Tidak banyak makam yang bisa dijadikan obyek wisata di Sumatera Barat. Makam rakyat biasa kebanyakan tak dirawat dan kembali rata dengan tanah seiring berjalannya waktu. Sementara makam orang penting atau tokoh sejarah hanya diperlakukan sebagai layaknya makam, tempat peristirahatan terakhir.
Pernyataan ini berangkat dari pengalaman saya saja karena jarang melihat orang pergi berziaran atau berdoa di dekat makam. Dan sependek pengetahuan juga yang cukup sering dijadikan obyek wisata religi hanyalah makam Syekh Burhanuddin Ulakan, pembawa agama Islam ke Minangkabau dan pendiri Tarekat Shatariyah. Makam ini terletak di Tapak Ulakan, Ulakan, Kabupaten Pariaman.
Baca juga Pulau Manimbora Misteri Tulang Belulang Manusia
Sementara di Batusangkar terdapat Kompleks Pemakaman Raja Pagaruyung yang disebut Ustano Rajo Alam. Jika Istano Basa adalah tempat tinggal sementara raja dan keluarganya semasa masih hidup, Ustano Rajo Alam adalah tempat peristirahatan abadi mereka. Situs cagar budaya ini bukan obyek wisata religi namun bisa dijadikan salah satu destinasi setelah wisatawan berkunjung ke Istana Pagaruruyung atau Situs Batu Basurek Adityawarman..
“Bu, setelah ke Istano Basa pulangnya mampir ke Ustano Rajo Alam saja. Nanti saya antar. Sekalian melihat Batu Basurek dan Batu Batapuak” Tawaran itu datang dari tukang ojek yang mengantar saya ke Istana Pagaruyung. Dan tentu terlalu menggiurkan untuk dilewatkan. Setelah nego harga kami sepakat ia akan menjemput dua jam kemudian.
Baca juga Istana Basa Pagaruyung Dalam Lorong Sejarah
Komplek Ustano Raja Alam Pagaruyung Minangkabau
Jadi di siang yang gemerlap itu saya pun berdiri di depan kompleks pekuburan bangsawan Minangkabau yang terletak di Jorong(desa) Gudam, kecamatan Tanjung Emas kabupaten Tanah Datar. Satu atau dua diantara mereka yang tertanam di bawah dulu pernah disebut, Rajo Alam,Rajo Adat, Rajo Ibadat yang melahirkan dinasti Rajo Tigo Selo.
Baca juga Situs Prasasti Pagaruyung Batusangkar
Seluruhnya ada 13 makam, berjejer rapi ternaungi batang beringin berakar dan berdaun rimbun. Pohon beringin ini membuat udara sekitar selalu teduh dan lembab. Terlihat dari pertumbuhan lumut di permukaan tanah, tembok, batu-batu maupun permukaan nisan. Akar pohon yang muncul ke permukaan mencungkil tempok jalan setapak.
Lalu merasa agak aneh saat memandang ke sebelah kiri dari pintu masuk, ke satu makam yang terjepit diantara 2 batang beringin yang diberi kelambu dari kain satin kuning. Ini pengalaman pertama melihat kuburan berkelambu di Sumatera Barat. “Mungkin meniru makam-makam para kiyai di Jawa“, pikir saya. Tidak ada yang bisa dimintai keterangan dan tak ada pula keterangan tertulis tentang makam tersebut.
Hanya terlihat seorang anak muda yang mengenakan Jaket Varsity sedang memotret tiap sudut kompleks dengan khusuk. Dari lokasi dan bentuk perlakuannya orang di dalam semasa hidupnya pasti lah memiliki jabatan paling tinggi atau paling dihormati diantara seluruh penghuni makam di sini.
Tapi bila dikaitkan nama tempat ini Ustano Rajo Alam dan Rajo Alam, menurut cerita legenda ia adalah raja pertama Minangkabau. Namanya Dang Tuanku. Saya pikir kuburan berkelambu tersebut pasti milik Dan Tuanku. Gelar Rajo Alam yang diberikan kepadanya karena Dan Tuanku dianggap raja sakti dan mampu menguasai alam.
Dan Tuanku Gelar Rajo Alam
Menarik mengamati gundukan tanah ke tiga belas kuburan yang terbuat dari batu kali bersusun dan direkat dengan semen. Tidak mirip kuburan biasa yang ditembok tapi lebih mirip pembentukan punden berundak.
Dari penampilannya yang seragam sepertinya komplek Ustano Rajo Alam Pagaruyung merupakan hasil renovasi. Ternyata benar. Kang Google berbisik bahwa Ustano Rajo Alam mulai dipugar pemerintah melalui dinas Suaka Alam pada tahun 1975.
Melalui SK Dinas Suaka Alam pula pengelolaan Ustano diserahkan kepada pemerintah Jorong Gudam pada tahun 1989. Dan pada tahun 1991 pengelolaan Ustano dikembalikan kepada pewaris langsung yaitu kepada Keluarga Malin Malelo. Ukuran makam bervariasi antara panjang 210 cm-400 cm, lebar antara 115 cm-280 cm, dan tinggi antara 35 cm-45 cm.
Punden Berundak dan Menhir Jejak Budaya Purba Minangkabau
Keanehan kedua untuk saya adalah bentuk nisannya. Tidak seperti nisan penganut agama Islam lainnya, nisan-nisan di Usatano Raja alam bentuknya seperti menhir.
Jirat batu kali yang seperti punden berundak dan menhir membawa saya pada kesimpulan bahwa saat itu sedang memandang sisa jejak purba budaya yang pernah hidup di Minangkbau.
Seperti kita tahu di era pra sejarah, menhir dan punden berundak digunakan untuk menghormati roh nenek moyang. Artinya bentuk pekurun keluarga kerajaan Pagaruyung ini akan membawa kita jauh ke jaman sebelum Islam masuk ke Minangkabau. Pun jauh sebelum penduduk menganut agama Hindu dan Budha.
Baca juga Makam Sunan Gunung Jati Cirebon Jawa Barat
Ragam hias atau motif pada batu nisan juga menceritakan hal yang sama. Motif geometris, garis, dan sulur-suluran berasal dari era pra sejarah. Tapi memang ada percampuran era dalam ragam hias tersebut. Sulur-suluran ini dalam bahasa Minang disebut kaluak paku.
Menurut seorang peneliti kaluak paku adalah motif ukiran Minangkabau modern. Mungkin yang terjadi di kuburan para raja alam ini seperti juga terjadi dalam kebudayaan Minangkabau itu sendiri: Hasil percampuran berbagai kebudayaan: pra sejarah, Hindu, Budha, dan Islam hingga mencapai bentuknya yang sekarang.
Makam Belanda di Komplek Ustano Rajo Alam Pagaruyung
Selain nisan-nisan seperti motif di atas terdapat juga nisan polos tanpa hiasan. Rupanya dalam komplek Ustano Rajo Alam Pagaruyung juga terdapat dua makam yang bukan anggota keluarga kerajaan. Salah satu nisan polos itu diduga milik seorang perempuan bernama Noni. Ia anak seorang pejabat Belanda yang meninggal saat Belanda berkuasa di Tanahdatar.
Bagaimana ceritanya orang Belanda bisa dimakam kan di sini? Pasti menarik kalau bisa dikaji ke dalam buku-buku sejarah.
Namun Komplek Ustano Rajo Alam Pagaruyung tak melulu berkiblat pada jejak purba kebudayaan Minangakabau. Setidaknya orientasi makam yang mengarah ke utara-selatan dianggap merupakan ciri khas makam Islam.
Medan Nan Bapeneh dan Batu Kasur
Sekalipun bentuknya adalah makam, pihak pengelola tampaknya berusaha menghadirkan pranata sosial kuno ke dalam kompleks pemakaman ini.
Pada sebelah kiri pintu masuk (selatan), tepat di muka kuburan berkelambu, terdapat gelanggang terbuka yang disebut Medan Nan bapaneh.
Baca juga Komplek Pemakaman Kesultanan Bima Dana Traha
Medan Nan Bapaneh dalam adat Minangkabau merupakan tempat bersidang para pemimpin di alam terbuka. Dinamakan juga Balai Nan Saruang (tempat yang seruang) yang hanya berlantaikan tanah, beratap langit dan berdinding embun.
Tempat duduknya adalah sepasang batu hitam yang disebut Batu Cadangan. Tempat duduk itu di susun melingkar dengan sebuah meja di tengah. Di sinilah raja bermusyawarah dengan para penghulu dalam mengurus negeri. Tempat ini juga digunakan untuk penobatan raja maupun gelanggang untuk mengadu berbagai ketangkasan.
Baca juga Festival Kuliner Serpong : Minang nan Rancak
Batu Kasur
Tepat di muka Medan nan Bapeneh terdapat “Batu Kasur atau Batu Uji”. Bentuknya memang seperti kasur yang berupa lempengan batu dan diberi lubang-lubang dakon pada permukaan.
Di atas batu seperti ini lah seluruh keturunan dari Rajo Tigo Selo ini melakukan laku “BATARAK” sebelum diangkat jadi raja. Sebab seorang raja harus lah kuat fisik dan mental.
Baca juga Lembah Bada Pernah Didatangi Astronot Purba?
Maka selama beberapa hari mereka di godok dengan bersemedi di bawah sebatang pohon Beringin Sakti, beralas batu Kasur yang sudah diberi alas daun jelatang niru yang akan membuat kulit gatal-gatal.
Saya mengakhiri kunjungan di jejak budaya purba Minangkabau ini dengan satu kesimpulan: Merasa bangga jadi anggota salah satu kelompok etnis yang berpikiran terbuka. Hidup dalam dunia modern namun tetap menjunjung tinggi kearifan lokal.
Jaman boleh berkembang namun generasinya masih bisa melihat berbagai peninggalan yang sanggup mengungkap masa lalu tanpa harus menghadirkan pertentangan. Ustano Rajo Alam Pagaruyung ini salah satu contohnya.