EviIndrawanto.com – Mudik lebaran salah satu ritual tahunan yang ditunggu setiap orang. Kota-kota besar akan sepi. Karena sebagian warga Jakarta  akan kembali ke kampung halaman masing-masing.  Seperti tahun-tahun lalu, kemacetan akan berpindah ke jalur Pantai Utara (Pantura), Jalur Selatan Pulau Jawa. Begitu pun jalur Sumatera akan padat merapa. Pokoknya di Hari Keluarga Besar Nasional ini terminal bus, stasiun kereta api, dan bandara akan sesak.
Sebaliknya kampung-kampung akan semarak. Rumah yang biasanya suram akan sumringah. Lampu-lampu di nyalakan. Langgar atau surau kampung biasanya sepi beriak sedikit. Karena ini lah tempat bertemu paling asik bagi sesama perantau. Â Tiba-tiba jantung kampung yang biasa-biasa saja nadinya berdenyut, dapat darah baru.
Setidaknya begitu lah pengalaman saya di kota-kota di Pulau Jawa dan Sumatera. Para penggiat ekonomi, setelah setahun berjibaku di rantau kembali ke kampung halaman. Merayakan hari fitri  bersama keluarga, kerabat dan teman-teman. Membawa hasil jerih payah selama setahun.
Membawa banyak tentengan, oleh-oleh untuk  keluarga tersayang. Banyak juga cerita duka dalam tradisi mudik lebaran. Tapi secara umum pulang kampung merayakan Idul Fitri adalah cerita tentang bahagia. Jarang yang kembali ke kampung hanya untuk menangisi nasib. Kalau pun ada setidaknya dipendam dulu sampai perayaan kegembiraan di ujung Ramadhan berakhir.
Sinisme Kala Menziarahi Kampung Halaman
Tapi tidak semua orang berpikir sama. Rambut boleh sama hitam, ilmu sihir mah beda-beda #eh. Ada yang bergembira merayakan ritual tahunan dengan menziarahi kampung halaman. Tapi tak sedikit pula yang sinis.
“Biasanya sih orang-orang  sinis ini “kebanyakan” tak punya kampung halaman“, kata teman saya.
Sang Kawang meneruskan, ” mungkin tak ada yang mengharapkan kehadiran si sini di kampung halamannya. Kalau pun ada, jelas lah itu jenis manusia dengan sedikit hati. Berduka lah karena ia melihat aktivitas mudik lebaran cuma dari kacamata ekonomi”. Mata kawan yang mudik tiap tahun itu tampak berapi-api.
Mulut teman saya itu emang “cipeh” (tajam dalam bahasa Minang). Mungkin ia merasa “ditempeleng” dengan komentar bahwa tak ada manfaat berhondoh-hondoh pulang kampung tiap tahun. Tidak produktif. Tak masuk akal  jika jerih payah setahun dihambur-hamburkan.  Begitu lebaran usai kembali bokek. Atau yang bela-belain ngutang demi pulang kampung  mungkin akan mual-mual.
Nah saya mengingatkan sang teman, untuk yang terakhir itu mungkin pendapat si sinis baik juga diperhatikan. Mudik boleh tapi tetap sesuaikan dengan kemampuan. Jangan terperangkap pada keinginan yang akan berakhir dengan derita.
Baca juga:
Mengapa Kita Harus Mudik Lebaran
Pulang kampung setiap tahun sudah jadi ritual sosial di Indonesia. Dengan berbagai cara orang-orang akan berusaha kembali berkumpul dengan keluarga di tempat asal. Hari Keluarga besar Nasional itu jadi semacam acuan, bahwa Ramadan kurang lengkap jika tak melakukannya.
Mengapa seperti itu? Mengapa tradisi mudik begitu penting? Jawabnya sih beragam. Tapi menurut saya ada dua seperti di bawah:
1. Mudik Lebaran Itu Tentang Ziarah Hati
Mudik lebaran tak melulu soal ekonomi apa lagi hura-hura. Ini adalah ziarah. Perjalanan keramat untuk melepas rindu pada tempat-tempat suci. Pemenuhan batin yang sukar dijabarkan melalui hukum ekonomi. Sekalipun pemudik mungkin tak disebut pejalan rohani, segala upaya dikerahkan demi sampai ke tempat tujuan persis seperti yang dilakukan oleh para pencari. Berdesakan dalam bus dan kereta ekonomi. Jauh-jauh hari sudah hunting tiket pesawat murah. Beruntung sekarang pelayanan PJKA sudah bagus. Beberapa tahun lalu ada yang terpaksa beli tiket dari calo. Kadang harga dua kali lipat lebih mahal. Belum lagi aneka pungutan liar yang terselib dalam tuslah.
Semua dihadapi demi sampai ke kampung halaman. Demi bisa berkumpul dengan orang-orang tercinta, derita-derita perjalanan tiada arti.Dan jangan lupakan juga berapa ratus orang setiap tahun yang meregang nyawa karena kecelakaan lalu lintas? Mudik dan pulang adalah panggilan para Ksatria Cahaya.
Jadi mereka tidak menghamburkan uang. Mereka tidak untuk berhura-huran. Mereka tidak mencari pederitaan. Â Mereka mencari tempat pulang. Tempat yang mereka sebut rumah. Tempat dimana semua kehangatan mengalir sewajar matahari terbit pagi hari. Tempat di mana hati disangkutkan. Tempat sesekali menengok ke belakang jika hidup terlalu keras di rantau.
Baca juga:
2. Rindu Tempat Asal Itu Setua Umur Umat Manusia
Lagi pula tradisi pulang kampung seperti mudik bukan ekslusif milik manusia moderen. Nenek moyang kita lah penemunya.  Kegelisahan, keinginan agar hidup lebih baik, mencari sumber alam yang tak ditemukan di sekitar tempat tinggal adalah pencetus ide mudik. Manusia gua  telah membuat kita pergi. Membuat kita menjauh dari semua hal yang diakrabi sejak lahir. Gen yang wariskan memaksa kita hidup di tempat-tempat jauh dan terkadang asing. Kita rela melakukan semua itu karena beranggap tempat-tempat baru jauh lebih menjanjikan baik secara ekonomi, sosial maupun spiritual.
Konsekwensi dari semua itu adalah batin merasa tercerabut dari akar. Dan kita tak pernah merasa berakar di tempat baru. Contoh klasik terlihat pada orang Minangkabau yang punya kultur merantau. Mereka punya peribahasa: Dimana bumi di pijak di sana langit di junjung. Ini adalah kiasa agar menyatu dengan tempat tinggal baru atau rantau. Namun pada kenyataan “konsep Kampung” di hari orang Minang adalah wilayah asal-usul. Tempat semua kerabat bertempat tinggal. Maka pulang dan mudik adalah konsep menemukan jati diri, menegaskan kembali eksistensi. Mudik dan Pulang merupakan soal kembali pada diri kita sendiri.
— Vi