Dalam masyarakat agraris panen adalah puncak kegembiraan kumunitas. Setelah berbulan-bulan menggarap tanah, menebar bibit, dan merawat tanaman tiba saatnya memetik hasil. Apalagi bila panen berlimpah maka akan disusul oleh berbagai pesta dan upacara. “Setelah mengeluarkan jatah untuk bibit musim tanam berikutnya, membayar hutang hutang (kalau ada), pertani merayakan hasil kerja keras mereka dengan membeli barang-barang kebutuhan yang sudah lama diidamkan”. Barang kebutuhan yang mengikuti jaman. Seperti membeli motor, mobil atau barang-barang elektronik. Yang lain membuat pesta syukuran, mengawinkan atau menyunatkan anak. Ragam perayaan tersebut diselenggarakan mengikuti adat istiadat lokal  atau berdasarkan kesepakatan bersama. Nah di Lampung tanggal 2 Maret kemarin pesta syukur tersebut diwujudkan dalam Festival Panen Padi Lampung Timur. Panen padi saja dibuat festival? Iya Festival Petani lebih tepatnya! Memerkan hasil pertanian Lampung dan aneka produk turunannnya.
Saya Lekat dengan Dunia Pertanian
Sudah berkali-kali singgah di provinsi ini. Namun untuk Kabupaten Lampung Timur ini yang pertama. Bersama teman-teman blogger Indonesia Corners menghadiri Festival Panen Padi Lampung Timur. Pertemanan membuat aura hangat seperti hamburan mentari pagi. Menariknya lagi kami akan bersua Ibu Bupati, salah satu bupati perempuan Indonesia,Hj. Chusnunia Chalim. Semakin jaya lah Indonesia. Pintunya semakin terbuka lebar bagi perempuan untuk berbakti pada negara.
Saya lahir dan hingga kelas 4 SD tinggal di kampung. Tempat tinggal kami dikelilingi sawah. Menyemai benih, menanam, menyiangi sawah kemudian memanen bukan lah peritiwa asing.  Hanya saja belum pernah mengikuti acara yang bersifat keriaan panen bersama seperti ini. Panen di kampung saya dilakukan oleh keluarga atau  kelompok-kelompok kecil.
Rasa suka terwujud melalui antusiasme.  Atmosfir pun terbangun. Sepanjang jalan Lintas Sumatera terhampar sawah dan ladang hijau. Rumah penduduk dan warung  tepi jalan yang menjual buah dan sayuran. Perjalanannya semacam intro bahwa daerah yang akan kami masuki sebagian besar penduduknya adalah petani.
Lampung Bercitarasa Jawa
Sayang pengaturan kedatangan kami kurang sesuai. Beberapa acara pokok terlewatkan. Alangkah menariknya jika dapat kembali mengikuti bebera tradisi agraris sebab Lampung Timur pasti punya sentuhan tersendiri. Mengikuti  yang terbaca pada itinerary bahwa Festival Panen Padi ini dikolaborasikan juga  dengan Pagelaran Seni Budaya, Lomba Memukul Lesung atau Alat Tumbuk Padi Tradisional, serta Pawai Kendaraan Pertanian.  Nah yang terlewat adalah pagelaran seni budaya dan lomba memukul lesung.
Sampai di Lapangan Kecamatan Raman Utara, kontak fisik pertama saya dengan Lampung Timur adalah sepiring ketupat bihun plus pecal. Maklum berangkat dari soekarno-hatta masih subuh dan kami kejar-kejaran dengan waktu sehingga walau perut sudah keroncongan sarapan terpaksa ditunda. Sepiring ketupat bihun yang terasa manis itu menghubungkan lidah saya dengan citarasa Jawa. Seperti bisa di baca di Jejak Pertama Orang Jawa di Museum Ketransmigrasian, kawasan ini termasuk salah satu tempat tujuan transmigrasi masyarakat Jawa. Nama-nama tempatnya pun berbau kota-kota di Jawa Tengah.
Festival Panen Padi Lampung Timur di Lapangan Raman Utara
Lapangan Kecamatan Raman Utara sudah disulap sebagai area pameran produk UKM. Satu panggung disediakan untuk memberikan berbagai sambutan. Sekalipun kami tak menjumpai beberapa acara pokok, pidato pembukaan sebagai tanda diresmikannya Festival Panen Padi 2017 oleh Gubernur M. Ridho Ficardo masih terkejar.  Melalui sambutan Gubernur ini saya menangkap benang merah mengapa Ibu Chusnunia merasa perlu mendatangkan travel blogger di acara ini. Sebab kegiatan Festival Panen Padi  2017 yang pertama kali diadakan ini akan dimasukan jadi salah satu  media promosi daerah. Akan menampilkan berbagai event  unik seputar pertanian Lampung, bernilai jual dengan ciri khas Kabupaten Lampung Timur. Acara ini akan diadakan setiap tahun dan akan dijadikan sebagai  wisata alternatif  bagi turis nusantara maupun manca negara.
Seperti kita tahu Provinsi Lampung punya kekayaan destinasi wisata yang meliputi wisata laut, pantai, hutan sampai wisata kuliner.  Taman Nasional Way Kambas yang terletak di kabupaten ini telah ditetapkan sebagai kawasan ASEAN Heritage Park yang ke-36 atau yang ke-4 di Indonesia. Sementara itu Lampung Timur  juga merupakan penghasil padi nomor dua terbesar di tingkat propvinsi. Fakta ini lah yang menjadi gagasan Bu Bupati  Hj. Chusnunia Chalim dalam meminta support dari  Pemerintah Provinsi Lampung  berupa pembangunan infrastruktur jalan. Selain tentu saja alat-alat pertanian yang akan berperan dalam meningkatkan hasil panen. “Pertanian dan pariwisata akan saling mendukung sebagai penggerak utama dalam peningkatan perekonomian Lampung Timur” Begitu kira-kira cetak birunya.
Video Festival Panen Padi Lampung Timur
Pawai Kendaraan Pertanian dan Singkong Murah
Festival Panen Padi Lampung Timur tambah meriah oleh arak-arakan kelompok tani se Lampung. Plus traktor yang dihias berbagai buah dan sayuran. Dari sini saya belajar mengenai  kearifan lokal yang digunakan dalam pertanian. Seperti sebuah patung burung hantu dalam arakan yang ternyata adalah pembasmi hama tikus. Beragam hasil pertanian setempat juga terlihat. Ada cacao, jagung, ubi kayu, dan berbagai jenis sayuran. Festival petani ini sungguh penuh warna.
Seperti Pawai Ogoh-Ogoh di Bali, diisi protes reklamasi, pawai Festival Panen Padi Lampung Timur pun digunakan  petani untuk bersuara. Seorang Bapak memanggil agar saya menghampiri dan memotret gerobak  hiasnya. Sebelum memotret saya berdiri sejenak di depan gerobak untuk memahami apa yang ingin beliau sampaikan. Wah ternyata gerobak  tak hanya berisi jagung, cacao, pisang dan singkong, di sana-sini juga ditempel spanduk-spanduk perjuangan. Diantaranya berbunyi Mari Sukseskan Swa Sembada Jagung “Stop Import!”, “Singkongku murah” dan  “Aku bangga jadi petani”.
Satu lagi yang menjadi keluhan beliau mengenai harga singkong. Pabrik tapioka memberi harta terlalu murah yakni  Rp. 700/Kg. ” Belum lagi potongan di sana-sini” Tambah seorang bapak lagi. Hasil bersih yang mereka bawa pulang paling tinggal Rp. 200/kg.
Saya sesungguhnya tidak mengerti bagaimana bisnis singkong bergulir. Namun  sebagai cucu seorang petani pernah tahu berapa lama sejak di tanam sampai menghasilkan umbi. Singkong yang untuk direbus atau dibuat keripik minimal butuh 6 bulan. Sementara singkong untuk diambil patinya lebih lama lagi yakni 9-12 bulan. Untuk waktu tunggu selama itu saya pikir harga Rp. 700/kg memang terlalu murah.
Terus saya bertanya kira-kira di mana masalahnya? Apakah over produksi?  Mutu singkong mereka kurang bagus? Atau adanya import tapioka? Sang Bapak peserta festival petani ini mengiyakan dua pertanyaan saya.
Terakhir
Kehidupan petani Indonesia memang butuh banyak solusi. Masalah yang dihadapi tak hanya produksi tapi juga pemasaran. Semoga Ibu Nunik menemukan solusi untuk berbagai masalah yang dihadapi kaum tani. Karena pertanian Lampung yang maju akan membuat petani sejahtera. Petani sejahtera otomatis membuat negara kaya.