Turuk Langgai adalah tarian yang berasal dari Suku Mentawai yang mendiami wiayah Sumatera Barat. Tarian di atas uma ini dilakukan Para Sikerei (shaman-dukun) Mentawai dengan meniru gerakan-gerakan hewan yang hidup di sekitar mereka.
Kepercayaan Sabulungan yang dianut membuat suku Mentawai sangat dekat dengan alam. Maka saat menaripun mereka meniru tingkah laku hewan-hewan yang hidup di sekitar mereka. Tarian Turuk Langgai menyimpan nilai-nilai luhur yang penting dalam kehidupan suku Mentawai. Misalnya tentang perdamaian antar suku, cinta kasih, persaudaraan, humor, dan sebagainya. Ritual Memulai Turuk Laggai – Uma Rumah Mentawai
Uma Rumah Suku Mentawai
Uma milik Aman Lepon di dusun Hulu Butui, Madobag, Siberut Selatan, berdiri tak jauh dari sungai. Sore itu seluruh penghuni berkumpul di ruang depan. Istri, adik, tante, ipar, anak-anak, kemenakan dan kerabat lain berciloteh dalam dialek setempat yang tak saya mengerti.
Anak lelaki dan perempuan bermain balon yang dijadikan bola. Sesekali tawa mereka pecah. Bunga kembang sepatu merah yang disampirkan di rambut anak-anak perempuan ikut bergetar. Yang lebih kecil bergayut erat kepada ibu masing-masing, satu orang merengek sepanjang waktu. Tambahan hentakan telapak kaki pada papan Uma yang tersusun tak rata, gebuk-gedebuk membuat sore itu sungguh riuh!
- Baca juga : Aman Gotdai Sikerei Muda Mentawai
Uma atau rumah komunitas milik Aman Lepon beruang tiga. Disebut Telu Ngarua. Ruang depan, tempat bangku-baku kayu dibuat bersender pada dinding disebut, Parurukan atau Pulaibebekon. Ini lah ruang sosial, tempat pesta-pesta atau berbagai ritual dan upacara dari Suku Mentawai berlangsung.
Ruang tengah disebut Tengan Uma, ruang tidur lelaki dan tengkorak-tengkorak hasil buruan di simpan. Yang paling belakang adalah Bacako, dapur, selain untuk memasak, tempat tidur perempuan dan anak-anak.
Tak ada sekat dalam Uma. Barang-barang di simpan di atas loteng. Orang-orang bebas keluar masuk, melintas dari depan ke belakang. Tak ada privacy. Tak ada yang tersembunyi. Bahkan pintu lebar mirip pintu garasi hanya ditutup sesekali, jika seluruh klan meninggalkan rumah. Dan itu jarang terjadi.
Baca juga:
Kehangatan Sebuah Keluarga Besar
Nah di Parurukan sore itu, selain rombongan kami yang terdiri dari enam orang, juga berkumpul tujuh orang Sikerei. Aman Lepon dan adiknya Aman Gotdai yang disebut-sebut sebagai Sikerei termudai di Mentawai.
Ditasbihkan dengan meriah pada 2014 lalu. Ada Aman LauLau, sang ayah, Aman Tonem sang mertua. Tak ketinggalan Aman Poli yang datang dari Ugai Bersama Aman Tonem. Aman Lai, suami dari adik perempuannya (ipar). Satu Sikerei lagi yang kebetulan datang untuk meminjam golok (lading).
Layaknya keluarga besar bertemu, mereka mengobrol sambil sesekali tertawa terkekeh-kekeh. Asap rokok bergulung-gulung di udara.
Baca juga Sikerei Aman Poli Dalam Kenangan
Ohya rokok Sikerei tergolong unik. Terbuat dari cacahan tembakau yang digulung daun pisang muda yang sudah dikeringkan. Orang dewasa penghuni Uma rata-rata perokok berat. Sebab tembakau bagi mereka juga dianggap sebagai obat.
Duduk di lantai, Karo, adik lelaki Aman Lepon sibuk membetulkan gendang. Iya tarian tradisional Turuk Langgai akan diiringi gendang yang disebut Kateuba, atau gajeuma.
Ini lah alat musik pukul khas Mentawai. Berbentuk gendang berkepala tunggal dan terbuat dari batang aren yang dilubangi di tengah. Satu lubang dipasangi kulit ular pyton dan diikat dengan rotan di sisinya.
Karo sibuk menjahitkan rotan terhadap kulit ular yang bersisik dan bercorak. Sekalipun itu benda mati, tetap membuat saya bergidik. Selain kulit ular, gendang Mentawai juga Kateuba juga biasa menggunakan kulit biawak.
Ritual Sebelum Melakukan Turuk Langgai
Yah hari ini terasa lebih ramai karena nanti malam para Kerei itu akan melakukan Tarian Mistis Sikerei Mentawai. Melibatkan ritual pemanggilan roh. Namanya Turuk Langgai. Turuk artinya tarian semantara Langgai binatang. Bisa ditebak bahwa ini tentang alam dan hewan-hewan yang hidup secara endemik di Kabupaten Mentawai. Tentang Bilou, siamang kecil berbulu hitam, tentang Manyang, burung bangau atau elang yang hidup di hutan-hutan di tepi pantai.
Baca juga : Upacara Adat Dayak Sa’ban
Anak-anak masih berisik. Dusun Butui seakan tersiram tinta hitam pekat. Cahaya samar dari dari bohlam yang berasal solar cell berpijar sekedarnya. Cukup menerangi ruang sosial Uma Aman Lepon. Selebihnya, melangkah ke tangga, kepekatan menghadang, seolah kita bertemu tembok hitam kelam. Kecuali ketika mata memandang ke atas, ke arah kerlip bintang di bola langit.
Mungkin ini lah yang disebut kepuasan hakiki, saya lama terdiam di tangga, memandangi serakan berlian maha luas ditemani aroma hutan yang dibawa angin. Imajinasi berlari kencang ke masa kanak-kanak, bermain di taman bintang para bidadari.
Sacara harfiah saya sedang berada di dalam hutan hujan. Dan hutan hujan di malam hari bukan lah tempat yang sunyi. Suara-suara hewan malam itu begitu dramatis dan berisik. Beraneka rupa suara. Berusaha mengenali suara tongggerek, tapi perhatian saya selalu teralihkan kepada hewan nocturne yang tak saya kenali.
Baca juga : Air Terjun Saluopa Poso Seperti Rok Penari Flamenco
Properti Turuk Laggai
Asap rokok terus mengepul dari bibir Sikerei dan lelaki dewasa.
Di tengah Parurukan, Aman Gotdai menyiapkan properti untuk Turuk Laggai. Daun-daun yang dipetik dari hutan.
Dedadunan dan bunga sangat penting dalam Arat Sabulungan, kepercayaan nenek moyang yang masih bertahan hingga kini sekalipun agama samawi sudah lama masuk ke Mentawai. Arat berarti adat, Sa berarti seikat dan bulungan berarti daun.
Arat Sabulungan sebab pada tiap acara ritual selalu menggunakan dedaunan. Dilekatkan pada tubuh, disampirkan dirambut. Mereka dipercaya dapat menghubungkan manusia dengan Sang Maha Kuasa atau disebut sebagai Ulau Manua (Tuhan).
Properti lainnya, selain pakaian adat Sikerei adalah semacam cawat segi empat yang diletakan di depan tubuh.
Pada dasarnya sabulungan mengajarkan keseimbangan antara alam dan manusia. Di dalamnya ada kepercayaan bahwa semua benda mempunyai roh. Maka manusia harus memperlakukan alam, tumbuh-tumbuhan, air, dan binatang seperti diri mereka sendiri, menghormati.
Tata Ritual Sebelum Tarian Sikerei Mentawai
Enam orang Sikerei mulai berjalan ke ruang tengah. Mereka duduk setengah melingkar. Di atas para-para tengkorak hasil buruan memantulkan cahaya hitam dari bekas lubang-lubang mata mereka.
Aman Gotdai mengeluarkan talam pipih dari kayu dan mulai membagikan biji-biji di atas kepada rekannya. Biji-biji dibuka persis seperti ibu-ibu mengintip kertas kocokan arisan. Setelahnya Gotdai membacakan mantra-mantra.
Biji-biji dibawa Kerei keluar. Disentuhkan ke atas para-para dimana tengkorak hasil buruan tergantung. Kemudian diletakan di pelataran, dekat tangga rumah. Aroma magis meningkat. Mungkin karena ramai. Anak-anak masih berkeliaran. Perasaan takut tak terbetik sedikitpun dari hati saya.
Tiba saatnya Sikerei melantunkan nyanyian pujian yang disebut urai. Aman Gotdai sebelumnya sudah menceritakan bahwa Urai punya banyak jenis lagu. Ada nyanyian ritual seperti Urai Simaggere (nyanyian jiwa), UraiUkkui (nyanyian leluhur). Ada pula nyanyian non ritual seperti UraiGoatbaga (nyanyian sedih) serta UraiPaoiba (nyanyian cinta). Karena turuk yang akan diperagakan bukan lah untuk pengobatan, kemungkinan yang dinyanyikan malam itu adalah nyanyian jiwa dan Urai Paoiba.
Mati Ayam Sebelum Upacara Memanggil Roh
Gotdai membawa keranjang rotan dari dapur. Tiga ekor ayam dikeluarkan. Selain Aman Gotdai, Aman LauLau, seekor ayam lagi diberikan kepada Aman Polit. Dengan menjepit kakinya ayam-ayam tersebut dibacakan mantra-mantra lalu saling disentuhkan. Setelah itu ayam-ayam dipatahkan lehernya dan dibawa ke dapur oleh Karo.
Urai kembali melantun. Sayu, pelan-pelan, dalam lalu menghilang dalam derap suara malam. Ini lah undangan dan bujukan bagi roh-roh nenek moyang. Datang lah ke rumah. Izinkan kami melakukan tarian sakral. Mohon seirisi rumah dilindungi. Jika pergi berburu besok tidak ada yang terluka. Tamu-tamu yang hadir semoga selalu sehat. Demikian kira-kira bunyi makna syairnya.
Jawaban roh dilihat Aman Laulau pada tiga lembar usus ayam yang dikorbankan. Jika terlihat bercak hitam, tidak ada tanda-tanda merah, berarti okey. Begitu pun saat dibentangkan usus lurus dan bulat segar. Itu semua pesan dari roh bahwa mereka merestui. Seluruh isi rumah akan akan baik-baik saja. Tidak ada yang akan sakit.
Singkatnya acara tersebut direstui. Jadi tari-tarian memanggil roh nenek moyang suku Mentawai ini boleh diteruskan.
Jika tak sesuai, acara tidak akan diteruskan. Resikonya kedatangan roh jahat berikut semua bencana yang akan dibawanya seperti penyakit dan bahkan kematian.
Menari bagi Sikerei dari Suku Mentawai dimulai dengan menghias diri. Memasang ikat kepala bermanik-manik yang disebut luat.
Menyelipkan tumbuhan dan bunga-bunga dan memasang selembar kain di depan cawat yang digunakan sehari-hari.
Gerakan Tarian Turuk Langgai yang Magis Tapi Ada Juga Yang Lucu
Sebetulnya ritual tarian Sikerei pemanggilan roh ini ditujukan untuk pengobatan. Namun mereka tidak keberatan mempertunjukan sebagian bagi mereka yang ingin mengenal budaya Mentawai. Seperti malam itu. Khusus diperagakan untuk kami yang selama tiga hari tinggal dalam Uma Aman Lepon.
Kami bersemangat mengikuti segala aktivitas dan banyak bertanya. Keramah-tamahan mereka menjawab semuanya meluluhkan hati.
Sebutkan Berbagai Gerakan yang Terdapat Dalam Tarian Turuk langgai!
Gerakan Tari Turuk Langgai diiringi dengan alat musik pukul bernama Tuddukat. Tuddukat berfungsi sebagai penyampai pesan dalam tarian ini. Setiap kali Tuddukat dipukul, para penari Sikerei akan menjijitkan kakinya, menengadahkan kepala ke atas, dan membungkukkan badan mereka. Gerakan ini mencerminkan rasa syukur dan penghormatan kepada alam dan leluhur.
Turuk Langgai yang dibawakan Amat Gotdai dan teman-teman dimulai oleh Tarian Bilou. Mengambarkan kehidupan siamang kecil berwarna hitam endemik hutan Siberut dan pulau-pulau disekitarnya. Ketika tuddukat ditabuh, Sikerei menghentakan kaki secara ritmis ke atas lantai. Aman Lalau menyanyi, melangkah satu-satu, sambal menirukan gerakan-gerakan hewan buruan mereka. Pada ujung jarinya terjepit sehelai daun. Teman-temannya mengikuti.
Jadi terdapat beberapa gerakan dalam tarian Turuk Langgai. Karena ceritaknya adalah mengikuti hewan, ada gerakan membungkukkan badan sambil berjingkat-jingkat, menengadahkan kepala ke atas sambil mengepakkan daun telinga, mengembangkan tangan seperti sayap, menggoyangkan pinggul seperti kera, menghentakkan kaki ke lantai, dan berputar-putar berkeliling seperti burung. Terkadang saling mengejar atau berbaris dan berjajar berhadapan.
Tak hanya itu, para kerei yang menari dengan memegang dedaunan yang sudah dirangkai, seiring dengan irama musik, dedaunan itu bergoyang dengan anggun. Gerakan ini melambangkan keharmonisan antara manusia dan lingkungan alamnya.
Seiring keringat para Kerei yang bercucuran, ritmik hentakan kaki semakin dinamis. Seluruh gerakan ini membangkitkan semangat dan kebersamaan di antara para penari, dan kami sebagai penonton ikut bersemangat.
Saya pikir hentakan kaki ini masuk ke dalam komposisi musik tarian. Mereka melakukannya secara serentak atau terkadang bergantian. Ketika sikerei mulai berputar dan bibir-biri mereka mulai menyunggingkan senyum, bersuara dengan melengking, saya seolah melihat hewan-hewan lucu sedang bercanda di atas pohon.
Memang, selain Tuddukat, Tari Turuk Langgai juga diiringi dengan suara nyanyian yang melengking, yang disebut Urai. Suara Urai keluar dari mulut para Sikerei, memberikan sentuhan emosi dan keindahan tersendiri pada tarian ini. Melalui Urai, cerita dan makna mendalam dari Tari Turuk Langgai disampaikan dengan indah.
Tarian Manyang Dalam Turuk Langgai
Yang lebih seru lagi tarian memanggil roh bagian kedua, menceritakan Manyang, burung elang yang hidup di tepi-tepi laut Kepulauan Mentawai. Mereka saling menggoda dengan saling mencolek atau membuat geli tubuh teman-temannya. Manyang biasa dilakukan dalam pesta menaiki Uma baru atau pesta perkawinan.
Nah yang terakhir adalah Turuk tentang burung-burung kecil. Saya memandang ke atas dinding Uma Aman Lepon, ke arah lukisan burung berwarna biru, hijau dan merah. Saat melintasi Sungai Sarereiket menuju tempat ini saya beruntung menyaksikan seekor terbang melintas di atas sungai.
Di rumah Aman Gotdai ada ada yang hidup dalam sangkar. Lalu pertanyaan pun muncul dari dalam jiwa saya: Sampai kapan semua ini bisa mereka pertahankan?
Baca juga : Video Menari Dari 4 Negara Asia, Dan Cerita Menarik di Belakangnya
Malam semakin larut. Tiga tarian Turuk Langgai yang dibawakan Sikerei Mentawai berakhir sudah. Para Aman bersimbah peluh. Seperti kami yang merasa beruntung telah punya kesempatan menyaksikannya, para Kerei tersenyum puas.
Tapi saya tahu bahwa senyum mereka tak berakhir di sana. Setelah ritual turuk ini para Kerei, pemimpin spiritual Suku Mentawai akan melalui berbagai pantangan atau tabu-tabu. Salah satunya tak boleh berhubungan suami-istri dengan istri-istri mereka. Kalau dilanggar kematian dan penyakit lah yang akan menimpa