Semana Santa Larantuka – Menurutmu apa yang sanggup menguncangkan ketenangan sebuah desa nelayan terpencil di Nusa Tenggara Timur? Penemuan patung wanita berwajah sedih! Entah dari mana, ombak membawa begitu saja postur tinggi, berkulit putih, dan bermata biru ke lepas pantai. Jelas itu bukan figure perempuan setempat. Lalu dengan seluruh kabut misterinya, kepala kampung memerintahkan benda tersebut di simpan di rumah pemujaan (korke). Dibungkus misteri seperti itu bagaimana mungkin tak dikeramatkan dan jadi objek pemujaan penduduk? Setiap panen diberi sesaji.
Sampai akhirnya misionaris Portugis, Gaspardo Espirito Santo mendarat di tempat itu dan cadar kegaiban tersingkap. Itu tak lain dari Maria, Bundanya Yesus Kristus yang berduka (Mater Dolorosa). Rupanya ia berasal dari kapal Portugis yang tenggelam. Mater Dolorasa dalam Bahasa Portugis, Tuan Ma dalam Bahasa Larantuka. Dan itu terjadi sekitar 500 tahun yang lalu. Peristiwa ini lah sebagai cikal bakal upacara Semana Santa di Kota Larantuka hingga saat ini.
Setidaknya demikian sejarah Semana Santa Larantuka yang saya baca. Ah Indonesia memang kaya budaya
Datang Untuk Menyaksikan Semana Santa Larantuka
Kami datang dari Maumere dengan melewati Pulau Konga yang cantik. Matahari sedang diubun-ubun begitu memasuki Kota Ratu (sebutan lain bagi Larantuka) setelah 4 jam menempuh perjalanan. Menyisir jalan sepanjang tepi laut Larantuka – Nusa Tenggara Timur, suasana terkesan sepi. Mendekati pusat kota terlihat polisi berseragam barjaga-jaga. Rabu Trewa telah tiba, hari dimulainya perkabungan umat katolik atas kematian Yesus karena dikhianati oleh Yudas Iskariot di Taman Getsemani. Ujungnya adalah Perayaan Paskah pada hari Minggu.
Ohya ngapain saya di sana? Kan bukan Katolik? Iya saya berada di sini sebagai travel blogger Indonesia pecinta budaya.
Semana Santa Larantuka ini bukan sekadar peringatan Hari Kebangkitan Isa Al Masih. Ini merupakan prosesi yang memadukan agama dan adat, sehingga jadi tepat jika disebut juga sebagai perayaan budaya. Itu lah alasan mengapa saya berada di sini bersama ratusan wisatawan rohani lainnya.
Rabu Trewa – Hari Terbelenggu
Rabu Trewa diperingati sebagai hari Yesus dibelenggu oleh serdadu dan para algojo Yahudi lalu diseret mengelilingi Kota Nazareth. Ditandai dengan dibukanya kapel-kapel bagi para peziarah. Diantaranya adalah Kapela Tuan Ma, Kapela Tuan Ana. Keduanya terletak di Jalan Nasional Maumere-Larantuka, berjarak kurang dari satu kilometer.
Cahaya keemasan sore jatuh ke atas Kapela Tuan Ma saat saya memasuki halamannya. Di pucuk bangunan terpancang salib besar dengan patung Bunda Maria di kanan-kiri. Suasana sendu meruap pekat di udara. Umat Katolik mengenakan pakain hitam dan sarung tradisional khas NTT.
Baca juga Belanja Tenun Ikat Sikka di Pasar Alok
Memasuki kapela satu persatu, dengan khidmat mengambil tempat di atas bangku-bangku dingklik. Dimuka sebuah meja altar bertaplak biru berisi lilin menyala di atasnya. Lagu-lagu sedih berkumandang. Ini disebut Lamentasi. Bahkan sebelum Rabu Trewa, setiap Jumat dan Sabtu hingga Pekan Suci, orang berdoa bersama – yang mereka sebut sebagai “mengaji semana” – di Kapela Tuan Ma ini.
Sesaat misa dimulai saya beranjak ke luar dan pergi ke arah tepi laut. Matahari turun perlahan. Semburat jingga di kaki langit jadi latar belakang yang syahdu bagi mereka yang sedang terpekur di dalam gereja. Apa lagi jalan raya sudah bebas dari kendaran. Hanya ombak yang berani memecah keheningan saat itu.
Sambil memandangi ombak kecil menjilati pantai, teman perjalanan memberi tahu, setelah misa nanti masyarakat akan membuat kegaduhan. Mereka akan membuat bunyi-bunyian dengan memukul peralatan seperti kaleng bekas. Itu untuk mengenang saat Yesus diarak menuju tiang salib.
Kamis Putih- Menyeberang ke Adonara
Pagi masih kelabu. Kota seperti mati. Saya mengikuti teman-teman menuju Dermaga Penyeberangan Pantai Paloh dengan menumpang angkot. Mereka akan berziarah (berdevosi) ke Gereja Tuan Berdiri Desa Wureh, Pulau Adonara Barat. Sengaja berangkat subuh-subuh untuk menghindari derasnya Selat Gonzalez di siang hari.
Pemerintah cukup sigap dalam mengantisipasi lonjakan peziarah pada tiap Peringatan Paskah di kota ini. Perahu-perahu penyeberangan sudah disiapkan dengan harga yang sudah ditentukan. Tapi tetap terbuka bagi pemilik perahu dan pengunjung untuk bernegosiasi.
Setelah lapor ke panitia, kesepakatan harga perahu tercapai, rombongan ziarah yang terdiri dari Sembilan orang, naik satu persatu. Tak lama ujung perahu bergerak, perlahan, memercikan air yang memutih Teluk Gonzalez. Cakrawala masih kelabu. Bukan karena matahari belum keluar, lebih banyak karena awan mengandung hujan. Benar saja setelah dua puluh menit berjalan, mendekati Wureh hujan turun semena-semena. Untung saya membawa jaket waterproof dan camera masuk kantong plastik kresek.
Nah karena perahu tak bisa mendekat pantai, kami pun harus turun ke laut. Sekalipun gerimis air laut terasa hangat. Pantai Wureh menyambut saya dalam kesederhanaannya. Pasir kekuningan menghampar, tak terusik menerima sapuan ombak. Gunung Ile Mandiri berpita kabut seolah muncul dari laut, mengucapkan selamat datang.
Kapela Tuhan Berdiri Adonara
Saya dan Ratna tidak mengikuti teman-teman yang akan beribadah di Kapela Tuhan Berdiri. Kami memilih memutari kampung. Rumah-rumah berhalaman dengan pagar tanaman selutut orang dewasa. Karena semua orang berkumpul di gereja, kami seolah menjelajahi kampung yang ditingkalkan. Dalam desa Wureh ini setidaknya kami menemukan tiga gereja kecil, yang semakin meyakinkan saya bahwa Larantuka dan Adonara adalah kota santri.
Kami juga mampir sebentar untuk melihat ritual di gereja Tuan Berdiri. Disebut demikian karena dalam kapel ini terdapat patung Isa Al Masih, bermahkota duri, dengan wajah bercucuran darah dan mengenakan jubah merah. Di sebelahnya berdiri patung ayam. Seorang teman pernah menyinggung cerita legenda tentang ayam ini. Teman-teman silahkan googling jika ingin tahu.
Setelah melewati antrian cukup panjang, panganut Katolik berjalan ke dalam kapel dengan berlutut. Perlahan-lahan beringsut satu persatu hingga sampai di bawah kaki patung. Di sana dengan khidmat mereka mencium kaki patung Al Masih. Setelah itu berpindah ke tengah dimana terdapat peti yang didalamnya terbaring tubuh Yesus. Di sini mereka kembali menciumnya.
Gerimis sudah berhenti. Kami kembali melanjutkan mengelilingi Desa Wureh dengan berjalan kaki. Gang-gang sudah dipasangi bambu untuk prosesi Semana sudah tegak sepanjang jalan. Memang selain di Larantuka, Adonara Barat juga menyelenggarakan prosesi Semana Santa.
Kembali ke Larantuka
Sekitar pukul Sembilan perahu kami mendarat kembali di Larantuka. Para peziarah yang akan ke Wureh meningkat jumlahnya. Perahu datang dan pergi. Dengan kembali menumpang angkot kami balik ke penginapan untuk sarapan. Menu hari itu sayur bening daun kelor. Hanya kuahnya terlalu banyak jadi sulit menangkap sayurnya plus ikan goreng. Yang menyukai menu ikan, Flores Timur yang terletak di tepi laut akan memanjakan selera mereka.
Sementara itu di Kapela Tuan Ma, walau pintu masih tertutup, di dalam sedang terjadi kesibukan. Mater Dolorasa di keluarkan dari peti penyimpanan, dimandikan dan dikenakan pakaian berkabung lalu ditutup jubah biru tua. Pelaksananya disebut conferia (badan organisasi dalam gereja) yang telah diangkat melalui sumpah. Setelah rapi barulah pintu kapela dibuka oleh keturunan RajaLarantuka. Mereka pula yang pertama mencium Tuan Ma, diikuti para kepala suku, mardomu (para pendoa) dan para peziarah.
Selesai sarapan saya mandi dan beristirahat di Kamar. Panas kota Larantuka semakin menggila. Sementara itu di Kapela Tuan Ana (Yesus anak Maria) dan Kapela Tuan Meninu (tempat arca Patung Kanak-kanak Yesus di simpan) juga terjadi kesibukan. Seperti Kapela Tuan Ama, dua kapela ini terus menerima kunjungan peziarah. Mereka bergantian mencium patung Tuan Ana dan Tuan Meninu.
Tapi berada di kamar terus juga membosankan. Maka berangkat lah saya dan Ratna ke Pasar Inpres Larantuka.
Baca Pasar Inpres Larantuka
Jumat Agung – Prosesi Semana Santa Larantuka
Usai sarapan keesokan pagi saya langsung bersiap. Jumat Agung sudah datang. Ini lah puncak Semana Santa. Masyarakat Larantuka dan peziarah pagi-pagi sudah melakukan jalan salib. Sekitar pukul sepuluh matahari Larantuka sudah bengis. Saya bergerak ke arah Pantai Kuce bersama masyarakat lainnya. Kami akan melihat arca bayi Yesus yang disebut Tuan Meninu di bawa dari Kapela Meninu lewat laut dan mendarat di Kuce.
Sayangnya cuaca cepat sekali berganti. Awalnya panas mengkereng, berganti gerimis yang disusul hujan lebat. Rupanya ada peraturan bahwa saat Tuan Menino lewat hadirin tak diperbolehkan menggunakan pelindung seperti payung, topi atau selendang. Moralnya tentu saja iman katolik, bahwa mereka sedang mengenang penderitaan Yesus, apa lah artinya hujan dan panas.
Tapi saya mengkuatirkan kamera karena tidak membawa dry bag. Maka dengan cepat berlari mencari tempat berlindung. Untung lah di sebuah beranda rumah sudah ada orang berkumpul, jadi saya tak merasa sungkan. Untung lagi tempat tersebut terbuka ke laut. Saya masih bisa melihat “prosesi laut” dari kejauhan.
Di bawah hujan lebat, laut tampak abu-abu. Kapal-kapal pengawal Tuan Menino bergerak seperti bayang-bayang hitam. Mereka dari Angkatan laut, kapal-kapal nelayan, bahkan kapal pemburu ikan paus dari Pulau Lamalera, Kabupaten Lembata ikut tak ketinggalan dalam perakan. Dengan takzim, di muka kapal nelayan sederhana berisi arca Menino bergerak perlahan menuju Pante Kuce.
Tanpa lensa tele hampir tak mungkin mengambil gambar perakan laut. Kalaupun bisa hasilnya hanya bintik seperti semut hitam di tengah lautan. Maka saya pindah, naik ke atas sebuah beranda toko. Di sini pandangan lebih leluasa.
Tak lama peti tertutup kain beludru hitam dikeluarkan dari perahu. Dengan dijunjung di atas kepala peti berisi arca baby Yesus di arak menuju armida (perhentian agung).Sekelompok perempuan berpakaian hitam dengan liling menyala mengawal dari belakang. Mereka bertindak sebagai Eus atau perempuan-perempuan Yerusalem yang meratapi kematian Yesus. Barisan didahului conferia yang di dalamnya juga termasuk keluarga kerajaan Larantuka.
Arak-arakan Semana Santa Larantuka
Hari semakin sore. Hujan sudah berhenti. Udara mulai sejuk. Saya dan Ratna pindah tempat ke arah Taman Doa Moter Dolorosa. Di sini kami akan menanti ketibaan arak-arakan Patung Tuan Ma menuju Kapel Tuan Ana. Prosesi ini merupakan simbol Bunda Maria menjemput anaknya, Yesus. Lalu kedua patung diarak bersama menuju Katedral Renha Rosari Larantuka untuk melaksanakan Ibadat Jumat Agung. Akan ada acara cium salib yang setelahnya. Lalu umat akan berziarah ke kuburan. Saat itu kompleks pemakaman sudah diterangi lilin.
Nah saat arak-arakan Patung Bunda Maria ini Larantuka kembali diguyur hujan lebat. Karena sudah terlanjur basah saya sudah tak mencari tempat berteduh. Yang penting camera sudah aman dalam kantong plastik. Beruntung camera ponsel bisa digunakan untuk merekam jalan prosesi.
Prosesi Semana Santa Malam Hari
Makin terpesona pada budaya Indonesia. Prosesi Semana Santa belum selesai. Tepat pukul 20.00, kegiatan prosesi malam dimulai. Umat katolik dengan membawa lilin bernyala berjalan mengitari kota. Mereka berdoa dan menyanyikan lagu-lagu kedukaan. umat berhenti di setiap armida (perhentian kehidupan yang agung) untuk berdoa.
Di sini baru saya paham kegunaan tikam turo yakni pemasangan tiang-tiang bambu sepanjang rute prosesi. Rupanya itu adalah tempat pemasangan riuan lilin yang membuat Larantuka semakin khidmat sebagai kota perkabungan suci.Lilin-lilin itu mengingatkan saya ke malam sebelum Idul Fitri di masa kanak-kanak, dengan obor bersama teman-teman keliling kampung sambil mengumandangkan takbir.
Dari situs Katolik saya abaca bahwa makna religi prosesi ini menempatkan Yesus (Tuan Ana) sebagai pusat ritual dan Bunda Maria (Tuan Ma) sebagai ibu yang berkabung (Mater Dolorosa) menyaksikan penderitaan anaknya. Itulah mengapa dalam prosesi Tuan Ana ditempatkan di depan sementara Tuan Ma di belakang mengiringi.
Prosesi ini berakhir sekitar pukul 03.00 pagi. Tapi tentu saja saya tidak mengikuti sampai akhir. Balung tuo. Sudah merasa puas menyaksikan bagaimana kekhidmatan umat Katolik mengisi minggu paskah mereka. Saya percaya bahwa warisan terbesar yang bisa diwariskan kepada anak cucu kita bukanlah uang atau harta benda melainkan karakter dan keyakinan. Dengan Semana Santa, Larantuka akan tetap sebagai Reinha Rosaria tau Kota Maria atau mini Vatikan bagi penganut Katolik senusantara.