Kehadiran saya dan teman-teman di Kota Bima relatif singkat. Karena berbagai kendala rencana mengeksplorasi tempat-tempat yang semula direncanakan tak bisa dieksekusi. Kecewa memang, tapi yang namanya traveling bukan lah aktivitas yang bisa diprediksi seratus persen di muka. Travel bloggers sudah tahu banget ini. Jadi tak apa. Mungkin ini jalan agar kami kembali ke Bima. Yang penting adalah makna yang bisa dipetik dari perjalanannya seperti perjalanan dari kota Bima ke desa Sangiang Wera di Kecamatan Wera ini. Bersyukur sudah sempat menginjakan tanah dengan budaya dan kaya kearifan lokal ini.
Jadi saat melakukan perjalanan dari Kota Bima Desa Sangiang di Wera, kota kecamatan di Nusa Tenggara Barat, saya tidak punya ekspektasi apa-apa. Kecuali sudah tahu bahwa secara topografis wilayah Kabupaten Bima sebagian besar (70%) merupakan dataran tinggi. Dari atas pesawat saja sudah terlihat tanahnya bertekstur pegunungan dan hanya (30%) saja berupa dataran yang terbagi atas proporsi 14% areal persawahan.
Artinya lagi 16 % sisanya merupakan lahan kering. Apapun akan dilihat nanti saya sudah yakin duluan akan menemukan lansekap eksotis!
Angkutan Dari Kota Bima ke Desa Sangiang Wera
Saat ini sudah tersedia angkutan umum dari kota Bima ke Kecamatan Wera. Pemerintah telah membangun Terminal Tipe C di kota Bima. Yang terdapat di Kelurahan Kumbe adalah terminal angkutan umum menuju ke Kecamatan Sape Kabupaten Bima. Sementara yang di Desa Jati Baru adalah terminal angkutan umum yang menuju ke Kecamatan Wera Kabupaten Bima.
Tapi rombongan saya tidak menggunakan kendaraan umum, tapi kendaraan pribadi, pickup bak terbuka. Keadaan ini kami gunakan sebaik-baiknya untuk memperhatikan lingkungan yang dilewati.
Sekilas Kota Bima
Memang lah saat berada di dalam Kota Bima, seperti umumnya kota yang sedang berkembang di Pulau Jawa, sekilas sepertinya tak ada yang istimewa. Rumah dan toko yang berciri Bima mau pun tidak, berjejer di depan jalan. Angkot, cikomo, mobil pribadi, dan ojek berseliweran. Kadang parkir begitu saja seperti hanya mereka pengguna jalan.
Pasar tradisional menjual hasil alam dan industri yang menggambarkan bagaimana masyarakat mengkonsumsi. Begitu pun sarana umum berupa tempat ibadah dan alun-alun bahwa hidup mengalir mengikuti kemajuan.
Namun saya merekam aktivitas penduduk dalam perasaan bahwa setelah pulang saya pasti akan sangat merindukan tempat ini.
Memulai Perjalanan ke Wera
Begitu keluar dari gerbang Kota Bima, suasana langsung berbeda. Pikiran bahwa suatu saat akan merindukan tanah Nusa Tenggara Barat semakin menguat. Bukan hanya karena lansekapnya sangat berbeda dari Pulau Jawa dan Sumatera, bahwa tempat ini kurang terekspos dari sisi pariwasat mungkin alasan utamanya.
Di tempat-tempat yang sudah jadi destinasi wisata massal relatif sulit menemukan keunikan yang membuat mulut mengucapkan wow secara natural. Mungkin sudah terbiasa melihatnya dari majalah dan internet atau juga karena over komersil membentuk pandangan bahwa itu sudah biasa. Dan lansekap yang saya lalui kala menuju Sangiang Wera mengukir pandangan baru bagi saya akan arti keindahan sebuah perjalan.
Tanah yang Gersang
Perjalanan Bima ke Wera ini tejadi di Agustus, puncak musim kering tanah air. Kecerahan mentari pagi seolah menelanjangi tanah Bima yang kerontang. Langit biru memayungi lahan keabuan bertabur beberapa pohon hijau.
Bukit-bukit kapur dengan semak kering, kambing-kambing, dan sapi-sapi hening menghadap lautan lepas.
Ombak kecil menghempas kemudian hilang. Mungkin karena masih pagi tak terlihat penduduk memandikan kuda, aktivitas biasa yang saya lihat di tepi pantai sepanjang sore kemarin di Kota Bima. Gulungan air yang diterbangkan angin, pecahan kecilnya menyampaikan pesan bahwa laut yang membiru itu teramat dalam.
Lintasan Bayang Gunung Api Sangiang
Dari kejauhan Gunung Sangiang Api berdiri kokoh. Abu vulkaniknya melambai-lambai menjangkau awan. Setelah melintasi jalan berliku, bekelok yang bersisian dengan tepi jurang terjal, kami masuk ke jalan di tepi laut.
Iya selain mengikuti lentur punggung perbukitan, perjalanan Kota Bima menuju Desa Sangiang Wera ini diteruskan menyusuri tepian Teluk Bima yang tersambung ke Laut Flores. Ini lah lintasan pelayaran modern, jalur kapal Benoa/Denpasar-Bitung atau Bima-Labuan Bajo.
Mungkin juga ini lah lajur pelayaran nenek moyang bangsa Dana Mbojo beratus tahun lalu. Pantainya penuh lekukan membentuk ratusan teluk mini.
Makjang! Kabupaten ini beruntung sekali. Dengan Gunung Sangiang Api yang masih aktif itu tak sulit bagi anak mudanya menemukan tempat selfie keren. Bahkan satu dua lekukan pantainya berbentuk setengah lingkaran sempurna.
Sekalipun bisa bertanya pada Pak Alan yang menemani, selama perjalan saya membuka Google Mapas dan menghidupkan GPS ponsel. Tak enak bertanya setiap saat hanya untuk mengetahui posisi saat itu. Sayangnya seperti juga banyak tempat di Bima, lansekap mereka di Google Maps masih banyak belum bernama.
Saya mencoba membuat earth tagging untuk foto di Instagram, setali tiga uang, yang keluar hanya titik GPS. Beberapa pantai sudah bernama seperti Pantai Radu, Pantai Oi Tui, Pantai Tololai, dan Pantai So Sanumbe. Selebihnya kosong.
Tapi tetap saya beri bintang guna menandai bahwa saya pernah di sana. Akun Google saya akan menyimpan tagging ini untuk banyak keperluan di masa depan.
Beberapa foto dalam perjalanan dari Kota Bima ke Sanghiang Wera:
Aktivitas di Tepi Jalan
Namanya road trip, melintas dengan kendaraan bermotor kemudian meninggalkan jejak karbon semena-mena di belakang. Selebihnya tak bisa melakukan apa-apa selain selang-seling memandang aktivitas penduduk dengan pemandangan alam.
Artinya tak ada yang bisa ditanyai berapa ekor ternak yang dimiliki gembala yang sedang mencari rumput di perbukitan. Atau kemana mereka yang melaju kencang mendahului mobil kami dengan sepeda motornya pergi?
Orang yang berjualan atau menunggu kendaraan umum duduk di pondok tepi jalan sudah berapa lama di sana?
Baliho-baliho kampanye para pemimpin daerah itu siapa nama mereka? Apa visi mereka untuk daerah cantik ini?
Sekelompok ibu-ibu membawa bingkisan yang hendak pergi ke pesta tetangga, apa buah tangan mereka?
Bapak-bapak yang merokok sambil tercenung mengawasi kendaraan yang berlalu lalang, sedang memikirkan apa?
Tiba di Desa Sangiang Wera
Jalan lintas Kota Bima-Desa Sangiang Wera sudah beraspal mulus. Tidak demikian dengan rumah penduduknya, ada yang bagus, banyak pula yang tidak. Rumah-rumah itu terbuat dari tembok dan papan. Menurut kawan diantara desa yang kami lintasi tersebut ada yang belum dimasuki jaringan PLN. Kalau pun ada kadang listriknya hanya menyala selam 6 jam perhari.
Rumah tradisional Bima berupa rumah panggung yang terbuat dari papan. Yang eksotis adalah terlihat banyak kaum ibu menenun di bawah maupun di kolong rumah. Warna-warna benang yang mencolok terlihat jelas di kejauhan.
Perjalanan Pulang Dari Desa Sangiang Were ke Bima
Perjalanan pulang dari Desa Sangiang Wera lebih dramatis view-nya. Saat perlahan matahari turun bias jingga dari laut dan darat membuat shutter camera saya tak berhenti bekerja.
Di sebuah tempat kami tak tak tahan untuk tak berhenti melihat sunset perlahan hadir di depan mata. “Yuk turun poto-potoan!” Semua sepakat. Jangan lupa pakai Kaca Mata Korea biar tambah keceh. Bang Alan Guteres, pimpinan Yayasan dan sekolah gratis Darul Ulum untuk anak-anak kurang mampu di Ambalawi Tololai, pemenang Kick Andy Hero, dan tokoh inspiratif Dompet Dhuafa, tanggap terhadap kebutuhan penganut garis keras “gak sah berkunjung ke satu tempat kalau tak narsis!” Matahari menjingga itu perlahan menghilang ke bawah laut.
Semoga di lain waktu bisa menulis profil Alan Guteres di sini. Sementara itu silahkan nikmati foto-foto sunset– nya dulu 🙂