Embun adalah tetesan air yang kita temukan di pagi hari pada dedaunan dan hal-hal lain di luar ruang. Embun terbentuk saat suhu turun dan benda menjadi dingin. Jika objek menjadi cukup dingin, udara di sekitar objek juga akan menjadi dingin. Udara yang lebih dingin kurang mampu menahan uap air dibandingkan dengan udara yang hangat. Ini memaksa uap air di udara di sekitar benda yang dingin untuk mengembun.
Di negara 4 musim biasanya terjadi saat musim semi atau musim dingin ketika udara berubah dingin.
Namun di Indonesia, seperti kampung ibu saya di pedalaman Sumatera Barat, empun pagi ini bisa terjadi setiap hari. Kalau sudah menyelimuti kampung beserta seluruh isinya, bentuknya mirip gerimis karena memang terbentuk dari kondensasi uap air, suasana perkampungan berubah jadi puitis, memancing sensasi bahagia yang aneh.
Baca juga : Menyambut Pagi di Kampung Halaman
Bangun Tidur di Kampung yang Berselimut Empun Pagi
Pagi di rumah ibu selalu diawali subuh dengan udara dingin yang menusuk. Suara adzan bergema baik dari desa sendiri maupun desa tetangga. Sahut-sahutan mengetuk mata yang masih mengantuk.
Saya membuka mata, menarik selimut, tetap berbaring, sambil mendengarkan keheningan setelah suara adzan usai.
Saya menunggu sejenak karena tahu bahwa selai shalat subuh biasanya akan mendengarkan awal aktivitas manusia dari jalanan. Iya rumah ibu saya terletak di tepi jalan. Begitu dekatnya yang terkadang batu yang tergelincir dari roda mobilpun terdengar bunyinya dari tempat tidur saya saat itu.
Benar saja, tak lama suara motor berdengung dari kejauhan. Lalu derik sepeda kayuh yang jari-jarinya mulai berkarat. Roga gerobak yang mengangkut hasil pertanian beradu dengan kerikil yang terbongkar dari aspal jalan.
Tanpa bangkit dari tempat tidur pun saya bisa melihat seseorang terseok-seok mendorong gerobak itu. Rodanya yang mengelinding perlahan seolah enggan menembus dingin.
Ketika cicit burung meluncur dari pohon pinang yang tumbuh di tepi jalan, saya bangkit. Mencari sendal jepit dari sisi tempat tidur dan beringusut ke ruang belakang untuk mengambil air wudhu.
Kamu pernah merasakan gimana air es yang baru mencair? Nah air dalam tampungan untuk keperluan berwudu di rumah ibu saya dinginnya kurang lebih seperti itu. Saat dibalurkan ke muka, rasanya seluruh permukaan kulit ikut membeku.
Baca juga:
Menikmati Embun Pagi
Usai menunaikan kewajiban ibadah saya bergerak ke pintu. Derit karat engsel membawa pandang ke pagi yang masih pekat. Embun mengambang dimana-mana. Dari lereng bukit turun ke sawah-sawah dan jalanan. Jarak pandang hanya beberapa meter ke muka.
Saya baru tahu ternyata embun pagi mempunyai aroma. Mirip dengan petricor tapi tak persis sama. Bila Petrichor (/ pɛtrɪˌkɔːr /) adalah aroma tanah yang dihasilkan saat hujan turun di tanah kering.
Aroma embun pagi sepertinya membawa aroma air segar, tanah, lemon, pencampuran aneka bunga. Saya jadi mengerti mengapa banyak sekali puisi dan lagu yang terinspirasi dari embun pagi. Karena aroma seperti itu dengan mudah meningkatkan produksi serotonin, meningkatkan suasana hati dan membuatnya kita lebih mudah untuk bangun dan bergerak.
Saya akan duduk di bawah pagar tanaman yang memisahkan jalan dan halaman. Di halaman sebelah kanan, di sepetak tanah ibu membuat kebun bunga dan herbal.
Di sana ibu menuangkan seluruh kreativitasnya dalam menanam beberapa bunga dalam pot. Dari mawar yang berwarna merah dan pink. Mahkota duri (Euphorbia) berwarna oranye, merah muda (pink) dan putih. Pun mekar dengan indah marigold yang dikenal juga sebagau bunga tahi ayam.
Nah kesenangan saya adalah memandangi titik-titik air yang melekat pada setiap kelopak bunga.
Kenangan Embun Pagi yang Terasa Dekat
Selesai dari kebun bunga dan herbal mini Ibu, saya akan beranjak ke halaman sebelah kiri. Dari sini pemanadangan terbuka ke jalan yang dipagari pohon pinang.
Bougenville milik tante saya yang selalu mekar, tertunduk digayuti titik air embun pagi. Lansekap di jalan mulai terang namun kabut masih tebal. Nah di sini lah bisanya tempat favorit saya menunggu kehangatan sinar matahari pertama muncul sambil mengamati aktivitas warga kampung berjalan menuju ke tempat taktivitas masing-masing.
Namun pagi ini terlalu dingin. Selesai memotret dengan ponsel saya cepat-cepat masuk ke rumah . Puncak hidung terasa dingin saat diraba. Sepertinya saya juga membawa aroma bunga dan pepohonan yang dibungkus embun pagi ke dalam rumah. Karena bapak bertanya, ” kok tumben pagi-pagi sudah wangi?”
Ah pagi berhalimun yang sudah berlalu bertahun-tahun. Namun bersama kenangan terasa dekat.
Salam embun pagi:)
— Evi