Sebelum program Juguran Blogger dimulai, Mbak Olipe, salah satu panitia, share foto sebuah warung kopi di WAG. “Kita akan mampir ke sini, Bale Raos” Katanya. Melihat tempatnya yang asri dan kental warna pedesaan, membangkitkan antusiasme saya. Bukan karena penggemar kopi, bukan pula ahli rasa, membayangkan akan bercengkerama bersama teman-teman blogger di tempat seperti itu sungguh tepat. Blogger gitu lho selalu butuh content memikat. Terbukti Bale Raos Coffee and Tea House Banyumas yang berada dalam Padepokan Filosofi Yasnaya Polyana memang membetahkan. Menghirup secangkir kopi hitam organik plus tempe mendoan dan bercerita ngalor-ngidul. Di sini kami juga melihat cara pembuatan gula merah. Di sini kami tak hanya dapat content kece tapi juga malas pulang.
Sesuai janjinya di hari terakhir Juguran Blogger, kami merapat.
“Banyumas adalah tanah yang kaya. Beragam tanaman tumbuh di sini. Mulai dari Kayu manis, kopi dan kelapa. Sayangnya semua itu sekarang terkikis oleh waktu. Sekarang di seluruh Banyumas ini ditanam bermacam tanaman, tidak tersistem dan kebanyakan kayu keras seperti albasia yang cenderung merusak tanah”.
Padepokan Filosofi Yasnaya Polyana Filsafat Barat di Bawah Kaki Gunung Slamet
Di atas adalah kalimat pembuka dari Edi Daryon saat menyambut kami di Bale Raos coffe and Tea House. Beliau salah seorang pengelola Padepokan Filosofi Yasnaya Polyana Indonesia yang menaungi café sederhana Bale Raos Coffe and Tea House Banyumas ini. Memang Juguran Blogger yang digagas oleh Blogger Banyumas dan didukung oleh Litbang Bapeda Banyumas untuk melihat dari dekat potensi-potensi yang terdapat di daerah itu. Salah satunya komplek Padepokan Filosofi Yasnaya Polyana. Walau sejatinya kehadiran kami hanya untuk menikmati kopi organik yang dihasilkan oleh petani sekitar, teh herbal, plus tempe mendoan yang crunchy. Akhirnya jadi sebuah rendevous antara blogger yang butuh konten dengan satu realita di belakang objek menarik sebuah café.
- Baca tentang: Kopi Herbal Palm Sugar
Tonton video kunjungan Juguran Blogger ke Bale Raos di sini
“Padepokan Filosofi Yasnaya Polyana mewadahi pembenihan dan penumbuhan advokasi filosofis”. Kata Mas Edi lagi. Saya termangu. Berusaha menghubungkan dengan Filosofi Kopi yang tenar lewat buku dan film. Karena belum nonton filmnya ya tentu saja seperti menegakan benang basah. Kita hanya bisa menghubungkan dua atau lebih konsep jika sudah punya pengetahuan tentangnya, bukan? Sayangnya saya juga merasa waktunya kurang tepat untuk menggali lebih jauh. Yang jelas dari sisi intelektual, tempat ini bertujuan memberi pencerahan bagi para pengarang maupun profesi lain. Di sini dunia ide dikawinkan dengan kenyataan yang jadi landas bangun bagi kehidupan intelektual sehari-hari. Sementara dari sisi fisik Yasnaya Polyana seolah terlihat seperti sekolah alam. Untuk menunjang pernyataan saya terdapat rumah bagi Pondok Tani Organik, Pendidikan Anak Tani, Kursus Filsafat, dan Wisata Alam Tani Organik.
Bale Raos Coffee and Tea House Banyumas Tempat Belajar Semua Orang
Jadi begitu lah! Ke Bale Raos Coffee and Tea House Banyumas bukan sekedar kunjungan ke kedai kopi. Ini bisa jadi sebuah tempat bagi semua orang yang tertarik pada filsafat. Turut mencicipi denyut pemikiran Leo Tolstoy sang penggagas Yasnaya Polyana pertama.
Yasnaya Polyana Banyumas juga tempat belajar para cantrik pertanian. Di bawah kaki Gunung Slamet ini, mengunyah tempe mendoan sambil menenggelam diri ke pemikiran-pemikiran barat klasik bukan lah hal luar biasa. Pemandangan yang serba hijau di sekeliling juga menarik diri agar lebih lekat kepada alam.Setidaknya begitu lah yang terasa saat mata dan kaki dibawa berkeliling kawasan dan bahkan melihat cara membuat gula jawa atau gula merah.
Yasnaya Polyana – Tempat yang Damai
Tidak salah pemilihan namanya Yasnaya Polyana: Tempat yang Damai. Bale Raos Coffe and Tea House sebagai latar depan kawasan seolah mengucapkan suka cita dan selamat datang dengan hamburan aroma kopi yang sedang di rendang Mas Edi. Alat roaster kopi yang terlihat tua dan usang seolah menegaskan tempat ini sebagai basis pemikiran klasik yang berkembang mengikuti jaman: Kopi turut hiruk pikuk menghadirkan eksistensi lewat gaya hidup kekinian. Padahal kopi sudah jadi bagian hidup masyarakat Indonesia sejak Belanda membawa bijinya ke Indonesia.
Bila di Rusia Yasnaya Polyana dijadikan tempat rujukan bagi para calon pengantin, kamu yang sedang mencari rujukan hidup damai dan tentram silah datang ke Padepokan Filosofi Yasnaya Polyana Banyumas. Tapi ingat lah mereka tidak akan memberimu jampi-jampian. Melainkan suatu tantangan bagi otak, makanan bagi jiwa yang akan membuat tiap inci saraf bergerak, mencari makna dengan mempertanyakan segala eksistensi.
Di Yasnaya Polyana kamu tidak hanya akan tahu soal filsafat sebab kamu juga diminta tahu tentang pertanian. Tak cuma tahu tentang bercocok tanam tapi juga dibawa masuk ke dunia pertanian dan masyarakatnya lebih dalam. Bahwa semua orang makan nasi, beras jadi kebutuhan pokok, pasti dibeli tiap rumah tangga, tapi tidak membuat hidup petani sejahtera. Nah agar diskusi semakin menggigit cicipilah kopi rempah, diracik sendiri oleh Mas Edi dan sajian istimewa Bale Raos Coffe and Tea House.
Pertemuan Ide dengan Realita
Karena ini adalah tempat mempertemukan dunia ide dengan realita, sambil ngopi, ngobrol santai, terbuka wawasan bahwa bicara dunia wisata mestinya tak melulu soal dunia gemerlap. Tak melulu soal foto-foto cantik yang kemudian di unggah ke blog dan sosial media. Sebuah kekuatiran bagi Mas Edi bila menurutnya kepariwisataan sekarang cuma menonjolkan sisi selfie. Sampai-sampai di situs-situ penting dibuat dek-dek untuk selfie. Kalau terus seperti itu dalam mempromosikan pariwisata bukan tak mungkin suatu saat sejarahnya hilang dan yang tinggal hanya foto-foto.
Lagi-lagi sikap itu membuat saya termangu (kebanyakan bengong karena gak bisa mikir :))
Sementara itu Rumah Bale Raos ini mengembang harap bagi kesejahteraan petani. Pesan mereka jelas bahwa jangan pernah abaikan petani. Bagi mereka pejuang dunia itu bukan tentara, bukan pula Presiden tapi petani. Coba saja siapa orang hebat di dunia yang makanannya batu? Semua makanan mereka dari hasil pertanian. Jadi hargailah sekecil apapun keringat petani. Jadi nih anak-anak medsos, kalau kalian melihat sawah yang cantik jangan cuma lihat sawahnya saja, foto, selfie, lalu upload ke akun kalian. Ingat selalu bahwa di belakang pemandangan cantik itu terdapat tetes-tetes keringat petani.
Dengan latar kepedulian tersebut Yasnaya Polyana berharap nanti akan berdiri koperasi bagi petani yang nantinya dapat mengatur harga. Harga tidak lagi ditentukan sepihak oleh pengepul atau pemodal agar petani dapat ikutan sejahtera. Dan berkat kepedulian Bupati akhirnya para petani Yasnaya Polyana sekarang sudah dapat bantuan asuransi kesehatan. Alhamdulillah!
Pembuatan Gula Merah di Padepokan Filosofi Yasnaya Polyana
Saya terbiasa melihat pengolahan nira aren menjadi gula semut. Namun tak urung bersuka cita di Bale Raos dapat melihat pembuatan gula merah kelapa. Pasti ada sesuatu yang bisa dipelajari. Lalu sambil mencicipi nira kelapa yang manis saya pun paham bila Mas Edi mengatakan bahwa nasib para penderes tidak lah semanis produk yang dihasilkan. Sudah sekian tahun bergelut di pengolahan gula aren, sedikitnya, saya paham di mana letak kesalahannya. Semua pihak bertanggung jawab terhadap masalah ini termasuk petaninya sendiri. Cuma akan terlalu panjang bila diuraikan di sini. Mungkin di kesempatan lain ditulis dalam pos terpisah.
- Baca tentang: Resiko Pembuatan Gula Merah
Kembali tentang nasib petani versi Mas Edi, Padepokan Filosofi Yasnaya Polyana, bahwa kehidupan pembuat gula merah tak semanis gula merah lewat sebuah canda. ” Penderes memanjat 60 pohon tiap pagi dan sore. Naik turunnya itu kalau satu pohon 10 m X 60 udah sudah 1,2 kilo. Pagi dan sore 2,4 kilo. Tinggal kali dalam 5 tahun. Kalau tidak turun-turun mereka sudah sampai di surga”. Selorohnya.
Saya pun menarik napas selesai “nyantrik” kilat di Padepokan Filosofi Yasnaya Polyana. Memang lah permasalahan kesejahteraan petani Indonesia masih jadi isu pokok di ruang publik Indonesia. Sudah banyak wacana mapun penelitian yang mengkaji. Hasil riset mungkin sudah bertumpuk di lembaga-lembaga akademis. Begitu pun karya nyata para aktivis di lapangan seperti Mas Edi ini. Bila kemudian sebagian besar petani Indonesia tetap miskin mungkin karena belum ditemukan akar penyebab sesungguhnya. Bila penyebab tidak jelas tentu sukar menemukan solusi.
Yasnaya Polyana Alamat: Windujaya, Kedung Banteng, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah 53152