Sikerei Muda Pewaris Shamanisme Mentawai – “ Saya ingin menjaga keluarga. Mengobati dan merawat kalau mereka sakit. Kalau bukan saya siapa lagi?” Ujar Aman Gotdai dengan Bahasa Indonesia yang patah-patah saat ditanya mengapa ia ingin jadi Sikerei.
Rasa ingin tahu saya timbul setelah menyadari sebagain besar generasi muda Mentawai enggan menjalani profesi purba ini. Yang sudah mengecap pendidikan formal sudah tak mauk dirajah tubuhnya dengan pola-pola tato tertua di dunia. Alih-alih mereka membelotkan cita-cita jadi guru, pegawai pemerintah, atau pun mengisi lowongan kerja yang disediakan perusahaan swasta.
Pokoknya generasi muda Mentawai ingin seperti masyarakat umum di Indonesia, tidak lagi menggunakan cawat dan ikat kepala sebagai seperti Aman Gotdai.
Baca tentang : Turuk Laggai : Tarian Mistis Sikerei
Aman Godai Sikerei Muda Pewaris Shamanisme Mentawai
Siang itu kami sedang menikmati kopi dan teh hangat di beranda depan Uma (rumah besar Mentawai) milik Aman Telepon, kakak kandung Gotdai, juga seorang Sikerei.
Di luar hujan mengguyur deras, jadi tak ada aktivitas selain “ngobrol”. Kesempatan yang membuka tanya tentang banyak hal. Kerei muda murah senyum ini seperti perpustakaan hidup bagi saya yang tertarik mengetahui budaya Mentawai lebih dalam. Kesukaannya bercanda menjembatani halangan berbahasa kami. Kalau di bawa ke ranah sosial media mungkin ia akan dapat julukan “ Sikerei jaman now”.
Video tentang membuat racun panah
Tempat Tinggal Aman Godai – Sikerei Muda Pewaris Shamanisme Mentawai
Saat ini Gotdai berusia kurang lebih 26 tahun. Tinggal di Dusun Buttui Siberut Selatan. Sehari-hari ia tak tinggal dalam Uma. Bersama istri dan 4 anaknya mendiami sebuah rumah pangggung kecil di seberang Muara Sungai Buttui.
Sebagai Sikerei tugasnya mengobati penyakit dengan membaca mantra-mantra, menari, dan meramu obat dari akar dan dedaunan. Ia meramal dan berkomunikasi dengan roh-roh nenek moyang.
Selebihnya pergi berburu, mengumpulkan obat, dan mengolah sagu. Ia pun mempraktekkan animisme, menorah dirinya dengan tato, mengasah gigi, dan menutupi tubuh dengan cawat, memakai bunga sepatu untuk acara-acara tertentu.
Baca tentang: Makam Sunan Gunung Jati Cirebon Jawa Barat Sikerei Aman Poli Dalam Kenangan Video Cara Meracik Racun Panah Mentawai
Saat ini Aman LauLau sedang membangun Uma baru. Tugas Gotdai lah mengawal agar pembangunan berjalan sesuai rencana.
Tidak Ada Paksaan Jadi Sikerei
“ Apakah bapak meminta agar kamu jadi Sikerei?” Tanya saya selanjutnya.
Mata Sikerei muda itu menerawang melewati puluhan tengkorak hewan bergelantungan di atas para-para lalu mendarat di halaman berumput. Di ujung halaman, dua pohon kelapa menggantung kabut, memberi tahu bahwa saya sedang berada di kawasan hutan hujan yang masih lebat. Lalu membayangkan, seperti kabut itu lah situasi kehidupan Uma di tengah pembangunan Indonesia masa kini, ringkih, berubah pelan seiiring waktu.
Gotdai menghisap rokoknya dalam-dalam. Menghembuskan. Kembali tertawa memperlihatkan giginya yang runcing karena diasah.
“ Tidak ada paksaan untuk menjadi Sikerei. Bapak pun tidak pernah memaksa. Saya bermimpi dan bertemu nenek moyang, menyuruh untuk meneruskan tradisi ini”
Sikerei Dengan Tabu-Tabunya
Saya terus bertanya. Gotdai terus menjawab semampunya. Halangan kami soal bahasa. Karena ia tak pernah sekolah di intitusi resmi. Bahasa Indonesia ia pelajari dari kontak-kontak seperti ini. Kampungnya sering didatangi peneliti manca negara, pemerintah daerah, fotografer dan wisatawan seperti kami. Dari mereka lah ia terus mengasah Bahasa Indonesia.
Bahwa untuk menjadi seorang Sikerei bukan lah perkara mudah. Tidak sembarang orang dihubungi nenek moyang lewat mimpi. Atau trance, saat tubuh seseorang dimasuki roh dan diperintahkan agar ia ditasbihkan jadi Sikerei.
Pertanyaan saya selanjutnya, mengapa? Bukan kah Sikerei mendapat semcam privilege dari masyarakatnya? Lebih dihormati ketimbang anggota masyarakat biasa?
Puasa Melakukan Hubungan Badan
Ternyata privilege tak cukup menarik dibanding tabu-tabu atau pantangan yang harus ditaati seorang Sikerei. Contohnya selesai melakukan Turuk Paggai (tarian pengobatan), meramu obat, salah satu pantangannya adalah tidak boleh berhubungan badan (sex) dengan istrinya selama tujuh hari. Yang belum menikah tidak boleh menggoda perempuan atau gadis-gadis. Dan itu berlaku secara deret hitung. Bila dalam satu minggu kamu mengobati 7 pasien, 7X7 hari adalah jumlah hari kamu berpuasa berhubungan badan.
Begitu pun dalam makanan, mereka tidak boleh mengkonsumsi belut dan monyet bermuka putih.
Bagaimana seandainya melanggar?
“ Mati!” Jawab Gotdai mantap.
Pelanggaran tabu yang ditebus kematian bukan ancaman kosong. Gotdai menceritakan beberapa orang yang sekarang sudah menemui ajal karena melanggar tabu.
Video Lagu Sikerei
Mentoring dalam Institusi Perkerean
Aman Gotdai belajar mantra, mengobati, dan meramu dedaunan dari kakaknya, Aman Lepon. Pelajaran sering berlangsung di dalam hutan. Aman Lepon dimentor Aman Laulau, ayah mereka. Aman Laulau berguru pada kerei yang lebih senior.
Begitu lah institusi perkerean ditransmisikan berjenjang melalui mentoring. Gotdai yang saat ini berusia 26 tahun sudah mulai belajar sejak usia 18 tahun. Di bawah bimbingan sang kakak ia mengadobsi pola perilaku yang dituntut dari Sikerei.
Dan tentu saja sang calon juga harus berkorban secara ekonomi. Untungnya ia belajar pada Sang Kakak. Kalau mentornya orang lain ia akan membayar dengan ternak babi, pohon duren, sagu, atau benda-benda kebutuhan sehari-hari seperti parang dan tombak. Untuk di tato pun juga membayar.
Aman LauLau yang Mencetak 2 Sikerei
Saya pikir di sanalah letak keunggulan Aman Laulau, Sikerei tua yang juga tinggal di Muara Buttui. Dalam masyarakat Mentawai yang sedang berubah, cara-cara hidup tradisional sudah bergeser. Dari belajar kepada alam dan percaya bahwa setiap benda dan makhluk mempunyai roh.
Sekarang anak-anak mereka pergi ke sekolah yang didirikan pastor katolik dan pemerintah. Mereka belajar tentang Tuhan, satu-satunya penguasa semesta.
Di persimpangan itu Aman LaoLao sukses menjadikan dua putranya sebagai penerus tradisi ,mencetak Sikerei Muda Pewaris Shamanisme Mentawai . Orang menyebut mereka shaman, dukun, dan penyembuh. Namun mereka sendiri lebih suka melihat diri sebagai penyeimbang antara alam gaib dan alam fana.
Aman LaoLao, Aman Lepon, Aman Gotdai hidup di linkup tonggak tonggak uma-uma yang mulai runtuh dan tak digantikan.
Gelombang perubahan sedang menghantam dinding peradaban tradisi shamanisme Mentawai. Bagaimanapun kerasnya mereka bertahan suatu saat tradisi Sikerei mungkin tinggal kenangan. Diceritakan kakek kepada cucunya dan tulisan-tulisan di buku dan media online. Karena setiap budaya bukan lah benda statis. Ia ditransmisikan melalui symbol, maknanya selalu bergeser secara konstan mengikuti logika zaman.
Melanjutkan Hidup Dalam Arus Perubahan
Kamu mungkin pernah mendengar keluh-kesah kaum tua tentang betapa indah hidup di zaman muda mereka. Mereka mengeluhkan bahwa zaman anak cucu mereka demikian berubah, hal-hal yang dulu indah sekarang hilang sama sekali. Entah itu etika atau cara-cara hidup lainnya.
Nah jika kamu pernah mendengar atau membaca tentang itu, dengarkan saja. Endap kan saja dalam hati bahwa Sang Orang tua kurang tahu apa yang mereka bicarakan.
Budaya tidak pernah benar-benar statis, teman-teman. Sementara ia mengeluh mungkin ia kurang menyadari ia sendiri juga sudah berubah. Sekarang mungkin ia tak bisa hidup tanpa ponsel sebab alat tersebut mendekatkan dirinya beserta anak cucu yang sudah bertebaran di mana-mana.
Mahar Perempuan Mentawai yang Aduhai
Video Aman Godai Sedang Menyanyikan lagu Sikerei
Hujan mulai reda. Titik air yang dari atap daun sagu tinggal satu-satu. Hamburan tanah bercampur aroma bunga-bunga asing terasa mendamaikan. Di samping Uma itik dan ayam mulai mengais-ngais cacing dari dalam tanah.
Beranda depan Uma Aman Lepon tetap ramai. Anak-anak dan anjing yang berkelahi berseliweran. Anak-anak bercanda dan anjing saling menyalak. Tak lama aman lepon membawa daun sarang semut merah yang disodorkan kepada anjing tersebut. Rupanya mereka punya pengalaman jelek dengan semut-semut tersebut, buktinya anjing-anjing tersebut langsung lari ke belakang.
Cerita kami beralih dari praktek pengobatan kepada tradisi membeli perempuan untuk dijadikan istri.
Dari Sikerei Muda Pewaris Shamanisme Mentawai ini, sekarang kami tahu bahwa lelaki Mentawai berkorban banyak untuk mendapatkan istri.
Sebagai mas kawin keluarga Gotdai harus menyediakan kurang lebih 12 ekor babi, 10 kuali, 4 batang pohon duren, 12 batang pohon sagu.
Harga babi 1 juta rupiah perekor. Kuali tak kurang dari 500 ribu. Sementara 2 tandan pisang seharga 10.000, sekilo sagu Rp.1.000, setekong (kaleng susu) Rp. 5.000, engkau bayangkan sendiri lah, berapa banyak yang harus dikeluarkan pihak lelaki dalam meminang istrinya.
Dalam hal mahar ini kami sempat mentertawakan Aman Gotdai. Ia mempunya 4 orang anak dan tak satupun perempuan. “ Kamu pasti bangkrut nanti” Kata Ratna, teman dalam perjalanan ini, yang kami sambut serentak dengan tertawa terbahak-bahak.
Aman Telepon lebih beruntung. Mempunyai 5 anak, 2 diantaranya perempuan.
Sore mendekati malam. Udara yang dibawa hutan hujan ke atas uma menyegarkan paru-paru. Obrolan terus berlanjut. Asap rokok bergulung-gulung lalu hilang ke atas dan ke samping. Kehangatan sebuah keluarga begitu kental.
Surga Kecil di Tengah Hutan Hujan Semakin Pudar – Sikerei Muda Pewaris Shamanisme Mentawai
Saya menikmati surga kecil di tengah hutan itu diam-diam dengan disergap rasa kuatir. Ratna asik memperlihatkan video-video dalam ponselnya kepada anak-anak. Mungkin kelak cucu saya tidak akan merasakan suasana seperti ini.
Mentawai sedang tergempur, waktu akan merubah banyak sendi di dalam uma ini. Mungkin karena pengaruh luar, melalui proses difusi budaya. Salah satunya kontak mereka dengan turis seperti kami.