Saat bercerita pada sanak famili bahwa saya akan jalan-jalan ke Teluk Buyat, beragam reaksinya. Ada yang mengucapkan selamat, ada pula yang heran. Ada yang ingat kasus Teluk Buyat di masa lalu, isu pencemaran, “Ngapain? Bukan kah tempat itu pernah dihebohkan sebagai cemaran tailing PT Newmont Minahasa Raya? Apa yang mau dilihat di sana?” – Kerukunan beragama di Teluk Buyat-
Yah banyak yang saya lihat dan alami sehingga bisa berbagai cerita dari Teluk Buyat kepada teman-teman. Pantai di Teluk Buyat terkenal cakep, salah satunya Pantai Lakban. Serunya melakukan perjalanan dari Manado menuju Ratatotok. Menikmati buah lokal Sulawesi Utara. Menikmati panorama Bukit Harapan. Bercengkerama dengan penduduk lokal. Melihat kerukunan beragama dengan simbol Masjid dan Gereja berdiri berdampingan.Melihat sisa luka-luka yang tertinggal akibat prahara Teluk Buyat.
Jika pertanyaan seperti itu juga muncul dari benak Sahabat Traveler Travel Blog Indonesia singgalah ke Teluk Buyat. Atau yang berencana wisata ke Sulawesi Utara, don’t worry, terus lah melangkah ke Kabupaten Minahasa Tenggara yang memeluk erat Teluk Buyat di dalamnya. Ada banyak cerita dari Teluk Buyat yang akan memperluas wawasan kita.
Sedang untuk kasus Teluk Buyat sendiri, para ahli lingkungan telah mengeluarkan berlembar-lembar kajian ilmiah tentang ini. Setelah melalui persidangan panjang (21 Bulan, sejak Agustus 2005) dengan 54 kali sidang, dan menghadirkan 63 saksi—termasuk saksi ahli dari dalam dan luar negeri—serta ribuan halaman studi, laporan dan dokumentasi resmi, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado, pada 24 April 2007, memutuskan bahwa tuduhan pencemaran itu tak terbukti sama sekali. Newmont dan mantan Presiden Direktur-nya dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan dan dipulihkan harkat dan martabatnya di mata hukum.
Ayo datang ke Buyat
Singgah di Ratatotok dan Buyat, pesona baharinya adalah cerita dari Teluk Buyat yang bisa jadi oleh-oleh perjalanan.
Oh ya mumpung sudah di sini sekalian deh ya Sobat Traveler mengikuti seri tulisan saya ke Teluk Buyat atau wisata tambang Sumbawa dari link-link yang terdapat dalam blog post ini.
Begitu lah! Teluk Buyat yang saya lihat kemarin sungguh berbeda dari isu pencemaran yang pernah saya baca di masa lalu. Ia memiliki segalanya: Kerukunan umat beragama, laut penuh terumbu karang, ikan, dan air biru-kehijauan. Cobalah berjalan kaki menelusuri sisi teluk rasakan pasir lembut memijit telapak kaki dengan sampiran air laut yang hangat.
Pohon kelapa berbaris sepanjang pantai mendengungkan gita negeri nyiur melambai. Jangan lewatkan berinteraksi dengan penduduk asli Kampung Buyat dan dengarkan cerita sebenarnya. Percaya lah ceruk kecil yang terletak di Kecamatan Ratatotok ini seperti mutiara yang menunggu sahabat traveler membuka cangkangnya agar terlihat kilaunya di mata dunia.
Cara Menuju Teluk Buyat Manado-Ratatotok
Perjalanan ke Teluk Buyat dimulai dari Manado. Dengan menggunakan bus di lanjutkan ke Ratatotok. Waktunya tempuh lumayan lama menurut saya yakni sekitar 3-4 jam. Sementara dari Ratahan – Ibu Kota Minahasa Tenggara hanya sekitar 1 jam 30 menit saja.
Awalnya membayangkan bahwa perjalanan akan membosankan. Maka saya pun menyiapkan bacaan, musik, dan headphone untuk mengganjel telinga. Ternyata itu semua tak terpakai akhirnya. Saya lebih terpesona mengamati jalan-jalan yang dilewati. Melihat barisan gereja dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Ditambah lagi salib-salib yang menancap di kiri-kanan, kota ini terlihat sangat relijius di mata saya. Apa lagi didukung motto Si Tou Timou Tumou Tou bahwa “Manusia hidup untuk memanusiakan orang lain”.
Ciri kedaerahan pun cukup menonjol sepanjang perjalanan dengan hadirnya rumah-rumah tradisional Minahasa berpanggung dan terbuat dari kayu.
Mampir di Rumah Makan Talaga
Sebelum lanjut ke ke Ratatotok – Minahasa Tenggara kami mampir dulu di Rumah Makan Telaga yang terletak di Jalan AA Maramis no.329 Mapanget Manado. Menikmati makan siang dengan Nila bakar bersambal dabu-dabu plus tumis kangkung. Rumah makan berbentuk saung dan berdiri di atas telaga ini membuat celoteh teman-teman kian meriah.
Seperti kebiasaan anak-anak sosmed umumnya bahwa acara makan kurang sempurna bila tidak didahului oleh ritual memotret. Maka nila bakar dan pelengkapnya yang tergeletak di atas piring keramik putih pun langsung jadi santapan lensa.
Makin ke sini saya kian memahami bahwa di tiap perjalanan, besar atau kecil, ada saja bersinggungan dengan hal-hal baru. Fragmen demi fragmen datang silih berganti ini bergunakan memperkaya bank memori. Ini lah mengapa traveling terkadang berubah jadi candu.
Update Februari 2022: Menurut Google Maps, Rumah Makan Talaga ini tutup permanen
Menikmati Buah Lokal
Memasuki Kecamatan Ratahan tampak jejeran warung-warung sederhana yang menjajakan buah lokal. Kami pun mampir sejenak untuk meluruskan kaki. Kebetulan warung yang disinggahi milik pengepul buah yang sedang sibuk menerima kiriman dari para petani.
Hal baru yang saya temui hari itu adalah: Ternyata dunia persalakan tak melulu diisi Salak Pondoh. Minahasa punya Salak Pangu mengikuti nama desa asal tumbuh buah bersisik seperti ular ini. Rasa Salak Pangu ini manis dan sedikit asam dengan daging buah renyah, tebal, dan banyak air. Ukurannya pun relatif lebih besar dari Salak Pondoh, dijual dengan masih menempel di tangkai dengan harga Rp.5000/Kg. Salak-salak ini siap diekspor ke Ternate.
Tiba-tiba saja kami seperti undangan istimewa di warung kecil ini. Berkotak-kotak buah manggis ranum dan rambutan siap dicicipi. Tapi kebanyakan teman-teman memilih menikmati Durian Ratahan. Tak salah juga sih sebab buah istimewa ini berdaging manis, liat, dan harum.
Baca juga di sini:
- Jadikan Buah Lokal Tuan di Negeri Sendiri
- Desember,Ketika Manggis Dan Rambutan Berbuah
- Buah Aren Untuk Sawah Organik
Panorama Dari Bukit Harapan Damai
Setelah prahara berlu, kasus Teluk Buyat dan isu pencemaran tak terbukti, tiba saatnya bagi Teluk Buyat melanjutkan mengisi dan melanjutkan kehidupan. Perekonomian mulai menggeliat. Dari alam maupun sebagai tempat tujuan wisata.
Destinasi wisata utama di Ratatotok Timur ini adalah Pantai Lakban. Garis pantai bebentuk dua muka yang bersisian langsung menghadap Laut Maluku. Lebih spektakuler bila disaksikan dari ketinggian Bukit Harapan. Dari sini bentangan panorama Teluk Buyat, Pulau Racun, Teluk Totok, dan berbagai pulau kecil lainnya membentuk imaji seperti lukisan. Airnya yang jernih rumah bagi berbagai jenis ikan, terumbu karang, hingga aneka jenis tanaman laut yang foto-foto cantiknya sudah saya lihat dari para penyelam.
Maka usai shalat subuh teman-teman sudah beranjak menuju ke atas Bukit Harapan. Perbedaan waktu satu jam dan keenakan tidur jadi penyebab saya ketinggalan momen sejenak. Fajarnya sudah keburu naik. Lagi pula saya butuh waktu menapaki tangga satu persatu. Ketekunan membujuk tubuh agar bisa bernapas panjang berbuah manis. Dua sisi wajah Pantai Lakban seolah tersenyum ria. Di sebalah kiri digunakan nelayan sebagai titik berangkat melaut sementara di sebelah kanan sudah dilengkapi fasilitas penunjang industri wisata. Terlihat barisan bangku kayu berderet di bawah pohon kelapa.
Ada yang sangat menarik di atas Bukit Harapan. Di batasi pondok naung, dua simbol agama, Islam dan Kristen, berdiri bersisian menghadap Teluk Buyat. Ini lah pengejewantahan kerukunan antar penduduk Ratatotok dan Buyat yang komposisinya terdiri dari berbagai etnis dan kepercayaan. Sebagian besar berasal dari wilayah lain seperti Sangir dan Gorontalo yang mulai berdatangan sejak jaman Belanda.
Traveling Cantik Gunakan Kosmetik yang Tepat
Cerita dari Teluk Buyat kurang lengkap tanpa gambar. Selain mengambil foto pemandangan tentu tak terhindarkan bila kita ingin pula punya foto selfie. Cuma terkadang bagi sebagian orang, terutama saya, butuh keberanian melakukannya. Mungkin karena saya terlalu keras pada diri sendiri bahwa foto selfie itu harus lah cantik. Setidaknya beberapa kekurangan di wajah seperti kerut dan bintik-bintik hitam akibat terlalu sering terpanggang matahari tidak perlu ikut mejeng. Itu mengganggu pemandangan orang lain. Prinsip saya, kalau sudah merasa jelek, ya gak usah pakai selfie-selfian segala.
Tapi Sahabat Traveler lebih baik mengikuti kata hati. Jika ingin selfie ya selfie saja. Jika masalahnya adalah bintik hitam, sekarang sudah banyak kosmetik yang bisa menutupinya. Tidak ada yang larang selagi traveling kita tetap cantik. Tak ada yang larang selagi traveling membawa kosmetik yang lengkap. Mereka adalah investasi kita. Selain membantu agar tampil lebih cantik, fungsi cosmetic yang terpenting adalah merawat kulit dan tubuh.
Nah jika bingung harus menggunakan cosmetic seperti apa, coba berkunjung ke Zalora deh dan lihat koleksi Mineral Botanica Cosmetics. Produk mereka lengkap mulai dari Decorative Makeup Cosmetics, Skin Care and Body Care products. Sudah begitu kemasan cantik-cantik pula, cocok banget masuk ke tas traveling orang-orang cantik.
Lagi pula suhu di Buyat dan Ratatatotok relatif hangat. Maklum kan di tepi laut. Pastikan membawa pelembab dan pelindung matahari dari Mineral Botanica ya. Kalau lipstik hukumnya wajib agar foto diri tidak pucat.
Cerita Dari Teluk Buyat, Bercengkerama dengan Penduduk
Dulu dan kini Ratotok dan Buyat sudah kaya oleh hasil bumi dan lautnya. Kandungan emas di perbukitan telah mendatangkan Belanda untuk menambang. Bahkan sisa penghancur batu jaman Belanda masih terlihat peninggalannya di Pantai Lakban. Sementara dari laut beratus kilogram ikan naik ke darat setiap harinya.
Pagi kedua berada di Buyat saya masuk ke Dusun IV, Desa Buyat Pantai, Ratatotok Timur, berbatasan langsung dengan Desa Buyat, Boltim, kampung yang dulu pernah mengalami tragedi dalam kasus Teluk Buyat dengan isu pencemaran ini. Berbeda dengan kampung nelayan yang pernah saya singgahi, Buyat Pante ini dilewati jalan beraspal mulus. Lahan bekas rawa itu kini sudah ditimbun dan dipadatkan oleh PT NMR sehingga terciptalah desa resik dengan rumah-rumah tertata rapi di atasnya. Mirip susunan perumahan di perkotaan.
Masyarakat Buyat yang Ramah
Yang sangat menyentuh adalah penduduk yang ramah. Melihat bahwa saya orang asing di desa itu, Pak Abdullah Jumadi yang sudah umroh ke Mekah dan mengenakan pakaian Haji langsung saja menyapa. Beliau salah seorang nelayan di sini yang kini telah memiliki kapal sendiri. Ia mempersilahkan kami memotret hasil tangkapan kapalnya semalam. Terletak dalam barisan box styrofoam, beragam jenis ikan yang belum disortir sedang menunggu para pengepul. Ikan-ikan dari Teluk Buyat dan Ratatotok ini akan menyebar hingga Manado, Bitung, dan kota besar lainnya melalui pabrik pengolahan ikan.
Bahkan Pak Jumadi juga menawarkan diri, kalau mau, kami bisa ikut melaut bersama beliau nanti malam. Membayangkan nelayan mengangkat jala berisi ikan-ikan yang menggelepar di dalamnya, tawaran itu tentu saja tak bakal ditolak. Sayangnya kurang beruntung karena pagi itu kami harus kembali ke Manado.
Baca juga : Kebun Raya Megawati Soekarno, Wisata Hijau Bekas Tambang
Kerukunan Beragama di Teluk Buyat – Masjid dan Gereja Berdampingan
Cerita dari Teluk Buyat ini makin sempurna kala saya bertemu dengan Pak Salamun Essing, pengurus Masjid An Namira Lakban. Beliau pun seorang nelayan. Nah kalau Bapak ini malah mengajak saya singgah dan sarapan di rumahnya. “Coba masakan kampung sini” Katanya. Saya terkekeh dan berterima kasih sebab di cottages kami menginap sarapan juga sudah menunggu.
Bila di atas Bukit Harapan bersandingan Menara Bulan Bintang dengan Salib Raksasa, di Dusun IV Desa Ratatotok Timur ini berdiri Masjid dan Gereja sangat berdekatan. Jarak pisah hanya sekitar 6 meter. Nah dua tempat ibadah ini tentu saja membuat kami jadi geleng-geleng kepala. “Apakah tidak saling terganggu?”
Pak Shaleh tertawa dan menggeleng. Masing-masing pemeluk agama tahu kapan kapan harus mematikan pengeras suara masing-masing. Bahkan selama merayakan hari raya agama masing-masing,hubungan Masjid dan Gereja semakin kental. Mereka saling membantu agar para saudara bisa beribadah dengan tenang. Ini hikmah paling besar masyarakat setelah prahara berlalu.
Luka yang Tertinggal Dari Kasus Teluk Buyat
Banyak luka yang teringgal dari kasus Teluk Buyat dengan isu pencemaran itu. Huru-hara yang dimulai tahun 2004 oleh sekelompok orang telah menimbulkan luka yang cukup dalam di tengah masyarakat Buyat Pantai. Mereka yang eksodus ke kampung lain yang berjarak sekitar 8 km dari desa asal dengan membakar rumah, hampir semuanya sekarang telah kembali. Karena di tempat baru tidak menemukan kehidupan seperti yang pernah dijanjikan kepada mereka.
Tapi seperti kata pepatah bahwa sekali paku tertancap, walaupun dicabut, bekasnya akan tetap tinggal. Mereka yang kembali itu rupanya tidak menempati desa yang sama dengan pak Jumadi dan Pak Shaleh. Tempat tinggal mereka terpisah oleh Sungai Buyat.
Pagi setelah berbincang dengan Pak Jumadi kami mendekati perbatasan desa tersebut. Karena tidak ada jembatan terpaksa hanya melihat dari jauh. Saya tidak tahu bangunan-bangunan yang berhasil saya foto apakah kandang atau tempat tinggal. Kalau itu tempat tinggal jelas rumah mereka berbeda dengan penduduk Dusun IV Desa Buyat yang dibangunkan PT. Newmont Minahasa Raya. Tapi semua pihak di sini selalu mengupayakan mengobati luka yang pernah terjadi selama kasus Teluk Buyat berlangsung.
Kelompok pemicu tragedi dengan isu pencemaran di Teluk Buyat sudah tak terdengar kabar beritanya. Begitu pun orang-orang yang terlibat di dalamnya. Setelah prahara di Teluk Buyat berlalu, masyarakat Buyat Pantai sudah melanjutkan kehidupan mereka dengan konsekwensi masing-masing. Sebagai pendatang saya berharap bahwa suatu hari nanti mereka akan melupakan semua silang sengketa, hidup rukun, dan sejahtera bersama.
Semoga cerita dari Teluk Buyat ini bisa melengkapi perjalanan teman-teman traveler bila nanti berkunjung ke sana.