Tiap pertama kali tiba di suatu tempat saya menyiapkan diri. Telinga, mata, hidung dan rasa harus welcome untuk hal-hal baru. Keheranan yang wajar ketika mendengar Ikan Mandi Abu pertama kali disebut Rumah Makan Jakarta – Maumere. Setelah disentuh keheranan sebelumnya bahwa di Ibu kota Kabupaten Sikka ini, kebanyakan rumah makan berasal dari berbagai pelosok nusantara. Setidaknya mengisyaratkan demikian dengan nama-nama kota di Indonesia seperti Jawa, Madura dan Bunaken, Soto Kudus dan Manado. Tak ada yang khusus membawa nama Maumere atau Sikka atau Nusa Tenggara timur.
Karena ini adalah kunjungan pertama di Kabupaten Sikka, kepala saya sibuk menyesuaikan keadaan untuk berbagai informasi baru. Kebetulan saat makan malam resto tersebut membolehkan saya masuk ke dapur mereka. Sebuah kesempatan manis mengasah sense of place, melihat-lihat hidangan pesanan kami dimasak.
Mandi Abu di Atas Tungku
Di atas tungku ada kuali yang sedang bergejolak. Potongan ikan besar di dalam kuah bersemu kuning bergerak-bergerak dipermainkan gelembung panas. Pada sang juru masak saya menunjuk: “ Kakak, apakah Mandi Abu olahan ikan seperti ini?”
“Bukan, Mbak. Mandi Abu nama ikannya sedang masakannya disebut Kuah Asam”. Ia tersenyum penuh pemahaman. Tangannya terus menyibak kuah panas dengan sutil besar. Asap mengepul dan ketika pecah di udara mengeluarkan aroma sedap. Saya membuat huruf O besar di mulut dan tertawa.
Guna menutup kekurangan informasi, sambil menunggu makanan terhidang saya browsing internet.
Begitu Om Google menghamparkan 10 halaman pertama, seketika langsung mentertawakan diri sendiri. Ikan bersisik kasar dengan warna dominan abu-abu, agak bergradasi, bertotol kuning dekat kepala itu ternyata sering saya lihat di pasar. Mirip ikan kakap. Nama latinya plectorchinchus lavomaculatus. Dan nama Mandi Abu pun secara luas digunakan termasuk di Sabah Malaysia. “ Ya ampuun kemana saja gue selama ini?” Batin saya menjerit.
Demikian lah perkenalan saya dengan si Mandi Abu yang pernah juga terlihat saat snorkelling di Pulau Menjangan dan Taman Nasional Ujung Kulon.
Teluk Maumere berlimpah ikan. Tak heran bila selama kunjungan di negeri indah (flores) ini banyak dapat suguhan menu berprotein tinggi namun bebas kolesterol ini. Tak hanya di Maumere, secara umum serakan pulau-pulau Indonesia adalah sumber ikan berlimpah. Sebagai penggemar ikan, bagian penduduk dari negara dengan 18.306 pulau, menghasilkan 6 juta ton lebih ikan tangkap pertahun, fakta ini tentu membahagiakan.
Dan hidangan ikan kesukaan saya selama di Maumere adalah kuah asam. Sekalipun mandi abu juga enak digoreng begitu saja, dibuat asam pedas, asam manis, atau dibakar.
Maumere seperti kawan dekat, tahu benar apa yang disukai sahabatnya.
Mandi Abu di Pantai Koka
Perjumpaan kembali dengan si Mandi Abu dalam genangan Kuah Asam terjadi di Pantai Koka. Selain tempat singgah perahu nelayan setempat, Koka terkenal di kalangan “kaki gatal” sebagai destinasi wajib dikunjungi selama di Maumere. Untuk saya, dengan pasir putih lembut, air hijau tosca ( sering juga disebut surga tersembunyi), menikmati hasil laut langsung di tempat, punya nilai sendiri. Setidaknya ada sesuatu yang dapat diceritakan.
Jalan ke Pantai Koka
Dari kota Maumere ke Pantai Koka bisa ditempuh sekitar satu jam perjalanan dengan mobil kecepatan sedang. Jalan Raya Maumere-Larantuka sebagai akses utama tentu saja mulus. Saat mulai belok ke kiri, memasuki jalan yang lebih kecil, saya mulai terhentak-hentak dan terangguk-angguk di jok tengah. Dekat turunan, dikiri kanan kebuh cacao jalannya rusak parah. Aspal terkelupas seluruhnya oleh air hujan. Yang tinggal adalah batu-batu besar, bertonjolan menantang ban mobil. Bang Arbain yang wartawan senior Kompas dan Lisa kepala rombongan memutuskan turun. Sementara saya memilih tetap bergetar-getar di dalam mobil. Medannya tak bersahabat dan cuaca panas mengekerang pulak!
Mendarat di Pantai Koka, di sepanjang garis pantai, yang terlihat hanyalah biru tosca jernih berbingkai pasir putih. Seperti piring keramik menadah minuman bersoda. Terdapat dua pantai dan dua batu besar yang salah satunya disebut Virgin Stone sebagai pemisah dua pantai tersebut. Di bagian tempat berkumpul masyarakat local, dari sebuah warung, Lagu Joget Maumere berkumandang. Tumpukan kelapa muda membuat tenggorokan langsung menjerit minta dibasahi.
Pantai Koka yang Cantik
View indah langsung membangkitkan insting blogger. Memotret dan dipotret. Tapi sebelum jauh memanjakan narsisme, Lisa memberi tahu bahwa hidangan makan siang sudah menanti. Di atas pondokan menghadap laut, di sanalah Mandi Abu kuah asam dan bakar kembali menanti. Ditemani sayur rebus, sambel, dan bapak berwajah Flores yang tersenyum ramah melayani.
Saya menggondol sepotong besar ikan bakar plus semangkuk kuah asam, bergabung dengan teman-teman duduk di pondokan satunya lagi. Berbincang, tertawa mengudap makanan sehat ditemani aroma asin, air bening, langit biru bersih, dan angina sepoi-sepoi. Turis kulit putih berkecipak di air menikmati taman air tropisdi sudut Nusa Tengga Timur. Tak terlihat satupun turis domestik. Mungkin karena saat itu bukan hari libur.
Rindu dan Ketelurusan Makanan Kita
Semua keindahan itu mengetuk sesuatu di dalam hati, menimbulkan sensasi aneh di dada. Saya tak merasakan susahnya membersihkan, membakar, dan menghidangkan santapan siang ini. Olahan ikan itu tersedia begitu saja untuk dinikmati. Belum lagi Lisa terus mempersilahkan nambah jika masih ingin.
Memandang ke laut lepas, ke perahu nelayan, ke batas cakrawala, ke air biru gelap di kejauhan, tiba-tiba saya jadi melankolis. Kalau sudah begini berbagai kerinduan muncul, berloncatan dari kotak kenangan, membuat napas jadi pendek dan dada sesak.
Hidangan yang kita nikmati tak pernah datang dengan sederhana. Kita hidup dalam ekonomi pasar, dalam system pertukaran, terspesialisasi dan membentuk jalur berantai. Di setiap mata rantai ada peran yang perlu dimainkan. Untuk menikmati semangkuk kuah asam, seorang nelayan meninggalkan tempat tidurnya yang hangat di malam dan kembali subuh. Di tepian bos perahu atau tengkulak sudah menanti. Mereka akan membawa ikan tersebut ke tempat pelelangan untuk dibeli pedagang pasar. Pedagang melanjutkan distribusi ke pedagang pengecer lebih kecil untuk kemudian baru sampai di dapur kita. Pikirkan lah siapa yang bertugas di dapur membersihkan, memotong, memberi bumbu, dan memasak sebelum dihidangkan.
Ketelusuran Makanan
Teringat beberapa aktivitas di lembaga pertanian dan makanan organis yang pernah saya geluti dulu. Mereka selalu mengedukasi konsumen agar tahu asal-usul makanan mereka. Artinya makan dengan bijaksana itu selain tahu konten tak boleh lupa juga sumbernya.
Melonkolis, rindu dan sekarang memikirkan ketelusuran makanan. Saya menatap piring yang sudah kosong dengan tertawa. “ Hai kamu sedang piknik, tak usah berpikir macam-macam..”
Dari pada sibuk dengan pikiran sendiri, saya mendatangi lengkungan pantai satu lagi, di sebelah Barat. Tiga buah perahu kayu diteduhkan bawah pohon. Di sebelah kiri tiga orang lelaki sedang sibuk . Sepertinya sedang menyiapkan perahu untuk dibawa melaut nanti malam. Dari sana menjulur tali panjang yang dihela tiga orang anak. Di tengah panas garang dan peluh bercucuran mereka masih sempat tersenyum saat saya hampiri. Di laut yang ombak lembutnya sesekali menjilati pantai, lagi-lagi turis kulit putih, sedang asyik berendam menikmati matahari.
Yang berusia lebih muda dari para pengurus perahu itu terus menerus tersenyum saat saya minta izin memotret. Membuat saya merasa lebih di terima dan lebih mudah mengakrabinya. Bagi seorang introvert yang beginian penting. Lalu kami asyik berbasa-basi. Ia bertanya asal kedatangan juga keperluan saya datang ke Maumere.
Berkenalan dengan Albert
Belakangan si nelayan muda memperkenal diri sebagai Albert. Desanya tak jauh dari Pantai Koka. Belum menikah. Sudah mengikuti ayahnya menangkap ikan di laut sejak SMP.
Ingat lagi mengenai ketelusuran makanan. Albert dengan pengetahuan jenis-jenis ikan yang pernah ia tangkap, membuat saya mampu mendekati Kuah Asam Mandi Abu dan bakar dari sisi meja yang berbeda. Ia pernah menangkap ikan dengan nama-nama yang sudah saya kenal. Kakap, baronang, kembung, tongkol dan lainnya.
“Mengapa saya terlalu sering bertemu Mandi Abu? Apakah memang banyak di sini?”
Rupanya kedatangan saya di Maret lalu memang musim ikan ini.
Menurut Albert ikan dari Laut Maumere tidak selalu banyak. Tergantung musim. Kadang hasil tangkapan berlimpah dan kadang sepi. Ikan-ikan tersebut sebagian besar akan dibawa ke tempat pelelangan terlebih dahulu. Dari sana baru didistribukan. Dibawa keluar Maumere dengan pesawat dari Bandara Frans Seda dan melalui laut dari Pelabuhan Lorens Say. Ikan-ikan itu akan mendarati di Jakarta, Bali, Surabaya, Denpasar, Makassar. Bahkan di Maumere terdapat perusahaan pengalengan ikan dan sebagian lainnya di eksport ke Jepang.
Obrolan kian seru. Tapi saya tersentuh kesadaran bahwa itu mengganggu pekerjaannya. Lagi pula sudah agak lama meninggalkan teman-teman. Dengan mengucapkan terima kasih saya meninggalkan Albert melanjutkan melanjutkan pekerjaannya. Dengan ujung sepatu saya menulis di atas pasir: “ I was here..”
Catatan Lain dari Kabupaten Sikka Baca Belanja Tenun Ikat Sikka di Pasar Alok Baca Pasar Inpres Larantuka Baca Semana Santa Larantuka – Mengenang Kesedihan Seorang Ibu