Rainforest World Music Festival (RWMF) – Musik Dunia di Borneo Sarawak – Merupakan Festival Musik Hutan Hujan yang berangkat dari tradisi musik dunia. Diselenggarakan setiap tahun, selama tiga hari, inilah perayaan keberagaman musik dunia. Diselenggarakan di Kuching, Sarawak, Malaysiy.
Tak hanya menikmati keragaman musik kita pun diajak lokakarya, menyaksikan pertunjukan budaya, pameran kerajinan, dan tak lupa eksplorasi kuliner. Tersedia aneka kios makanan selain dari Malyasia, Indonesia juga belahan dunia lain.
Musik Adalah Bahasa Universal
Teman-teman sering kan bertemu orang asing, baik saat bersisian di elevator, ruang tunggu, antri di bioskop, tapi tak bicara satu sama lain? Kita tak ada urusan dengan mereka, merasa tak perlu terhubung dengan mereka, jadi mengapa harus berinteraksi. Ye kan? Malah sebisa mungkin mengindari kontak mata dengan pura-pura asik dengan HP?
Anehnya dalam sebuah konser musik, bersama orang asing itu kita dapat tertawa, bernyanyi, bertepuk tangan dan bahkan menari bersama. Kita tak bertanya asal, umur dan siapa mereka. Tapi saat itu kita merasa disatukan arus frekwensi indah dari sekitar. Sehebat itu ya musik mempengaruhi perilaku manusia?
Pertunjukan Slobodan Trkulja di Rainforest World Music Festival 2018
Interaksi semacam itu saya temukan sesaat Slobodan Trkulja menghibur di atas panggung. Lelaki yang menurut saya mirip Ahmad Albar selagi muda itu dikelilingi berbagai instrument musik. Semua bisa ia mainkan. Tentu saja karena Slobodan yang lahir 29 Mei 1977 di Serbia itu dikenal sebagai seorang multi-instrumentalis , komposer , dan penyanyi.
Di tengah keterkesimaan penonton atas keterampilan bermain musik dan suaranya yang indah, ia meminta penontonnya berdiri, bernyanyi, menari dan bertepuk tangan. Tak lama seluruh ruangan bergetar oleh gelak tawa, hentakan kaki, dan tepuk tangan mengikuti irama dari pemimpin Band @balkanopolis ini. Saya yang kikuk pun tak ketinggalan menggoyang-goyang kaki sambil memotret.
Stage Theater of Sarawak Cultural Village
Siang itu saya berada di Stage Theater of Sarawak Cultural Village – Kuching. Sebuah kawasan yang disebut sebagai museum hidup, show case kehidupan sosial masyarakat Sarawak – Malaysia. Sebuah destinasi wisata budaya yang dibangun di tengah hutan hujan Kalimantan (Borneo), hanya 40 menit dari Kuching. Di sini kita dapat melongok ke dalam sejarah, tradisi, gaya hidup dan arsitektur rumah Suku Dayak, Melayu dan China. Tujuh rumah tradisional tersebar di situs dengan luas sekitar 17 hektar, berwawasan lingkungan hijau dan sekaligus juga berfungsi sebagai media pendidikan. Terdapat beberapa teater untuk mempertunjukan berbagai produk budaya unik yang dilakoni masyarakat. Pokoknya di sini akan memberi kilas singkat mengenai Sarawak . Baik budayanya, gaya hidup, maupun arsitektur rumah-rumah yang mewakili 7 suku besar yang hidup di Sarawak.
Sarawak Cultural Village Tempat Sempurna Untuk Rainforest World Music Festival
Sepertinya itu lah alasan sempurna mengapa Rainforest World Music Festival selalu diadakan di tempat ini. Sering disingkat sebagai RWMF saja, selama tiga hari 12-15 Juli 2018 saya menikmati berbagai macam musik dari berbagai belahan dunia. Memang nafas dari #RWMF2018 seperti itu untuk merayakan keragaman musik dunia sekaligus memperkenalkan berbagai budaya asli di Sarawak . Tak kurang 27 pentas dengan puluhan musisi dan penari unjuk kebolehan secara bergilir. Musik, tarian dan lagu mengalun di SCW sejak pukul 10 pagi sampai 12 malam. Tak hanya telinga saya yang dimanjakan, kesempatan melihat latar belakang budaya asal musik berasal juga peluang mengasah rasa kebersamaan sesama penduduk dunia.
Musik Bumiputra Musik Dunia
Sampai sejauh ini Rainforest World Music Festival yang berlangsung di Kawasan Damai Beach – Kuching ini adalah yang terbaik di dunia. Tak sekedar klaim kerena mereka dapat pengakutan sebagai salah satu dari 25 Festival Internasional terbaik. Enam tahun berturut-turut, sejak 2010 hingga 2015, sungguh sebuah prestasi yang perlu dapat acungan jempol.
Festival ini menampilkan berbagai pertunjukan musik tradisional, fusi , dan kontemporer dunia. Didominasi instrumen akustik tradisional, meskipun instrumen pengiring listrik juga lumrah digunakan.
Dihadiri Para Musikus Dunia
Lantas apa yang kita harapkan dari artis-artis dari lima benua itu? Seperti dari Amerika, Fillipina, Republik Mordovia – Rusia, Cina, Kepulauan Comoro, Brazil, India, Isle of Skye, Chille, dan tentu tak ketinggalan negeri tetangga Indonesia?
Perayaan musik bumiputra dunia! Pengalaman indah dan dalam tentang musik!
Musik dan Tari Flamenco yang sexy
Dalam Bahasa Sansekerta musik disebut Sangita. Melambangkan tiga subjek yakni Menyanyi, memainkan alat dan menari. Saya mengerti maksudnya tapi tak dapat memahami lebih jauh. Ibarat belajar naik sepeda dengan teori, hanya tahu how to tapi tidak prakteknya. Hanya ketika Alberto Marin Co dari Spanyol, mengusung grup flamenconya ke atas panggung, baru lah saya dapat memasuki esensi Sangita, yang pernah disebut Hazrat Inayat Khan dalam bukunya Dimensi Mistik Musik dan Bunyi. Dengan gitar, tambur, seruling, irama, gerakan tubuh dan hentakan kaki, saya ikut terseret . Rasanya tersentuh roh Flamenco yang berasal dari tradisi yang sudah berumur ratusan tahun dari Semenanjung Iberia. Mereka memberi keselerasan dalam hati dan pikiran.
Tarian Flamenceo Berasal dari Tradisi Musik Gypsy?
Flamenco disebut-sebut lahir dari tradisi Orang Rom atau paling dikenal sebagai Gypsy, suatu kelompok masyarakat berbahasa Romani yang tinggal di Spanyol. Kaum Gypsy masuk kedalam pikiran saya lewat bacaan. Di hari pertama Rainforest World Music Festival, rasanya grup Alberto Marin menghidupkan orang-orang Gypsy itu di panggung. Flamenco adalah tentang ungkapan rasa, ekspresi emosi terdalam, semangat dan pemberontakan, para gypsi itu sedang mempraktekan seni flamenco dengan sangat indah.
Tapi tentu saja, terutama sekarang ini, Flamenco tidak melulu tentang Gypsi. Ini adalah sebuah perjalanan seni, perjalanan hidup para senimannya, pada saat yang sama perjalanan sejarah Flamenco itu sendiri. Flemenco juga dipelajari di Jepang dan di belahan dunia lain. Namun demikian akarnya tetap sebuah warisan besar dari Spanyol yang sanggup membawa saya ke satu penuh warna seperti di Andalusia.
RWMF Juga Tentang Tradisi dan Budaya
Pertunjukan di panggung utama berlangsung setiap malam. Namun setiap jam 10 pagi pesta sudah dimulai. Ada banyak workshop yang bisa dihadiri. Terbagi tiga hari yang tersebar di theater, Iban Long House dan Dewan Legenda. Baik lokakarya mengenai budaya ada juga tentang kesehatan.
Kamu sering mendengar di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, bukan? Selama acara berlangsung jiwa kita tak hanya sehat oleh musik tapi juga secara fisik. Pengunjung boleh mengikuti kelas Yoga, Pilatas, Capoera, bahkan tari perut. Disamping juga mengenal satu alat musi Dayak lebih intensif yakni sape.
Para artis juga membawa serta berbagai atribut yang jadi ciri khas musik mereka. Seperti Grace Nono dari Filipina yang membawa serta teman-temannya, mewakili budaya di tempat tinggalnya, juga berbusana sesuai identitas etnis yang hidup di sekitar Samudera Pasifik bagian barat itu.
Grace Nono, Pemusik dan Shaman
Salah satu contoh adalah Grace Nono, vokalis wanita terkenal dari Filipina. Seorang etnomusikolog yang telah melakukan penelitian mendalam tentang musik asli negerinya. Seorang shamanisme dan juga pekerja budaya. Telah belajar lagu-lagu tradisional lisan dari para penatua dari berbagai bagian kepulauan Filipina.
Jadi bisa dibayangkan pertunjukan seperti apa yang disuguhkan Nono dengan kombinasi keahlian seperti itu? Suaranya tinggi, panjang, mendayu-dayu. Dalam ruangan remang-remang, pentas dengan penataan cahaya yang cantik, sukar mengatakan lagu yang dibawakan tidak magis.
Judulnya pun sudah mengisyarakatkan: Ancestor Voices, suara-suara suci nenek moyang. Musik dan tarian dari yang mengikuti berasal dari komunitas Pribumi, Kristiani, dan Islam di Luzon.
Pameran dan Beli Crafts Etnik Borneo
Sebetulnya tiga hari tidak cukup untuk menikmati semua rancangan acara Rainforest World Music Festival 2018 ini. Terlalu banyak, terlalu beragam, dan semuanya menarik. Selain perfomer, ada parade, workshop interaktif, mengenai kesehatan dan gaya hidup, pagelaran Kisah Sampeh, Belajar Sape alat music Dayak, sesi untuk anak-anak, sampai culikan budaya dan pemutaran film.
Pokoknya padat banget. Bila tak effisien menggunakan waktu malah kita takan dapat apa-apa, karena sibuk mondari-mandir di kawasan Desa Budaya Sarawak yang luas dan asri itu.
Shopping Sovenir
Untungnya kami selalu membawa buku panduan yang diterbitkan panitia. Maka saya dan Multi (teman blogger dari Pontianak) menandai agenda yang ingin kami ikuti. Mulai dari pertunjukan, workshop dan permainan tradisional. Selebihnya berkelana memanjakan “rasa keperempuanan kami” yakni menikmati Rainforest World Crafts Bazzaar. Yeee..Mari kita belanja!
Banyak barang-barang etnic yang unik dan lucu pada #RWMF2018. Kain tenun, busana, dan perhiasan etnis dari negara ASEAN. Bahkan tak ketinggalan perawatan kecantikan yang berasal dari kearifan hutan hujan, di gelar di bawah rumah-rumah panggung Desa Budaya Sarawak.
“Kapan lagi menonton para pemusik dunia di satu tempat” Ujar Donny Prayudi melalui pesan WA beberapa hari sebelum keberangkatan ke Sarawak. Tapi ia lupa menambahkan kapan lagi dapat melihat dan belanja barang-barang etnis ASEAN dalam satu tempat?
Sarawak Ethnic Food
Makanan bagian penting dari budaya. Masakan tradisional diwariskan antar generasi lewat kebiasaan sehari-hari. Makanan ekspresi dan identitas budaya. Imigran membawa masakan dapur ibu mereka ke mana pun pergi. Memasak makanan seperti ibu memasak lalu menyajikan pada khalayak selain melestarikan juga membawa pengenalan ke publik lebih luas.
Jadi Rainforest World Music Festival juga adalah tentang makanan. Berbagai makanan dari belahan dunia hadir di tempat itu. Namun tentu saja makanan Asia lebih mendominasi.
Sarawak berbagi budaya dengan Borneo bagian Indonesia. Mereka satu pulau dan satu nenek moyang. Maka tak heran maka makananpun hampir mirip, beberapa pernah saya nikmati di Kalimantan.
Saya menemukan Umai Ikan, Midin, Gulai Paku, Gulai Nangka, Gulai Umbut Kelapa, Pucuk Ubi, dan Terubuk Masin. Bahkan Cafe Awah yang mengkhususkan diri pada masakan Dayak Bidayuh juga membuka tenda.
Dari rumah saya memang sudah bertekad akan mencoba satu demi satu masakan tradisional yang tersedia di sana. Itu lah mengapa saya tak pernah menggunakan kupon makan yang disediakan oleh Sarawak Tourism Board. Saya ingin mengenal Sarawak lebih dekat lewat kulinernya.
Lingkungan Hijau dan Bersih di Rainforest World Music Festival 2018
Terkait dengan masalah pariwisata di tanah air, satu lagi yang paling menarik bagi saya adalah strategi pengolahan sampah. Tak henti membicarakan dengan Multi. Setiap melangkah di platform dan berkeliling, kami lihat tak selembar sampah pun tercecer di kawasan festival.
Tidak salah jika Sarawak Tourism Board sebagai penyelenggara mendapat banyak pujian atas kesuksesan RWMF. Kerja mereka memang kelas dunia. Selain pertunjukan musik, Rainforest World Music Festival 2018 berusaha meningkatkan pengalaman para tamu dengan tema Inisiatif Kebangkitan Hijau.
Melibatkan Perusahaan Khusus Mengelola Sampah di Sarawak
Untuk keperluan tersebut Sarawak Tourism Board melibatkan perusahaan khusus mengelola sampah yang berlangsung sejak 2016. Inisiatif hijau dimasukan ke dalam berbagai aspek acara agar tercipta rantai yang selaras. Mulai dari produk ramah lingkungan dengan meminta semua penjual makanan dan minuman menggunakan tablewares biodegradable. Di setiap sudut kita akan menemukan tempat sampah, poster- poster kreatif yang membantu meningkatkan kesadaran pengunjung akan upaya daur ulang. Limbah dipilah-pilah antara plastik dan limbah makanan. Limbah organik nanti akan dibuat kompos.
Bukan itu saja di dekat tempat-tempat sampah itu berdiri beberapa relawan yang siap membantu pengunjung memasukan sampah mereka ke dalam tong sampah yang tepat. Bahkan spanduk-spanduk RWMF 2018 untuk pun nanti akan didaur ulang. Pokoknya acara seakbar RWMF 2018 ini diusahan zero waste!
Hebat kan?