Festival Lembah Baliem – Saya mengenal Lembah Baliem dan kehidupan Suku Dani Papua tahun 1973 saat duduk di kelas satu SMP. Ketika jagat media Indonesia dihebohkan seorang jurnalis foto dari California bernama Wyn Sargent yang mengawini Ketua Suku Obahorok. Koran dan majalah mengulas berbulan-bulan setelah perkawinan itu terlaksana di sebuah desa di Kurulu – Kabupaten Jayawijaya. Saya tak tahu pasti mengapa perkawinan antar benua itu memicu berbagai kontroversi.
Ada yang menulis perkawinan itu tak berdasarkan cinta, Sargent hanya mengeksploitasi suku-suku pedalaman demi komersialisasi. Ada pula yang curiga Sargent tak lebih dari mata-mata Amerika. Sementara dari pihak Sargent sendiri dalam sebuah wawancara mengatakan pemerintah Indonesia sendiri lah lah sebenarnya yang takut. Bahwa aktivitasnya di Papua Barat akan mengekpose operasi militer Indonesia ke mata dunia.
Baca juga Festival Budaya Irau Malinau
Berekenalan dengan Suku Dani Papua
Apa pun lah alasannya kehebohan itu memaksa saya membuka atlas. Mencari tahu di sebelah mana Indonesia Lembah Baliem itu berada. Oh di Wamena – Irian Barat ( nama lama Papua Barat), sebuah dataran tinggi tak jauh dari kawasan Taman Nasional Lorentz yang tekenal.
Sejak itu saya melukis di langit bahwa suatu saat akan menginjakan kaki di kampung Obahorok. Walau kemudian saya juga membaca bahwa kehidupan yang berlangsung di Lembah Baliem tidak lah seromantis hubungan Sargent-Obahorok. Setidaknya media internasional menjuluki Suku Dani sebagai head hunters karena sering melakukan perang antar suku.
Seorang pria Dani menunjukan kejantanan kepada kerabatnya dengan kepala musuhnya yang terpotong. Ah seram kan? Tapi itu tak mengurangi impian saya ingin menginjak Lembah Baliem.
Semesta ternyata menyimpan lukisan langit saya. Bulan Agustus tahun lalu saya terbang dari Soekarno-Hatta menuju Jayapura dengan Garuda Indonesia lalu dilanjutkan dengan pesawat kecil ke Wamena. Momen yang sempurna sebab even ini tak hanya akan bertemu Suku Dani, asal Obahorok, tapi juga Yali dan Lani.
Pintu masuknya adalah Festival Budaya Lembah Baliem yang tahun 2017 sudah memasuki yang ke-28. Perwujudan mimpi yang tak sembarangan pikir saya saat di Bandara Jayapura dan Wamena ketika melihat poster-poster festival terpampang di beberapa sudut.
Tiba di Wamena
[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=qZE6azu_MA0[/embedyt]
Karena terkena restric Youtube, untuk melihat video tarian Suku Dani nya langsung aja ke sini ya
Mendarat di Wamena langit mewakili perasaan saya. Biru cerah dengan guratan awan putih jernih. Mereka telak mengatakan bebas polusi. Bahkan sejak sebelum mendarat, memandang ke kota Wamena dari jendela, dataran hijau dengan Sungai Baliem berkelok-kelok. Kelelahan saya langsung terbayar.
Jadi tak ada artinya menempuh perjalanan 8 jam Jakarta-Jayapura, satu jam delay di Jayapura ditambah satu jam lagi penerbangan Jayapura-Wamena. Suhu sejuk, udara segar mengelus paru-paru. Di sekeliling Bandara Wamena berdiri bukit-bukit. Bandara kecil namun terlihat sibuk. Dari sini lah semua kebutuhan logistic masyarakat Wamena dari berbagai daerah diturunkan lalu didistribusikan sampai ke pelosok.
Maklum lah satu-satunya pintu Wamena bagi dunia luar hanya bandara ini. Tak heran kalau harga-harga serba mahal karena semua diangkut dengan kapal terbang..
Kampung Adat Mumi Sompaima – Kurulu
[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=MVOH7sNiWAc[/embedyt]
Video Kampung Adat Mumi Sompaima – Kurulu – Karena video tentang Festival Lembah Baliem di restrich semua oleh Youtube mampir ke kanal langsung saja ya untuk menonton 🙂
Saya tidak memiliki banyak stok kalimat dalam menggambarkan keindahan alam Papua barat ini. Pohon hijau, gunung, langit cerah terdapat di semua tempat di Indonesia. Namun perjalanan bermobil dari Wamena Airport menuju Desa Adat Mumi Sompaima (destinasi pertama) membuat bibir hanya bias berucap: Ini Papua ya? Lalu dengan noraknya melanjutkan:” Kok rasanya seperti bukan di Indonesia?”
Alam Wamena berbeda dengan Jawa atau Sumatera Barat yang saya akrabi. Gunung dan bukit yang mersemburan di mana-mana sepertinya berbatu, sebagian telanjang, tanpa rumput berdiri tegak menantang langit dengan jumawa.
Sekitar 45 menit kemudian sampai lah mobil di mulut Kampung Adat Mumi Sompaina. Di sini rumah bagi mumi Kurulu yang sudah berumur tiga abad itu tersimpan. Mumi ketua suka Wi Motok Mabel yang diawetkan dengan cara di asapi dan disimpan di dalam honai sudah terkenal ke manca negara.
Seorang lelaki berkoteka, perempuan tua bertelanjang dada dengan noken tersandang di kepala sigap menyambut. Riuh sekali mereka. Sayangnya saya tak mengert Bahasa mereka. Sambil mengajak bicara bu tua itu menunjuk-nunjuk jarinya yang tak utuh alias buntung.
Jangan Sembarangan Memotret
Dan tentu saja penampilan mereka yang eksotis, yang selama ini cuma kenal lewat foto membangkitkan insting blogger dalam diri saya. Sebelum mengangkat kamera untungnya kepala rombongan sudah memperingatkan jauh-jauh hari bahwa jangan sembarangan memotret di Papua.
Jadi teman-teman memang begitu lah aturan di Papua ini. Jika ingin memotret penduduknya yang mengenakan pakaian adat seperti Bapak dan Ibu ini harus izin dulu. Jangan mentang-mentang mereka cakep terus kita bisa sembarangan memotret. Agar sama-sama enak bicarakan kesepakatan harga di muka. Lah kok komersil amat? Apakah pantas? Pantas!
Saya tak tahu dari mana asal komersialisasi memotret warga Papua di mulai. Tapi kalau ditanya pendapat saya, tentu saya setuju. Kita tak boleh mengambil dari mereka tanpa memberi. Foto-foto mereka yang eksotis akan kita pajang di blog, masuk IG terus banyak dapat like dan komentar, ilustrasi dalam tulisan di media massa, atau bahkan dijual.
Masa iya mereka tidak boleh ikut menikmati? Masa iya cuma kita yang senang? Jadi relakan lah beberapa bungkus rokok atau beberapa lembar puluhan ribu untuk mereka. Uang segitu terkadang juga tak ada artinya di Papua. Semua harga serba mahal di sini.
Kehidupan Suku Dani Papua
Begitupun kami. Sebelum mengangkat kamera dan memotret dengan bebas seluruh isi kampung Sompaiama, ketua rombongan bernegosiasi terlebih dahulu dengan seorang Bapak yang bertanggung jawab di sana. Setelah terjadi kesepakatan harga barulah mumi warna hitam seperti arang dikeluarkan dari Honai oleh seorang bapak juga berkoteka. Mumi ini adalah sesosok lelaki yang sedang jongkok dengan kepala menghadap ke langit.
Karena Kampung Adat Mumi Sompaima Kurulu ini sudah ditasbihkan sebagai desa wisata, begitu ada tamu anggotanya seolah mengerti tugas mereka. Lelaki, perempuan dan anak-anak langsung mengganti busana harian mereka dengan busana adat. Yang lelaki mengenakan koteka dengan bulu burung di kepala. Perempuan mengenakan rok rumbai yang diterbuat dari kulit kayu, disebut Sali dan noken tersandang di kepala.
Baca juga:
- Festival Bau Nyale Lombok Pesta Rakyat
- Parade Budaya Festival Pesona Bau Nyale 2019
- Festival Budaya Irau Malinau
- Musik Bumiputra Dunia di Rainforest World Music Festival 2018
- Keunikan Festival Sinulog Cebu
Sayangnya selama berada di Kampung Sompaima tidak ada guide yang mejelaskan riwayat kehidupan di sana. Karena ibu yang menyambut kami di pintu masuk tadi terus menerus menunjukan jarinya yang terpotong, terus ditambah satu ibu lagi yang lebih tua juga mempunyai jari yang sama, seorang wanita lain yang bias sedikit berbahasa Indonesia menjelaskan bahwa jari-jari yang terpotong itu adalah tanda duka cita kehilangan keluarga. Dan proses pemotongannya sendiri sangat sakit menurut saya. Selain dengan pisau ada yang diikat dengan tali sampai ujung jarinya mati baru kemudian di potong. Saya merinding membayangkan.
Untuk teman-teman yang ingin membeli oleh-oleh, mereka juga membuka bale-bale khusus untuk menjual souvenir khas desa mereka. Mulai dari senjata, miniature alat pertanian, perhiasan, dan noken. Jadi kalau datang ke sana, beli lah produk kerajinan mereka. Dengan belanja teman-teman telah ikut mendistribusikan rupiah yang langka bagi penduduk asli Papua ini.
Festival Budaya Lembah Baliem
Keesokan hari acara yang ditunggu pun tiba. Tiba saatnya melihat kehidupan Suku Dani Papua walau cuma kerak atau permukaan saja. Kami menuju lokasi Festival Lembah Baliem 2017 di sebuah lapangan di Desa Wosilimo, Distrik Kurulu , Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua.
Matahari cerah. Langit terang. Awan putih bergumpal seperti kapas. Begitu turun dari mobil dari jauh sudah kelihatan pria berkoteka hilir mudik dengan senjata tradisional. Sebagian baru turun dari truk. Turis domestik berbaur dengan turis manca negara. Camera dengan lensa tele terlihat di mana-mana. Malah sebagian terlihat seperti pipa paralon saking besar dan panjangnya.
Maklum atraksi akan berlangsung di lapangan, karena melibatkan senjata harus berjarak dengan penonton. Tepi lapangan pun sudah penuh oleh penduduk setempat. Rupanya tak hanya bagi turis, bagi penduduk Lembah Baliem pun ini adalah kesempatan langka.
Baca juga:
- Masak di Rumah Adat Lonthoir
- Upacara Adat Dayak Sa’ban
- Festival Teluk Semaka : Pemberian Gelar Adat di Lampung
- Mengenal Adat Lampung Lewat Pawai Budaya Festival Krakatau
Festival Lembah Baliem merupakan saat semua suku dari dataran tinggi Wamena dan Lembah Balliem seperti Dani, Lani, dan Yali berkumpul. Meraka akan memperagakan kebolehan mereka berperang, menari, dan bermain musik. Tak ketinggalan juga deretan honai yang menjual aneka souvenir dan kopi Wamena yang terkenal itu.
Sebelum atraksi dimulai saya menghampiri honai-honai yang terletak di sebelah selatan lapangan. Di sini lah para peserta festival berkumpul sebelum memulai atraksi. Sebagian juga berkelompok di lapangan rumput.
Perempuan menghias tubuh mereka dengan titik-titik dan garis-garis putih. Semuanya bertelanjang dada dengan rok berumbai. Kaum lelaki siap berbusana perang. Selain membaluri tubuh mereka dengan pasta bercoklat kehitaman, juga mengenakan taring babi di hidung.Ada yang menyeramkan ada yang biasa-biasa saja. Yang jelas beberapa hiasan yang dikenakan panglima perang membuat mereka terlihat lebih gagah yang sekaligus menimbulkan rasa gentar.
Cara Hidup Yang Saling Melindungi
Satu ciri yang bisa saya tandai saat seperti ini adalah, mereka berkumpul, saling berhadapan membentuk pusaran. Tak begitu peduli kepada fotografer yang terus memotret, pusaran itu terus membelakangi seolah tak tertembus. Malah seolah saling melindungi agar jangan difoto semena-mena.
Tapi saya pikir ini lah bentuk relasi masyarakat Suku Dani Sehari-hari. Sebagai suku yang terkenal gemar berperang, ikatan antar anggota adalah segalanya. Mereka harus saling melindungi guna bertahan dari kehidupan antar suku yang keras.
Perang Suku Bagian Dari Kehidupan Suku Dani Papua
Pemerintah Indonesia bekerja keras agar perang antar suku di Lembah Baliem dihapus. Karena setiap peperangan takan pernah menyelesaikan masalah, malah selalu menimbulkan dendam bertingkat.
Tapi bagaimanapun berperang adalah bagian kehidupan Suku Dani Papua, gaya hidup masyarakat di Lembah Baliem secara turun temurun. Peperangan antar suku tak bisa dihapus begitu itu. Semata untuk melestarikan adat, maka dibuat lah Festval Budaya Lembah Baliem. Di sini kita tak hanya akan menyaksikan atraksi perang-perangan menggunakan Sape (tombak tajam), juga tari-tarian, dan kesenian music.
Baca juga :
Parade Budaya Festival Pesona Bau Nyale 2019
Mengenal Adat Lampung Lewat Pawai Budaya Festival Krakatau
Menurut kalian apa yang jadi pemicu perang antar suku di Lembah Baliem? Yang saya lihat dalam Festival Lembah Baliem, secara garis besar adalah pelanggaran hak. Misalnya, lelaki yang mengganggu istri atau anak gadis orang, pencurian ubi dan ternak.
Karena berperangnya langsung berhadapan secara fisik dan menggunakan tombak pula sementara mereka tak mengenakan pelindung apapun, bisa kan dibayangkan betapa seramnya peperangan antar suku itu di masa lalu? Dari atraksi saja bisa terlihat ketika seorang musuh terjatuh maka lawannya menombak ramai-ramai. Sambil mengayun-ayunkan tombak menuju lawan, mereka berteriak-teriak keras, mengeluarkan . Selain untuk menumpahkan kemarahan juga untuk mengintimasi lawan.
Semoga Selalu Damai di Lembah Baliem
Sebagai orang luar agak sulit bagi saya membayangkan kehidupan Suku Dani Papua ini. Tak terbayang dendam yang timbul bila salah satu kelompok kalah dan anggotanya meninggal di medan perang. Tentunya sanak-saudara akan segera merencanakan pembalasan.
Nah kalau sudah begitu kapan putusnya tali dendam dalam Suku Dani Papua? Untung lah perang antar suku sudah tak terjadi di Lembah Baliem. Keturunan dan kerabat Obaharok berserta dua suku lainnya sekarang hidup berdampingan dengan damai.
Sesaat sebelum meninggalkan lapangan Festival Lembah Baliem sore hari, perasaan saya diliputi rasa bangga pada Indonesia. Dengan begitu banyak ragam dan perbedaan budaya yang hidup di dalamnya kita bisa hidup damai dalam kesatuan Pancasila.
Yah semoga Indonesia takan pernah goyah karena perbedaan ini. Semoga kita terus terrajut dalam harmoni bangsa dan kesejahteraan ekonomi pun merata. Amin.