan, memaknai, lalu menjadikan sebagai pelajaran hidup. Fresh from the field.
Untuk pejalan seperti itu banyak yang bisa dilihat, dirasakan, dan dipahami di Tanjung Kait. Karena tiap jengkal tempat tinggal umat manusia merupakan lembar cerita. Di sini ada cerita tentang bagaimana penentu kebijakan abai dengan potensi daerahnya sendiri.
Ya melihat dari kacamata wisatawan dan destinasi wisata betapa area ini begitu amburadul. Sepertinya dibiarkan mengelola dirinya sendiri. Setidaknya begitu lah kesan saya kala memandang ke dermaga dan cerita kawan tentang terlalu banyak pungutan yang terjadi. Siang itu hanya kami pengunjungnya jadi tak terjadi seperti yang diceritakan kawan tersebut. Kalaupun ada pungutan hanya sekali sesaat di depan Klenteng tadi.
Perak Tong Cave Temple Uji Stamina
Desa Tanjung Anom Tanjung Kait Tangerang
Sebenarnya kawasan di Desa Tanjung Anom ini lumayan indah. Sekalipun pantainya tak berbibir landai jika di tata lebih rapi daya Tarik tepi laut akan muncul dengan sendirinya. Belum lagi jika nelayan diberdayakan, misalnya diberi pelatihan menghadapi wisatawan, bukan tak mungkin tempat ini jadi sumber pendapatan lumayan. Kalau sudah begitu penduduk meningkat kesejahteraannya dan Pemda dapat pendapatan dari tiket masuk dan parkir.
Hari menjelang sore. Tak ada yang bisa dikerjakan lagi. Saya berjalan melintasi jembatan dan mendekati seorang Bapak nelayan pantai tanjung kait Tangerang, tengah sibuk dengan perahunya di bawah.
Sepertinya ia sedang menimba keluar air dari dasar perahu yang kemungkinan bocor. Derak bunyi Sepatu Kets saya membuat ia menengok ke atas. Untuk memastikan saya bertanya tentang apa yang dikerjakannya. Namun karena saya berada di atas dermaga dan dia di bawah jawabannya tidak begitu jelas.
Yang jelas hanyalah sebentar lagi ia akan pergi melaut. Tapi jika saya bermaksud berkeliling, menuju Pantai Tanjung Pasir atau bahkan menyeberang sampai ke Pulau Untung Jawa, ia bisa mengantarkan.
Tawaran yang menarik. Tapi…“Sudah terlalu sore, Pak” Tolak saya halus.
Ia mengangguk dan meneruskan pekerjaannya kembali.