Cerita jalan-jalan di Bali kali ini terasa istimewa. Karena Pesanggrahan Para Dewata ini tidak pernah membosankan saya. Tak masalah sudah berapa kali datang. Tak terpengaruh walau banyak yang mengatakan bahwa Bali sudah terlalu main stream, terlalu turistik, dan terlalu komersil. Bagi saya tempat ini terlalu eksotis untuk dikenal hanya satu, dua, atau tiga kali kunjungan. Apa lagi tiap kunjungan cuma berbilang hari. Paling lama 7 hari. Jdi masih terlalu banyak hal yang ingin diketahui yang luput dari mata.
Jalan-jalan kali ini dalam rangka mengikuti Hari Raya Nyepi . Saya bagi dalam 4 tulisan. Di mulai dari Cerita Jalan-Jalan di Bali, Upacara Meprani, Parade Ogoh-Ogoh, sampai melihat penduduk Mel Sanur melakukan Ngembak Geni yakni upacara sembahyangan satu hari setelah Nyepi yang diakkhiri mandi suci di laut.
Rencana Reklamasi yang Menggelisahkan
Suasana internasional sudah terasa begitu kaki menjejak kaki di Bandara Ngurah Rai. Sekalipun mendarat di terminal kedatangan domestik, turis dengan berbagai warna kulit dan bentuk mata memenuhi terminal. Belum lagi koper-koper besar dan papan selancar. Bandara Ngurai Rai serasa kampung internasional. Sementara Candi Bentar (gapura) penuh ukiran Bali di gerbang kedatangan menaikan kesadaran tentang budaya yang sebentar lagi kita masuki.
Di pintu keluar sudah menunggu Kenny Mimba. Tuan rumah saya selama berada di Bali
Memasuki Gerbang Tol Ngurah Rai, obrolan saya dan Keny berkisar seputar Tol Bali – Mandara yang megah. Tol pertama di Bali sekaligus sebagai jalan Tol Terapung pertama di Indonesia. Ruas tol yang membentang sepanjang 12,7 km diatas laut ini mengingatkan saya pada Penang Bridge di Malaysia. Uniknya ini lah satu-satunya jalan tol di Indonesia yang menyediakan jalur sepeda motornya di ruas kiri dan kanannya.
Lalu tentang rencana reklamasi Teluk Benoa yang mendapat tantangan dari masyarakat Bali. Pada awalnya saya kurang mengerti mengapa mereka harus menolak reklamasi. Bukan kah itu berarti pertambahan luas daratan Bali dan bisa membangun berbagai infrastruktur di atasnya?
Coba saja lihat tol lintas laut yang sedang dilewati, telah mengurai macet menuju Denpasar dari Bandara.
Kenny guide yang baik. Dia memahami saya tidak mengerti sama sekali apa yang saya bicarakan. Saya tak tahu dampak reklamasi terhadap masyarakat Bali. Atau bencana ekologis apa yang akan menimpa mereka.
Kenyy menjelaskan lewat analogi tentang sebuah batu yang dimasukan ke dalam mangkuk. “Kemana perginya air yang terpindah akibat massa batu tersebut?”
Saya langsung dapat pencerahan: “Artinya sebagian daratan Bali malah akan tenggelam?”
“Sederhananya begitu” Kenny tertawa.
Cerita Jalan-Jalan di Bali – Menikmati Nasi Campur Warung Krishna
Selama ini kalau ke Bali saya hanya sebagai turis. Artinya melihat Bali dari luar. Jalan-jalan pun hanya di sekitaran area turis. Makan makanan yang diperuntukan bagi turis.
Maka mumpung sedang jadi tamu orang Bali saya ingin melihat Bali dari dalam. Ikut menikmati makanan yang dinikmati orang Bali sehari-hari. Makanya begitu saya bertemu Tozan (kakaknya Kenny) dan ia bertanya saya mau makan apa, langsung keinginan tersebut saya ungkapkan. “ Saya ingin makan di warung semacam warteg tapi khusus masakan Bali. Ada kah di sekitar sini? ”
Eh ada!
Setelah menaruh koper di Sukun Bali Cottages dengan naik motor Tozan membawa saya ke Warung Krishna. Berbeda dengan warteg yang saya kenal di Serpong, Warung Krishna lapang, bersih, dengan pepohonan rindang mengelilingi. Tersedia dua ruang makan. Di depan warung ada meja kayu dan bangku panjang. Di belakang meja dengan kursi-kursi. Ruang belakang lebih nyaman karena menyerupai teras belakang rumah yang didominasi warna hijau pohon sekeliling.
Warung Krishna hanya menyediakan satu menu: Pecel Ayam Kuah. Tozan menyebutnya nasi campur. Isinya terdiri dari ayam suiran dimasak santan plus diberi irisan kelapa muda. Sekilas mirip opor.
Nasi Campur Bali ini dilengkap kacang goreng, urap, taoge, telur, sambel matah khas Bali, sate ayam lilit. Yang unik Warung Krishna memberi pilihan apakah menu tersebut dinikmati bersama nasi, ketupat, atau bubur. Kebetulan siang itu ketupatnya sudah habis jadi saya memilih nasi. Rasanya enak. Hari pertama saja sudah merasa puas jalan-jalan di Bali.
Alamat Warung Krishna
Jl. Kutat Lestari Nomor 4 Sanur, Denpasar, Bali.
Telepon (0361) 281661.
Menengok Persiapan Upacara Buta Yadnya di Rumah Odah Mangku
Tahun Baru Caka 1938 jatuh pada tangal 10 Maret 2016. Tiga atau dua hari sebelumnya, umat Hindu melakukan Upacara Penyucian. Disebut Melasti atau Melis/Mekiyis. Foto-foto akitivitas ini paling banyak menghias media masa. Begitu pun blog pengalaman liburan di bali banyak membahas tentang Melasti.
Bagai mana tidak? Dengan berpakaian adat putih-putih pria wanita sampai anak-anak, para perempuan dengan Banten di kepala, berbaris membawa segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) untuk diarak ke pantai, danau, laut atau ke manapun yang terdapat sumber air suci (tirta amerta). Mempesona! Foto-foto upacara simbol penyucian atas segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam ini sudah memikat saya sejak kecil.
Sayangnya saya tiba di Bali tanggal 7 Maret. Sementara Melasti masyarakat Sanur sudah dilaksanakan tanggal 6. Tapi tidak kecil hati juga. Jalan-jalan ke Bali kali ini memang penuh berkat. Setelah Melasti ada lagi upacara Buta Yadnya dan arak-arakan Ogoh-Ogoh.
Tentang Upacara Buta Yadnya
Ini kutipan dari Wikipedia mengenai upacara Buta Yadnya tersebut :
Pada “tilem sasih kesanga” (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya. Dilakasanakan di segala tingkatan masyarakat, mulai dari keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya. Membuat salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuan masing-masing. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Nah usai makan di Warung Krishna, Tozan bertanya, saya mau diantar kemana lagi? Kali ini adalah jalan-jalan ke Bali yang istimewa. Langsung terpikir upacara Buta Yadnya ini. Saya ingin dibawa ke rumah penduduk yang tengah sibuk mempersiapkan berbagai keperluan upacaranya.
Untung lah kami tidak perlu pergi jauh-jauh sebab Kakek si Dokter Gigi ini kebetulan seorang Pedande (pendeta) yang disebut Pemangku. Di mana lagi tempat paling tepat melihat persiapannya kalau bukan di rumah beliau?
Cerita Jalan-jalan di Bali – Melihat Kesibukan Odah Mangku Menyambut Hari Raya Nyepi
Memang lah saat kami tiba nenek dari Tozan yang dipanggil Odah Mangku, beliau sedang sibuk di Bale Dauh. Salah satu bale di rumah tradisional yang berfungsi sebagai tempat kerja, pertemuan dan tempat tidur anak laki-laki. Tangannya sibuk membuat janur untuk hiasan caru.
Sulit bagi saya membayangkan bahwa wanita lembut ini pada masa mudanya pernah menjunjung Banten setinggi satu meter dengan naik sepeda. Ia tergelak saat saya katakan betapa kuat tulang leher dan betapa bagus keseimbangan tubuh Odah.
Sementara seorang wanita lebih muda yang dipanggil simbok sibuk menata canang sari (wadah terbuat dari daun kelapa) ke dalam besek. Di hadapan mereka bertebaran daun kelapa muda, canang sari berisi berbagai nasi berikut lauknya, beras, bunga, buah-buahan, air suci, kendi, dan besek-besek bambu. Sambil tetap bekarja mereka menjawab semua keingintahuan saya dengan ramah.
Banten (sesembahan) sebanyak itu akan diletakan di Sanggah dan beberapa tempat suci lainnya di rumah Odah. Mengingat jumlahnya yang banyak saya pikir tadi akan dibawa ke Pura, tapi ternyata tidak. Banten-banten ini hanya untuk keperluan rumah.
Kemudian Tozan memperlihatkan kepada saya Sanggah (Pemerajan) milik keluarganya. Sanggah Kemulan tepatnya. Ini adalah tempat suci di pekarangan rumah, tempat bertahta Sang Bhatara Hyang Guru, dan tempat pemujaan atau pengayatan ajaran Tri Murti. Sanggah kemulan juga merupakan tempat suci untuk memuja Bhatara-Bhatari leluhur atau Dewa Pitara. Oh ya sebuah tempat baru bisa dinamai Sanggah atau Pemerajan bila minimal terdapat Kemulan Rong Tiga sebagai Linggih Tri Murti atau Leluhur, Linggih Sedana Penglurah, dan Gedong Linggih Taksu.
Begitu lah fondasi tradisi budaya Bali yang berakar kuat pada tradisi Agama Hindu. Cerita jalan-jalan di Bali kali ini sungguh membuka wawasan. Orang Bali sejak dalam kandungan sampai kematian menjalani berbagai upacara. Di lakoni setiap hari maupun mengikuti penanggalan.
Ini salah satu alasan mengapa mereka unik. Untuk membuat cerita jalan-jalan di Bali tak sulit mendapat bahannya. Beruntung saya dapat kesempatan melihat Bali dari dalam.