Tabalong Ethnic Carnival – Tabalong Etnic Festival – Parade Budaya Tabalong – Industri pariwisata dikembangkan lewat potensi yang terdapat di suatu daerah. Entah alam, budaya, mau pun berbagai hal unik di daerah tersebut. Mengembangkan ekonomi lewat pariwisata lebih mudah. Maksudnya tidak memerlukan pembangunan infrastruktur berbiaya besar dan lama.
Beda dengan menambang batu bara. Walau bahannya sudah tersedia dari alam tapi butuh model besar dan lama produksinya. Harus siap dengan teknologi, sumber daya manusia, memproses, mengemas dan menghantar ke konsumen.
Menurut saya, mengembangkan industri pariwisata lebih mudah. Lihat Tabalong Ethnic Festival, potensinya banyak sekali. Tak perlu teknologi terlalu canggih dan modalnya pun tak sebesar membuat tambang batu bara. Karena yang dijual adalah cara hidup masyarakat sendiri. Cara hidup yang unik dalam kancah kebinekaan Indonesia seperti yang terlihat dalam Parade Budaya Tabalong.
Mengenal Aset Budaya Diperlihatkan Dalam Tabalong Ethnic Festival
Menurut sensus BPS tahun 2010 Indonesia mempunyai 1.340 suku bangsa. Punya bahasa sendiri lengkap dengan aturan-aturan sosial yang mengikat. Bisa kan dibayangkan berapa banyak jenis adat istiadat yang dilakoni bangsa Indonesia?
Saya kira itu lah mengapa setiap festival budaya yang diselengarakan daerah, baik di tingkat kecamatan, kabupaten atau propinsi jadi menarik. Sekalipun konsepnya sama, konten pasti berbeda.
Salah satu contoh terlihat pada even puncak Tabalong Ethnic Festival yakni Tabalong Ethnic Carnival yang saya saksikan tanggal 9 April kemarin. Tak selesai-selesai terkesimanya. Betapa kekayaan budaya lokal tidak akan pernah mengeringkan ide anak bangsa dalam berkreasi.
Tambahan kreativitas pada tradisi lama memanjakan rasa. Penampilan budaya jadi berkelas. Setidaknya itu lah yang terpikir oleh saya saat menonton penampilan ethnic carnival di Kabupaten Tabalong – Kalimantan Selatan. Penampilan ragam busana kreasi berbasis etnik dayak dan banjar merupakan puncak gunung es dari budaya yang hidup di Kalimantan Selatan, khususnya dan Indonesia umumnya.
Baca juga : Perkawinan Adat Dayak Maanyan Bagunung Perak
Adaro Site Visit
Ngomong-ngomong sebelum meneruskan, apa hubungan Tabalong Ethnic Carnival ini dengan hastag #AdaroSiteVisit yang saya gunakan? Iya ini ada kaitannya dengan PT Adaro Indonesia yang dikenal luas di masyarakat sebagai penambangan batu bara itu.
Kita tahu bahwa kehadiran perusahaan seperti PT. Adaro Indonesia yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya alam harus membawa dampak positif kepada masyarakat sekitar. Banyak lah kajian pemanfaatan batu bara bagi industri selain membuka lapangan kerja. Tapi tak menutup mata juga bahwa dampak negatif juga timbul. Seperti munculnya masalah sosial dan kerusakan lingkungan akibat operasi perusahaan.
Baca juga : Mengenal Sulawesi di Festival Kuliner Serpong 2014
Nah guna menengahi persoalan tersebut pemerintah mewajib setiap perusahaan seperti PT Adaro Indonesia untuk memaksimalkan dampak positifnya. Itu lah mengapa lahir aktivitas pemberdayaan masyarakat melalui program CSR. Ada undang-undang yang mengaturnya yakni UU Republik Indonesia No. 40 Tahun 2007 Pasal 74.
- Baca di sini tentang: Bermain Egrang Bambu
PT. Adaro Indonesia yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya alam, kegiatan CSR-nya mencakup empat bidang utama pengembangan masyarakat yakni: Pengembangan Ekonomi, Peningkatan Mutu Pendidikan, Perbaikan Tingkat Kesehatan, dan Pengembangan Sosial Budaya.
Tabalong Ethnic Festival masuk ke dalam CSR yang terakhir, pengembangan budaya. Sudah diadakan sejak tahun 2011 yang diinisiasi oleh Adaro bersama Perkumpulan Putra Putri Sarabakawa (Pusaka) sampai sekarang. Gunanya tak lain meningkatkan ekonomi rakyat melalui pariwisata dan budaya.
Banjar dan Dayak Dalam Tabalong Ethnic Carnival
Sebetulnya kegiatan festival ini berlangsung 1-9 April 2017. Sebelum acara puncak yang saya ikuti, panitia dan masyarakat telah melangsungkan berbagai kegiatan. Fashion show, berbagai workshop dari kuliner sampai fotografi, festival musik dan tari, dan masih banyak lagi. Dan benang merahnya tentu penampilan adat istiadat yang hidup di Kalimantan Selatan umumnya dan di Tabalong khususnya: Suku Banjar dan Dayak.
Baca juga : Festival Budaya Irau Malinau
Penampilan Suku Banjar yang Atraktif
Sebetulnya menyebut parade ini sebagai display adat istiadat Banjar-Dayak kurang tepat. Sebab yang sesungguhnya hanyalah ethnic carnival yang menampilkan busana kreasi berbasik etnik dayak dan banjar. Namun jika kita menyelam ke bawah permukaan, ke belakang simbol-simbol yang ditampilkan, Dayak dan Banjir tersaji sebagaimana adanya. Dua suku bersaudara yang anggota-anggotanya sejak sejarah mereka dimulai telah melakukan perkawinan silang.
Baca juga : Pesona Kampung Jaro Tabalong
Parade budaya sendiri dimulai sekitar pukul 2 siang, saat mentari sedang senang-senangnya menyorot Bumi Banua. Berbekal topi lebar dan sarung tangan saya melebur bersama masyarakat, fotografer, blogger, dan panitia. Kami berkerumum di bawah monumen Tanjung Puri atau Tugu Obor, yang memiliki api abadi juga sebagai lansekap kebanggan kabupaten Tabalong. Di sini para peserta pawai budaya unjuk atraksi di hadapan dewan juri.
Langit biru dengan gurat awan di atas tugu membuat perasaan saya jadi buncah bahagia.
Satu persatu peserta muncul dari ujung jalan. Atribut dari Suku Banjar dan Dayak lewat silih berganti.
Yang saya pahami dari atribut Suku Banjar yang muncul adalah penampilan mereka. Penuh warna-warna mencolok seperti kuning, hijau dan merah.
Menilik ke belakang memang mudah dipahami bahwa Suku Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan ini datang selain dari Sumatera juga Jawa. Nenek moyang mereka datang ke Banua untuk berdagang. Jika pun terdapat sedikit perbedaan dalam adat, bahasa dan kepercayaan dari melayu di tempat lain tak lain karena pengaruh berabad-abad dari orang Dayak. Percampuran cara hidup dengan orang Dayak melahirkan Banjar Hulu dan Banjar Kuala.
Maka sambil memotret saya juga melamun. Kajian lebih dalam terhadap suku ini pasti akan sangat menarik karena Melayu yang mendiami Propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah juga punya kemiripan dengan melayu Malaysia yang mendiami Perak, Selangor dan Johor.
Baca juga : Senja di Banda Neira Maluku
Penampilan Suku Dayak yang Eksotis Dalam Tabalong Ethnic Carnival
Semasa remaja saya membaca buku etnografi berjudul Di Pedalaman Borneo – Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894 oleh Dr. Anton W. Nieuwehuis, dokter Belanda. Buku yang sampai sekarang masih tersimpan rapi di rak, berhasil menghidupkan imajinasi saya tentang Suku Dayak dan cara hidup mereka.
Bagaimana Balian (dukun) mengobati penyakit, bagaimana mereka meramu obat, membuka ladang, berburu, menangkap ikan, pembagian ruang dan menyambut kelahiran baru di Rumah Betang.
Dokter Anton juga membawa saya mengenal Suku Kayan yang ternyata banyak cabangnya. Mengenal orang Bahau, masuk ke rumah-rumah kepala suku, mengikuti upacara leluhur, atau mengenal seni cacah. Tak ketinggalan tentu foto-foto hitam putih nan eksotis, memperlihatkan lelaki dayak yang hanya bercawat dan wanitanya bertelanjang dada dengan hiasan penuh manik.
Pokoknya Dokter Anton berhasil membuat saya merasa mengenal orang Dayak lalu punya alasan menyimpan bukunya dalam waktu cukup lama.
Baca juga : Kebun Begonia Lembang, Wisata Selfie Bandung
Orang Dayak dan Bulu Burung Enggang
Yang saya lihat di Tabalong Ethnic Carnival tentu sudah jauh dari gambaran orang Dayak yang ditulis Dokter Anton. Sudah 123 tahun berlalu. Jangankan manusia lingkungan saja pasti sudah tidak sama. Para wanita tidak ada lagi bertelanjang dada. Busana kaum pria walau masih bercawat tentu tak lebih untuk memenuhi unsur seremonial.
Tapi tetap saja imaji dayak yang eksotis masih tertinggal di benak saya. Agar kembali ke masa kini yang diperlukan kemudian hanya setelan ulang pemahaman, membedakan pengalaman dalam buku dan yang terhampar di depan mata. Apa lagi Tabalong Ethnic Festival ini untuk keperluan promosi wisata, bukan penelitian ilmiah.
Baca juga : Wisata ke Tarusan Kamang di Sumatera Barat
Yang paling memikat bagi saya dalam parade Budaya Tabalong ini, hadirnya sosok burung gagah perkasa: Enggang. Entah dalam sosok patung maupun pemakaian bulu sebagai hiasan. Saya amati hampir setiap peserta yang mewakili tradisi dayak, melampirkan bulu, walau sehelai, sebagai pelengkap riasan mereka.
Burung berparuh yang disebut Rangkong dalam Indonesia dan Hornbill dalam bahasa Inggris memang satwa keramat dalam hidup orang Dayak. Sangat dihormati dan dianggap sebagai panglima burung. Tak heran kan jika hampir seluruh bagian tubuh burung enggang yang dijadikan lambang dan simbol kebesaran serta kemuliaan ini tercermin dalam pesta meriah seperti ini?
Baca juga : Prosedur Imigrasi dan Visa on Arrival Nepal 2021
Bulu Enggang, Dari Panglima Burung Yang Dihormati
Jadi Parade Budaya Tabalong ini meriah oleh hiasan bulu burung. Terus jika muncul pertanyaan dari teman-teman, apakah bulu-bulu yang dipakai dalam Tabalong Ethnic Carnival ini asli?
Iya ada yang asli ada yang buatan.
Namun untuk yang asli tak usah kuatir. Mereka mengambilnya dari bulu-bulu yang sudah rontok atau burung yang sudah mati. Rangkong dianggap lambang perdamaian dan persatuan. Mereka bisa kita temukan di hampir setiap ruang masyarakat. Terlihat pada patung, ukiran, lukisan, pakaian, rumah, balai desa, monumen, pintu-pintu gerbang, juga di makam-makam. Dengan tingkat kesakralan seperti ini tak mungkin mereka membunuh hanya untuk diambil bulunya, kan?
Melihat dari paruhnya saja enggang terlihat kuat dan gagah perkasa. Itu mungkin yang menjadi dasar mengapa seorang pemimpin ideal juga disimbolkan sebagai enggang. Menurut yang saya baca pun karena burung enggang terbang dan hinggap di gunung-gunung dan pepohonan yang tinggi dengan suara besar dan bisa terdengar ke mana-mana.
Satu persatu kontingen berlalu parade Budaya Tabalong. Hari masih panas. Yang tadi tidak begitu terasa ternyata saya sangat kehausan. Saking asyik rupanya sampai lupa minum. Saya pun menepi dan membuka botol air minum sambil berharap semoga semangat yang tercancar dari Tabalong Ethnic Carnival ini sampai pula kepada para pemimpin yang akan selalu melindungi rakyatnya. Semoga suara enggang yang keras seperti juga suara meraka: Didengar oleh rakyat.
Sampai bertemu di Tabalong Ethnic Festival 2018