Eviindrawanto.com – Kompleks Makam Raja Gowa terletak di Katangka Kecamatan Somba Opu, kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Selain raja-raja Tallo, beberapa orang bangsawan dan petinggi kerajaan juga di makam kan di sini. Tapi yang membawa saya kesini adalah Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke-16, yang dapat julukan Ayam Jantan Dari Timur. Dengan status sebagai pahlawan nasional tentu saja ia lebih terkenal dari yang lain. Namanya diabadikan di jalan jalan utama dan Bandar Udara Makassar. Itulah mengapa awalnya saya mengenal tempat ini sebagai Makam Sultan Hasanuddin alih-alih Kompleks Makam Keluarga Kerajaan dan Raja-Raja Gowa Makassar.
Eh menulis tentang kuburan lagi? Yap!! Maaf lagi kesambet 🙂
Ceritanya saya beruntung selama berada di Makassar ditemani penduduk asli. Mereka bisa membawa kami ke pelosok-pelosok kota bahkan nongkrong cantik menikmati makanan tepi jalan. Dan kunjungan ke kompleks makam Raja Gowa ini sebetulnya tidak sengaja. Kami baru pulang dari Kompleks akam Pangeran Diponegoro dan sedang melintas Jalan Syech Yusuf untuk menuju ke rumah tinggal mereka . Dari balik kaca mobil saya melihat papan nama Kompleks Makam Keluarga Keturunan Raja Gowa. Di sebelahnya terlihat pula Masjid Al Hilal Katangka, masjid paling tua se Sulawesi. Tidak salah dong saya meminta berhenti?
Masjid Al Hilal Katangka dan Makam Keturunan Raja Gowa Tallo
Saya tidak memasuki masjid Masjid Hilal Katangka karena sedang ada acara di dalam. Mengambil jalan dari samping langsung menuju area Pemakaman Keturunan Kerajaan Gowa Tallo. Dari tengah makam sebagian badan bangunan masjid yang dulunya milik Kerajaan Gowa. Khusus diperuntukkan bagi raja dan keluarga beserta kerabatnya. Terlihat jelas. Muncul dari pagar tembok.
Dari tempat berdiri saya meyakini bahwa masjid tertua di Sulawesi Selatan ini seperuh badannya dilingkari pemakaman. Sekalipun telah beberapa kali mengalami renovasi, bangunan yang didirikan pada tahun 1603 pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14, Sultan Alauddin, masih memperlihatkan keanggunan masa lalunya.
Ohya Sultan Alauddin adalah Raja Gowa pertama yang memeluk agama Islam.
Karena masih ada beberapa keperluan saya tidak bisa berlama-lama di tempat itu. Setelah mengambil beberapa foto makam milik keluarga, kerabat, punggawa dan alim ulama saya pun segera hengkang.
Sebetulnya dari Kompleks Makam Keturunan Kerajaan Gowa ini ada jalan pintas menuju ke kompleks makam Raja-Raja Gowa yang salah satunya adalah Makam Sultan Hasannudin. Tapi saat itu tak terlihat. Lagi pula saya juga ogah mendaki karena lokasinya berada di atas Bukit Tamalate, tempat yang juga diperkirakan bekas berdirinya Kerajaan Tamalate.
Jadi kami keluar lagi, mengikuti jalan Syech Yusuf, lalu berbelok ke kanan. Tidak jauh kok, tidak sampai lima menit sudah sampai. Artinya dari Masjid Al Hilal Katangka, Makam Sultan Hasanuddin bisa ditempih berjalan kaki.
Makam Sultan Hasanuddin di Kompleks Makam Raja Gowa
Hal pertama menyambut kita di kompleks makam raja-raja Gowa adalah papan nama bertuliskan Makam Pahlawan Nasional Sultan Hasanuddin. Kompleks ini memang dikenal sebagai tempat pemakaman Sang Ayam Jago Dari Timur ketimbang kompleks makam keluarga Kerajaan.
Memasuki area parkir yang luas tidak terlihat pengunjung kecuali dua remaja putri sedang asyik ngobrol di dekat Batu Pallantikang, batu yang digunakan melantik para raja Gowa.
Balai pertemuan beratap seng di utara juga sepi. Hanya di halaman tampak beberapa orang lelaki sedang membuat batako. Lima anak lelaki asyik bermain bola. Melihat kehadiran kami anak-anak itu berhenti bermain lalu menghampiri kami dengan mengulurkan tangan meminta-minta. Karena tidak siap kami semua terpaku. Terkejut. ” Lah kok seperti tempat ziarah di Jawa?”
Baca juga : Makan Seafood di Pelabuhan Paotere Makassar
Untung tidak lama karena bapak-bapak yang sedang membuat batako tadi berteriak dan memarahi mereka. Ia pun meminta kami agar mengabaikan anak-anak tersebut. Teman saya juga ikut menegur menggunakan Bahasa Bugis yang tak saya mengerti artinya.
Pintu untuk memasuki Kompleks pemakaman terletak di sebelah kiri. Tak terlihat seorang petugas pun kecuali sebuah meriam tembaga dari abad ke-16. Benda ini ditemukan bersamaan dengan penemuan makam Sultan Hasanuddin. Bapak tadi lagi yang menyuruh kami agar masuk saja.
Jalan Setapak membawa kaki ke balairung yang berada tepat di tengah kompleks pemakaman. Di ujungnya mata langsung bersiribok dengan 9 barisan cungkup menyerupai candi dari makam raja-raja Gowa. Terdapat pula sebuah tiang bendara di muka balairung ini.
Baca juga : Makam Sultan Suriansyah, Peninggalan Kesultanan Banjar
Rupanya Bapak pembuat batako tadi sedang memugar sebuah makam. Namun tidak jelas Makam siapa karena tidak ada keterangan. Dan Bapak tersebut juga tidak tahu makam siapa. Ia hanya mengatakan pemiliknya termasuk Keluarga Kerajaan. Bisa jadi karena posisinya tepat di sebelah kiri makam Sultan Hasanuddin.
Penjelasan Tentang Hatu Pallantikang atau Batu Pelantikan Para Raja
Di paragraf atas tadi saya sempat menyinggung tentang Hatu Pallantikang atau batu pelantikan para raja. Itu batu apa?
Hatu pallantikang atau batu pelantikan adalah sebuah batu andesit yang diapit batu kapur. Batu peninggalan Kerajaan Gowa Tallo ini dipercaya memiliki tuah karena dianggap sebagai batu dari khayangan.
Batu andesit merupakan pusat pemujaan yang tetap disakralkan masyarakat sampai sekarang. Pemujaan penduduk terhadap ditandai dengan banyaknya sajian di atas batu ini. Mereka meyakini bahwa batu tersebut adalah batu dewa dari kayangan yang bertuah.
Karena anggapan tersebut, sesuai namanya batu ini digunakan sebagai tempat pengambilan sumpah atas setiap raja atau penguasa baru di kerajaan Gowa Tallo.
Batu ini masih insitu atau berada di tempat aslinya, yakni di tenggara kompleks pemakaman Tamalate.
Baca juga : Komplek Pemakaman Kesultanan Bima Dana Traha
Ujung Perjalanan Ayam Jago Dari Timur
Saya langsung menuju ke Makam Sultan Hasanudin yang nisanya ditempeli patung ayam jago (jantan). Seperti makam-makam lain makam Sultan Hasanudin juga diberi cungkup mirip candi, bertingkat, 2 nisan bertengger di atasnya. Di pintu masuk tertulis nama Sultan Hasanuddin bergelar Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Mohammad Bakir Tumenanga Riballa Pangkana..
Hufff…Suami saya tertawa karena saya membacanya sambil menahan napas.
Dibawah cungkup, jirat persegi empat seperti kotak diberi nisan lagi di bagian kepala dan kaki bermotif gunungan dan terbuat dari kayu. Terlihat sisa-sisa taburan bunga di atasnya. Mungkin milik peziarah.
Sementara di sebelah kanan adalah sang Ayahanda Raja Gowa Gowa ke 15 yaitu Muhammad Said. Gelar beliau  Manuntungi Daeng Matolla Karaeng Ujung Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid. Berturut Raja Gowa ke-14, ke-6, ke-19 dan ke-17. Sementara Raja Gowa ke-18 terletak di sebelah kiri makam yang dipugar tadi. Ke bagian selatannya ada makam Raja Gowa ke-11.
Saya mengalih pandang ke Balairung, ke dinding berkaca yang menempelkan rekam sejarah tempat ini. Tepat di tengah balairung duduk patung setengah badan Sultan Hasanuddin dengan pakaian kebesarannya.
Baca juga : Masjid Menara Kudus dan Makam Sunan Kudus
Sejarah Singkat Sultan Hasanuddin di Kompleks Makam Raja Gowa Tallo
Dalam kompleks Makam Raja Gowa, pada lembar kertas yang ditempel di dalam dinding kaca tersedia sejarah singkat mengenai Sultan Hasanuddin :
Sebelum diangkat menjadi raja, karena kecakapannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan kemahirannya dalam pemerintahan maka Sultan Hasanuddin diserahi tugas memangku beberapa jabatan penting dalam pemerintahan Kerajaan Gowa.
Sultan Hasanudin diangkat menjadi Raja Gowa setelah ayahnya Malikul Said wafat pada tanggal 5 November 1653 sebagai Raja Gowa ke-15. Semasa pemerintahan Sultan Hasanuddin terjadi beberapa konflik bersenjata melawan kompeni Belanda.
Tahun 1666- 1667 benteng Galesong dan Barombong dapat direbut Belanda dan melahirkan Perjanjian Bungaya. Perjanjian Bungaya ini ternyata tidak memuaskan bangsawan Kerajaan Gowa.
Raja Tallo Mapaiyo Daeng Mannyauru Sultan Harun Al-Rasyid dan Karaeng Lengkese memaksa Sultan Hasanudin untuk meneruskan peperangan. Maka pada tanggal 12 April 1669 perang kembali terjadi antara kompeni Belanda dengan Kerajaan Gowa.
Peperangan kali ini berlangsung dengan sengit. Pada malam 12 Juli 1669 benteng Somba Opu selaku benteng induk Kerajaan Gowa yang telah berdiri kira-kira satu abad berhasil ditaklukan. Tidak kurang 272 pucuk meriam “Sakti Anak Makassa” berhasil disita oleh Belanda.
Akibat kekalahan ini maka Sultan Hasanudin mengundurkan diri dari tahta kerajaan pada tanggal 29 Juli 1669 dan diganti oleh putranya Raja Gowa ke 17 yaitu Mappasomba Daeng Manguranga Sultan Amir Hamzah. Sultan Hasanudin wafat pada tanggal 12 Juni 1670 Dalam usia 41 tahun dan mendapat gelar Tumengga Ri Balla Pangkana.
Terus aku merasa sedih ternyata Sultan Hasanudin wafat di usia yang relatif muda. Mungkin beliau kecewa atau frustrasi karena kemunduran kerajaan yang telah bersusah payah didirikan oleh leluhurnya. Al Fatihah untuk Sultan…
Baca juga : Makam Prabu Hariang Kancana atau Mbah Panjalu
Menghargai Jasa Para Pahlawan
Pada dinding kompleks juga terdapat sebuah peta Kerajaan Gowa. Begitu pula daerah-daerah yang mengakui kekuasaannya sampai tahun 1660. Menarik. Rupanya kerakaan Gowa tak punya hubungan diplomatik dengan Jawa. Setidaknya tidak terlihat pengakuan kekuasaan dari pulau cantik ini di peta yang tertera. Sementara negeri jauh seperti Australia mengakui eksistensi Kerajaan Gowa.
Di dinding dapat pula kita temui silsilah dan urutan nama-nama Raja Gowa. Dilengkapi tanggal kelahiran, tahun penobatan sebagai raja, masa pemerintahan dan tahun kematian mereka.
Peribahasa bilang:” Bangsa yang baik adalah bangsa yang tahu menghargai para pahlawannya” Dan Indonesiamelalui dinas kepurbakaan Sulawesi Selatan atau Dinas Pariwisata sudah jadi bangsa yang besar karena merawat makam penuh nilai sejarah ini sebagaimana mestinya.
Yuuuk liburan ke Makassar