Seperti juga cinta pertama, pengalaman pertama cenderung melekat dalam kenangan yang sukar dilupa. Seperti pengalaman pertama naik kapal ferry yang masih segar dalam ingatan. Tepatnya pengalaman pertama yang meninggalkan trauma saat berkenalan dengan kapal penyeberangan yang juga disebut Ro-Ro (roll on-roll off) ini di Pelabuhan Bakauheni.
Pulang Kampung ke Jakarta Naik Kapal Ferry dari Bakeuheni Lampung
Cerita ini saya tulis berdasarkan kenangan saat masih kuliah dan pertama kali naik kapal ferry. Saat itu sedang libur semester dan pulang kampung ke Jakarta. Sekalipun kedua orang tua asli Minang namun mereka sudah merantau ke Jakarta sejak muda. Bapak dan ibu bertemu di ibu kota, menikah lalu kembali ke kampung halaman.
Begitu anak-anak lahir mereka kembali ke ibu kota. Sejak itu mereka bolak-balik saja seperti gasing mengikuti siklus mata ekonomi. Saya sejak kelas dua SD mereka meresmikan jadi penduduk Jakarta. Tapi setamat SMA saya balik kampung dan kuliah ke Padang. Itu lah mengapa saya katakan pulang kampung saat liburan semester kembali ke Jakarta.
Naik Kapal Laut Pertama Kali ke Jakarta
Tapi pengalaman pertama saya dengan transportasi laut terjadi saat kelas 2 SD. Ketika harus berangkat ke Jakarta menggunakan kapal laut. Menyusul ibu dan bapak yang sudah berangkat lebih dulu 2 tahun sebelumnya.
Sekarang Minangkabau International Airport – Soekarno-Hatta cukup ditempuh 1.5 jam saja. Tapi di kelas 2 SD (sekitar tahun 1975), Bukitinggi-Jakarta saya tempuh tak kurang dari 4 hari tiga malam.
Di mulai dari suatu pagi yang masih berkabut naik bendi menuju Bukittinggi. Menginap semalam di rumah orang yang menjual tiket kapal. Besoknya naik bus menuju Teluk Bayur-Padang untuk naik kapal laut yang saya tidak ingat namanya. Pokonya kapalnya besar banget dan berwarna hitam.
Kemudian terombang-ambing selama 3 hari 2 malam di atas laut lepas, bersama ratusan orang duduk dan tidur dengan menggelar tikar dalam sebuah hal luas. Sekarang baru tahu bahwa itu adalah kelas ekonimi, kelas paling rendah dalam kapal. Sebab kapal juga menyediakan kamar seperti hotel dengan harga tiket yang menyesuaikan tentu saja.
Sesampai di Tanjung Priuk pun harus ke Terminal Rawa Mangun terlebih dahulu baru menyambung dengan bus menuju tempat tinggal ibu di Kramat Sentiong.
Nah di malam ke-4, dengan nyawa tinggal separuh baru lah saya bisa menangis sejadi-jadinya di pelukan ibu. Emosi campur aduk. Antara pelepasan rindu, lega, dan tak percaya akhirnya sampai di Jakarta. Seminggu kemudian goyangan ombak, seolah sedang berada di atas kapal masih terasa tatkala kaki menjejak tanah.
Baca juga:
- Kehebohan Trip Malaysia Melalui Laut
- Jakarta yang Compang-Camping
- Pelabuhan Sunda Kelapa, Objek Wisata Sejarah di Jakarta
Masa Kuliah Pengalaman Pertama Naik Ferry dari Lampung
Jadi memang begitu lah, pengalaman pertama naik kapal ferry saya alami setelah lulus SMA. Dan saya norak akut. Bayangkan sesaat bus meninggalkan dermaga, lalu perlahan meniti jembatan, bergerak menuju geladak, saya melongo dengan mulut terbuka.
Ingat cerita Nabi Yunus yang ditelan ikan raksasa. Memang mengamati pintu kapal yang terbuka lebar dengan antrian kendaraan di mulutnya tak terhindarkan membayangkan sedang masuk ke dalam perut ikan besar. Itu pun masih disertai bolak-balik melongok keluar. Hari sudah senja tapi masih kelihatan bagaimana ombak memukul-mukul tepian dermaga.
Dan saya panik. Bagaimana kalau di tengah laut tiba-tiba datang ombak besar dan memukul dinding kapal? Bukan tak mungkin kapal terbalik? Aduh saya kan tidak bisa berenang…
Tapi semua dialog itu hanya ribut dalam batin. Fisik di luar saya diam saja. Dalam hati merapal ayat-ayat Al Quran pendek untuk menelan semua ketakutan. Sementara keheningan teman yang duduk di sebelah membuat atmosfir semakin menggigit.
Takut Mati
Untuk pertama kali pula saya tahu bagaimana rasanya diserang rasa takut mati. Ia memukul dada dengan hebat, memaku saya di tempat duduk, dan mengeluarkan keringat dingin. Sementara imajinasi dibawa melayang kepada Bapak – Ibu yang sedang menanti di rumah. Mereka pasti sedih mengetahui bahwa saya tidak akan pernah sampai di Jakarta.
Terus bagaimana pula mereka harus menemukan jasad saya? Bagaimana wajah mereka saat saya ditandu menuju pemakaman? Eh apa kah mayatnya akan dicari oleh Tim SAR atau akan kah dibiarkan saja tenggelam di laut?
Pun ketika semua penumpang di suruh turun, saya menggeleng, minta ijin agar dibolehkan tinggal dalam bus saja. Pertimbangannya sederhana, kalau sampai kapal terbalik, saya terlindung dalam mobil.
Karena diizinkan tinggal dalam Bus compartment bus Lintas Sumatera saya memikirkan masa lalu, masa kini dan masa depan. Tapi semuanya kacau. Dalam pengalaman naik kapal ferry pertama ini, saya itu saya hanya ingin selamat!
Trauma Perlahan Meluntur
Untung lah setelah menikah saya banyak urusan dengan orang Lampung. Frekwensi penyeberangan Merak-Bakauheni meningkat. Ada peribahasa yang mengatakan bahwa alah bisa karena biasa. Sepertinya gara-gara sering mondar-mandir di Selat Sunda ini phobia saya naik kapal ferry menghilang.
Walau masih takut mati sekarang saya sudah bisa berenang dan kekuatan syaraf lumayan. Apa lagi tahu bahwa saya jalan bersama seseorang yang tak akan membiarkan saya sendirian jika terjadi apa-apa. Sekalipun umur dan nasib tetap di tangan Yang Di Atas dukungan emosional seperti itu lumayan menjalan akal sehat saya. Jika terjadi apa-apa, setidaknya ada seseorang yang akan fight lebih dulu sebelum saya tenggelam.
Berjalan bersama keluarga, terutama suami lah yang saya kira yang membuat trauma naik kapal ferry pertama dulu perlahan lenyap. Ditambah keberuntangan bahwa saya tidak mabuk laut. Jadinya sekarang bisa menikmati bagaimana birunya air laut dan terkadang hijau tosca.
Tiap kalai naik kapal ferry Merasa sayang jika tak merekam momen-momen cantik lewat kamera. Menghirup udara yang datang dari samudera luas sambil memuji Sang Pencipta.
Di saat seperti itu saya juga membayangkan bagaimana menuangkan segala keindahan itu nanti dalam tulisan. Jarang berhasil! Bahkan mengamati aktivitas para penumpang di dalam kapal juga mengasyikan. Insting eksplorasi kian disuburkan dengan berjalan-jalan ke tiap sudut kapal yang bisa di datangi.
Ikut mengamati petugas mengatur kendaraan masuk ke lambung kapal. Kadang langsung naik ke buritan untuk melihat anak buah kapal mengangkat sauh. Lalu menunggu detik-detik saat ujung kapal perlahan menjauh dari dermaga.
Saya masih belajar tentang hidup. Masih banyak yang belum saya ketahui. Bahkan yang sudah diketahuipun banyak yang hilang. Jadi saya tidak akan bosan melanjutkan hidup sampai ke ujung dengan mematri “kata belajar” di kening. Jika orang mengatakan bahwa hidup itu indah tidak mungkin saya tidak setuju. Sekalipun hidup itu juga seperti ombak, naik turun, kadang besar-kadang kecil, bersilancar di atasnya dengan segala keterbatasan itu lah yang saya sebut sebagai keindahan.
Hidup saya indah. Alhamdulillah. Bagaimana dengan pengalaman naik kapal ferry pertama kamu, temans?