Upacara Meprani di Balai Banjar Semawang merupakan bagian dari Hari Raya Nyepi. Hari raya umat Hindu Bali dalam rangka menyambut Tahun Baru Caka. Hari yang perhitungannya jatuh pada Tilem Kesanga (IX) ini dipercaya sebagai hari penyucian para dewa yang bermukim di pusat samudera. Sekaligus memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa agar menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta). Tiga atau dua hari sebelum Hari Raya Nyepi umat Hindu Bali mengadakan rangkaian ritual yang disebut sebagai Upacara Kesanga. Diawali oleh melasti, mecaru pemarisuda bhumi, meprani, ngerupuk, Nyepi (nyatur brata). Nah saya beruntung bisa mengikuti Upacara Meprani yang diadakan di Bale Banjar Semawang – Sanur, satu hari sebelum NYepi 2016 yang jatuh pada tanggal 9 Maret lalu.
Berkostum Putih-Putih
Warna putih adalah induk dari semua warna. Dihasilkan dari tujuh campuran warna utama dengan kekuatan sama. Diberi beragam makna oleh beragam budaya dunia. Yang paling sering warna putih dijadikan simbol perdamaian, spiritualitas, kesucian, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan, cahaya, keamanan, dan persatuan. Begitu pun arti warna putih dalam ajaran Hindu tak jauh berbeda yakni sebagai kesucian, kebersihan, perdamaian, dan pengetahuan.
Karena Ritual Meprani merupakan rangkaian dari upacara penyucian, saya langsung memahami mengapa Balai Banjar Semawang pagi itu di dominasi warna putih. Kebaya brukat menerawangi tubuh-tubuh perempuan yang saya perhatikan hampir semuanya bebas dari gelambir lemak (langsung menyubit keras pinggang dan punggung sendiri). Rambut tergelung ke atas yang beberapa diantaranya berhias bunga Kemboja. Di pinggang terlilit selendang hijau dengan songket khas Bali di bawah. Bersisian dengan kaum pria dengan destar dan kemeja putih, mereka duduk di lantai wantilan (bangunan utama balai banjar) menghadap Balai Gede yang sudah penuh oleh berbagai banten upakara. Di sana sudah berdiri seorang Pendeta atau disebut juga Pemangku, sibuk mengatur berbagai keperluan agar upacara berlangsung sempurna.
Baca juga di sini:
- Masjid Merah Panjunan Cirebon
- Nopia dan Mino Pak Narwan Banyumas
- TEMPAT ROMANTIS YANG WAJIB DIKUNJUNGI SELAMA MENGINAP DI HOTEL DI NUSA DUA BALI
Saya dan teman-teman yang diundang ke tempat ini ikut berkostum adat. Sudah disediakan Tozan sebelum kedatangan kami. Berhubung saya yang paling lebar diantara mereka akhirnya tak jadi menggunakan kebaya (gak muat), alih-alih memakai blus putih kepunyaan sendiri. Kain dan ikat pinggang tetap pinjaman. Tapi tetap kok merasa gaya layaknya wanita Bali.
Di samping kanan Bale Gede terdapat sebuah bangunan lebih tinggi dan bertangga. Ini Sanggah atau Merajan (bangunan suci) yang mesti ada di tiap balai banjar di Bali. Digunakan sebagai tempat memohon kepada Tuhan agar memberi keselamatan dan kelancaran selama kegiatan yang dilaksanakan warga banjar berlangsung. Saya, Leoni, dan Nuri diijinkan duduk di atas tangga Sanggah agar lebih mudah melihat segala aktivitas yang sedang berlangsung di bawah.
Sakralnya Alunan Dharma Gita
Upacara Meprani di Balai Banjar Semawang ini adalah pengalaman pertama saya mengikuti upacara keagamaan Hindu Bali. Untuk orang lain mungkin hal biasa tapi buat saya sungguh pengalaman yang bergizi. Maka jauh-jauh hari menyiapkan diri guna menghadapi suasana sakral seperti halnya ritual-ritual yang biasa saya ikuti sebagai seorang muslim. Begitu lah saat mendengar tabuhan gamelan dalam mengiringi Dharma Gita –nyanyian berisi puji-pujian kepada Sang Hyang Widhi – saya ikut merinding. Apa lagi angin membawa asap dupa wangi, seolah menghantar saya ke tempat asing bernuansa mistis. Sekalipun Sanur sudah panas sepagi itu, alunan Dharma Gita ini mengirim geletar sejuk ke sanubari, membuat saya tahan menahan gigitan sinar mentari.
Ngomong-ngomong tentang Dharma Gita, menurut kepercayaan Hindu, pengucapan yang tepat akan membentuk budhi nurani jadi suci. Pikiran atau manah pun akan kuat dalam mengendalikan indria. Dan indria yang terkendali akan mampu mengarahkan perbuatan manusia agar selalu berpegang pada ajaran dharma atau kebenaran. Selain Dharma Gita sebagai nyanyian ketuhanan, irama lagu dan variasinya akan membantu umat Hindu beribadah lebih khusuk, hening, dan khidmat seperti yang saya lidat dalam Upacara Meprani maupun dalam upaca-upacara keagamaan lainnya.
Ikut Masuk ke Merajan
Setelah lantunan Dharma Gita, dari muka Bale Agung, pemangku mulai berbicara kepada umatnya. Sayang saya tak mengerti karena disampaikan dalam Bahasa Bali. Di belakangnya tersusun rapi banten-banten prani yang dibawa warga banjar. Jejeran banten itu berisi aneka makanan. Banten prani (makanan) kemudian diberi pujia-pujian (diastawa) dan diperciki air suci oleh jero mangku dengan dibantu beberapa orang tua. Dalam istilah mereka disebut ngayab.
Jadi sejatinya upacara Meprani adalah ungkapan rasa syukur dan bhakti kepada Ida Sanghyang Widhi dengan mempersembahkan banten serta hidangan (prani). Semoga semua mahluk (sarwa prani) hidup dalam kesejahteraan dalam alam semesta.
Tak lama kemudian beberapa orang ibu berjalan naik ke atas sanggah. Tangan mereka membawa banten kecil seperti yang saya lihat di rumah Odah mangku kemarin. Menemani adalah air suci dan dupa yang sudah menyala. Saya minta ijin mengikuti mereka ke dalam Merajan. Di sana, diantara asap dupa yang mengepul, mereka berkeliling, melemparkan bunga, dan memercikan air suci di sekeliling.
Baca juga di sini:
Tatalaksana Upacara Meprani di Balai Banjar Semawang
Agar teman-teman lebih memahami tentang Upacara Meprani, saya kutip tata laksananya dari : http://kanduksupatra.blogspot.co.id/2015/03/upacara-meprani.html
Prinsipnya Upacara Meprani pagi hari di banjar diawali dengan upacara pemarisuda bhumi(pembersihan dan penyucian bhuana agung dan bhuana alit) dalam sekala kecil yakni ruang lingkup banjar dan krama banjar. Upacara ini bersaranakan caru eka sata (ayam brumbun) sebagai sarana pengharmonisan alam sekala dan niskala, pengharmonisan Panca Maha Buta. Dilengkapi dengan banten durmanggala sebagai sarana untuk membersihan kedurmanggalan atau energi – energi yang tak sejalan dengan kehidupan manusia, dilanjutkan dengan pengulapan yakni sarana untuk mengembalikan energi – energi alam semesta ke posisinya masing – masing, dan dilanjutkan dengan ngelis dan prayascita yang maknanya adalah membersihkan dan menyucikan segala yang ada di dunia baik bhuana agung maupun buana alit, sekala dan niskala. Dengan upacara mecaru ini diharapkan energi alam semesta kembali dalam keseimbangan, bersih, tenang, dan suci. Inilah mengapa kemudian disebut dengan pemarisuda bhumi.
Prani memiliki dua pengertian. Yang pertama adalah tentang “mahluk” (sarwa prani / semua mahluk), kedua tentang “hidangan” yakni soda atau persembahan (dapat berupa gebogan) yang dilengkapi dengan hidangan nasi, lawar, sate, dan kuah.
Mawija – Menumbuhkan Benih Siwa yang Suci
Pada akhir ritual di Upacara Meprani di Balai Banjar Semawang, Pemangku dan beberapa orang yang dituakan berkeliling memercikan air suci yang ditempatkan dalam wadah perak. Umat yang menerima tetap duduk di lantai sambil mengapitkan tangan di atas kepala. Saya lihat mereka juga mulai menempelkan beras di tengah dahi diantara kedua mata.
Beras di dahi orang Bali ini disebut Mawija atau mabija yang dilakukan setelah usai mathirta, yakni rangkaian terakhir dalam suatu upacara persembahyangan. Wija atau bija merupakan biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Sebisa mungkin menggunakan beras galih yaitu beras utuh, tidak patah (aksata).
Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta.
Setelah bhakti pepranian (meprani) semua krama (anggota banjar) melakukan ramah-tamah. Dalam tata Meprani yang saya baca mereka akan duduk kembali di wantilan untuk menikmati isi banten yang telah diberkati tersebut bersama-sama. Namun di Balai Banjar Semawang saya tidak melihat hal seperti itu. Banten-banten tersebut dikembalikan kepada warga untuk nanti dinikmati di rumah masing-masing.
Baca juga di sini:
- Suatu Pagi di Kampung Nelayan Kuala Stabas Krui
- Festival Teluk Semaka : Pemberian Gelar Adat
- Khakot Tanggamus yang Spektakuler
Mengabadikan Diri di Monumen Sakral Orang Bali
Begitu lah Bali memang unik. Di potret dari sisi manapun ia tampil memukau. Upacara Meprani di Balai Banjar Semawang memberi banyak pelajaran untuk saya. Tak heran kan bila para travel blogger menyempatkan diri mampir ke sini, minimal mengabadikan diri dalam monumen-monumen sakral yang ada. Seperti yang dilakukan Mas Danan Wahu, Travel Blogger keren asal Lampung yang sekarang nyangkul di Batam.
Refrensi
http://www.babadbali.com/canangsari/bija.htm