Kenangan di Kota Kuching Sarawak – Kota-kota dimanapun berada adalah cermin karakter pengunjungnya. Kita dapat memandang mereka seperti manusia yang kadang suka membeda-bedakan.  Ada yang baru kenal tapi langsung jatuh cinta dan  menjalin persahabatan sampai bertahun-tahun kemudian. Banyak juga saling  tak menyukai bahkan membenci, membangun benteng permusuhan tak berkesudahan. Selain itu sebuah kota dapat mengangkat individu tertentu  menuju kemuliaan sementara yang lain dihancurkan karena  tidak sesuai dengan kepribadiannya. Suasana batin sang pejalan lah yang membuat apakah mereka merasa dicintai dan atau ditolak di sebuah kota.
Tanggal 12 Juli siang, sekali lagi, Â saya mendarat di Kuching International Airport – Sarawak, a city of horbill, dan sekali lagi melukis kenangan di Kota Kuching. Akhir September 2017 pernah singgah di sini dan belum satu tahun sudah kembali. Rasanya seperti seseorang membisikan the untold stories kepadamu.
Langit biru sedang menaungi Kota Kuching. Benar lah kata penyair bahwa langit biru itu hanya muncul kala awan kelabu menghilang. Matahari penuh cahaya itu seperti cinta seorang ibu  yang siap menerangi kemanapun kaki anak-anaknya melangkah. Cuaca baik selalu menimbulkan hangat di rongga dada, bukan? So sambil menggeret koper keluar dari bandara, hati bersenandung ala  Katon Bagaskara tentang Yogyakarta: Hai, aku kembali ke kotamu! Yah saya tahu Kuching menerima saya. Saya akan kembali melukis kenangan di kota Kuching. Sepanjang bisa membawa diri pintunya akan selalu terbuka untuk saya.
- Baca juga di sini :Â Â Kuching di Akhir SeptemberÂ
Sore di Kota Kuching
Kedatangan kedua ini masih berkait dengan Sarawak Tourism Board (STB), sebuah badan bertujuan memperkenalkan Sarawak secara nasional maupun internasional. Meningkatkan kunjungan wisata, menaikan kesadaran brand pariwisata Sarawak ke publik lewat media, tentang keberagaman wisata budaya, sejarah, alam, dan petualangan. Kedatangan saya kembali dalam rangka peliputan Rainforest World Music Festival 2018 yang telah diadakan ke-21 kali.
- Baca juga di sini :Â Â Rainforest World Music Festival 2018Â
Memerlukan waktu sekitar 25 menit dari bandara ke hotel  di Harbour View yang berdiri tepat di depan Kuching Waterfront.  Karena acaranya baru besok, untuk menghabiskan sore saya dan Multi akan menghabiskan sisa hari di tepi Sungai Sarawak. Tahun lalu kami meninggalkan banyak kenangan manis di sana. Apa lagi jembatan Darul Hana berdesain unik itu sudah dibuka. Dulu hanya bisa memotret dari bawah. Nah sekarang bisa menyaksikan matahari perlahan tenggelam dari deck-nya. Seru!
Sore di Kuching makin sempurna kala kami memutuskan ikut Sarawak Sunset River Cruise. Tak salah pilih memang. Melihat Kuching dari tengah sungai sensasinya beda. Sesaat matahari semakin kuning, melintas di bawah Darul Hana, menemukan sisa peninggalan  3 generasi keluarga  Brookes dari Inggris, membuat saya menemukan kebenaran bahwa sejarah tak pernah mengucapkan selamat tinggal.
Melukis Kenangan di Kota Kuching Lewat  Dua Novel Sejarah
Begitu lah. Berjalan di Kuching berarti masuk ke dalam gang-gang  kota dengan sejarah yang panjang. Selama bersentuhan dengan belahan Utara Borneo ini selama dua tahun terakhir,  saya sudah menamatkan dua novel tentang sejarah kota ini.
Yang pertama adalah Ghost Cave karya Elsie Sze. Bercerita tentang pemberontakan para penambang emas dari kaum Hakka Cina. Dipicu niat James Brooke yang mau mencaplok kekayaan alam di Mau San, ia mengeluarkan berbagai peraturan dengan pajak yang mencekik. Dibumbui kisah cinta Ah Min dengan Jinot gadis Bidayuh, tetap saja ini adalah novel gelap tentang gelapnya lorong sejarah yang pernah dilalui Sarawak. Bagaimana Mau San dibumi hanguskan, pembunuhan masal terhadap lelaki, perempuan, dan anak-anak oleh pasukan Brooke membuat saya semakin benci imperialisme.
- Baca Melongok Kekayaan  Taman Nasional BakoÂ
Novel kedua adalah Silvya, Queen of The Head Hunters,  oleh Philip Eade . Queen Sylvia ini terkenal sebagai Ranee. Yang paling menarik bagi saya adalah fakta bahwa Sylvia penulis sebelas buku, ibu  tiga putri, seorang sosialita berpakaian mewah, melakukan apapun yang ia anggap terbaik dalam memanipulasi istana demi garis suksesi putrinya.
Melukis kenangan di kota Kuching jadi sedikit melankoli. Saat melewati Astana, bekas istana keluarga Brookes, terlepas dari jejak mereka sebagai penguasa, sebagai sesama perempuan saya bersimpati pada Ranee. Bagaimana perjuangannya mempertahankan sisa-sisa kekuatan terakhir dalam kerajaan yang sekarat.
Ringkasan Novel Silvya, Queen of The Head Hunters
Ini cuplikan pembukaan novel Silvya, Queen of The Head Hunters, detik-detik terakhir keluarga Brooke meninggalkan Astana :
Pagi hari tanggal 24 September 1941, dua puluh satu meriam kerajaan melesat ke atas langit Kuching. Sesaat sebelum jam sembilan, sebelum gema terakhir meriam mati, Rajah Vyner dan Ranee Sylvia muncul dari Astana, istana kerajaan yang dibangun di seberang sungai. Dengan wajah serius mereka berjalan ke dermaga apung. Rajah, orang Inggris pemalu ini  telah memerintah kerajaan hutan hujan di Kalimantan selama dua puluh empat tahun. Ia mengenakan white duck uniform  dan solar topee yang tampak kikuk di tubuhnya. Ia melangkah di bawah payung kuning lambang kerajaan di Sarawak dan dipegang tinggi-tinggi oleh orang Melayu. Ranee  mengenakan sarung kuning (kuning simbol bangsawan –evi), mengikuti beberapa langkah di belakang. Selain menjadi permaisuri, menurut adat, ia juga seorang budak bagi sang suami.
Keluarga Rajah Vyner dari keluarga Brookes, yang mengklaim keturunan keluarga Broke kuno dari Inggris Barat, telah memerintah Sarawak selama tiga generasi. Wilayah kekuasaan mereka  hampir seluas Inggris Raya. Populer sebagai Rajah Putih, mereka satu-satunya keluarga Inggris yang pernah menduduki takhta Oriental.
Mereka memiliki bendera sendiri, mata uang sendiri, prangko dan angkatan bersenjata sendiri. Setiap raja berkuasa atas  hidup dan  mati atas rakyatnya yang terdiri atas suku Melayu, Cina, dan Dyak yang terkenal punya kebiasaan mengayau (headhunting). Rajah ketiga ini, yang dididik di Winchester dan di Magdalena,  Cambridge, adalah salah satu dari sedikit raja di dunia yang  bisa mengatakan ‘L’Etat c’est moi ‘ (negara adalah saya).
Sambil menikmati segelas air jeruk (sirup rasa jeruk tepatnya) kek lapis, dan Laksa Sarawak, saya juga membayangkan kehidupan masa lalu di dalam Astana. Pesta-pesta mewah bagi keluarga kerajaan. Para hulu balang, pelayan, dan prajurit dari suku-suku pribumi. Sebetulnya Astana awal sudah luluh lantak saat pemberontakan Orang Cina.  Dibangun kembali,  diperbaiki, ditinggalkan rajah putih dan digunakan sebagai kantor Pemerintahan Sarawak. Kisah-kisah indah, penuh derai tawa yang ditingkahi darah dan air mata pasti penuh sesak di dalamnya. Mereka yang pernah tinggal di bawah atapnya melukis kenangan kota Kuching lewat pengalaman masing-masing.
Cerita Mitos Gunung Santubong
Di hari ketiga, di sela-sela acara Rainforest World Music Festival yang berlokasi di Damai Beach, pagi-pagi kami dibawa STB city tour ke Kuching. Kalau teman-teman berada di Sarawak, Santubong dan Sejinjang adalah dua gunung yang bakal sering terlihat dan terdengar. Nah dalam perjalanan Damai-Kuching, tour guide kami tidak lupa menceritakan sejarah dua gunung. Tentu saja  lewat versi cerita mitos.
Tersebut lah dua putri kayangan yang cantik: Satunbong dan Sejinjang. Kedua putri dikirim ayah mereka ke bumi untuk menyelesaikan perang antar kampung di Bumi Sarawak. Puteri Santubong seorang penenun terampil, sedang Puteri Sejinjang, ahli menumbuk padi. Keduanya hidup rukun dan damai di dua desa yang bertetangga. Suatu hari datang lah seorang lelaki tampan ke desa itu, Pangeran Serapi. Ia begitu mengagumi keahlian dan kecantikan kedua putri anak raja kayangan ini. Tak pakai lama Santubong dan Sejinjang, seperti gadis-gadis manapun,  jatuh cinta padanya. Rupanya ini lah awal petaka. Sejak itu kedua saudara mulai berselisih, dilanda saling cemburu guna memperebutkan cinta Sang pemuda tampan. Pada puncaknya alu yang dipegang Sejinjang dilemparkan kepada Santubong sampai saudaranya terbunuh.
Sang ayah, Raja Kayangan tentu saja sangat murka mendapati kelakuan anak-anak yang keterlaluan ini. Lalu kedua putri dikutuk dengan tinggal di bumi selamanya. Yang satu jadi Gunung Santubong dan Satu lagi berserakan jadi pulau-pulau di sepanjang kaki Santubong.
Yah dua wanita yang bersaing dalam cinta memang jarang berakhir bahagia :).
Wisata Kota Tua Kuching
Seperti teman-teman tahu Serawak awalnya berada di bawah kekuasaan pemerintahan Kerajaan Brunei. Tahun 1841 diserahkan kepada James Brooke karena telah berjasa membantu  Brunei memadamkan pemberontakan orang-orang Dayak.  Brooke kemudian menetapkan Kuching sebagai ibu kota dan  membuat sistem sanitasi, rumah sakit, gereja, penjara, benteng, dan bazaar. Pada tahun 1941, pemerintahan Brooke mengadakan Perayaan Centenary  (seratus tahun) mereka di Kuching. Memasuki Perang Dunia II, Jepang pun masuk ke Kuching dan bercokok di sana dari tahun 1942 hingga 1945. Untung lah kota ini tetap utuh setelah  perang berakhir. Namun, Raja terakhir Sarawak, Sir Charles Vyner Brooke, tahun 1946 memutuskan  menyerahkan Sarawak sebagai bagian dari Koloni Kerajaan Inggris. Kuching tetap menjadi ibukota bahkan setelah pembentukan Negara Malaysia pada tahun 1963, Kuching mempertahankan statusnya sebagai ibukota negara bagian.
Sampai saat ini jejak-jejak penguasa terdahulu Sarawak masih bisa kita lihat di Kuching. Baik itu sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, museum, gedung pemerintahan, dock kapal, dan lain-lain relatif masih utuh. Â Sebagian sudah dialih fungsikan jadi museum, sebagian lagi seperti sekolah masih digunakan. Mengulik kota tua dan memotret bisa jadi kesatuan yang menyenangkan di sini.
Sayang saja waktu City Tour-nya terlalu singkat, tak begitu banyak yang bisa dilihat.
Pasar Minggu Medan Niaga Satok
Masuk ke dalam pasar tradisional, bagi saya seperti masuk ke dalam pasar budaya. Di sini kita tak hanya bertemu produk dan jasa seperti hasil pertanian, kerajinan, dan makanan, sekaligus kita bisa melihat  berbagai gaya hidup orang lokal. Tradisional dan modern di bawah satu atap. Karena pasar yang walau tujuan utamanya melakukan pertukaran, efek sampingnya adalah terbangun rasa persatuan. Orang dan produk yang dihasilkan selalu terikat ke dalam satu komunitas.
Pasar Minggu Medan Niaga Satok ini rupanya pasar baru, dibuka tahun 2013, menggantikan Pasar Satok lama yang lokasinya tak jauh dari tempat sekarang. Tempatnya seperti Pasar Moderen di BSD dan Pasar di Alam Sutera – Serpong. Bersih dan tertata dengan teratur. Dikembangkan oleh Federal Agricultural Marketing Authority (FAMA), pasar yang aktif di Sabtu dan Minggu ini juga terbagi atas pasar basah dan kering, penjualan eceran dan grosir.
Lagi-lagi, sayangnya karena keterbatasan waktu, tak banyak yang bisa dilihat. Waktu yang sempit itu kebanyakan dihabiskan di tempat penjualan souvenir. Ciri khas wisatawan Indonesia, kemana pergi gak sah kalau tak belanja, minimal beli  printilan. Banyak juga kain tenun terlihat, namun karena sudah punya beberapa berciri khas Borneo di rumah, saya dan teman-teman hanya memilih souvenir printilan  berlogo Sarawak saja. Sovenir itu mengikat kenangan, Jendral!
Selebihnya melongok sebentar ke bagian  sayur dan bumbu. Sebagian besar bumbu dapur sama dengan bumbu dapur Indonesia. Hanya di sini untuk pertama kali saya melihat Buah Dabai yang digunakan dalam Nasi Goreng Dabai, kuliner khas Kuching. Melihat juga buah Engkalak, Maram atau Kelubi. Yang membuat Medan Niaga Satok lebih berenergi lagi adalah pasar tanaman hiasnya. Kuntum-kuntum yang sedang mekar membuat halaman pasar tambah seronok.
Kampung Boyan dan Kek Lapis Sarawak
Melukis kenangan di Kota Kuching berlanjut Kampung Boyan yang terletak di seberang Waterfront. Kunjungan pertama kami tak sempat mencicipi Kek Lapis (kue lapis) yang jadi ikon kuliner  Sarawak. Waktu itu hari sudah keburu malam. Untungnya STB kali ini membawa ke sini. Menyeberang dengan Tambang (perahu tradisional) dalam tiga menit, kami mendarat di dermaga dengan panas yang menggigit. Dari seberang sungai, waterfront terlihat lebih indah.
Panas terlalu menyengat untuk berasa-basi mengamati kehidupan sekitar. Jadi kami langsung menuju Mira Cake House, satu-satunya toko oleh-oleh yang saya lihat di Kampung Boyan. Tapi walau bergegas saya masih sempat memperhatikan kalau di Kampung Boyan ini banyak sekali tempat pengolahan Ikan Terubok (terubuk) masin (asin). Ikan banyak tulang yang sering saya temukan dalam nasi lemak, struktur dagingnya lembab, tidak keras seperti ikan asin biasa. Di samping mereka juga menjual yang mentah di sepanjang jalan.
Sepertinya ikan terubok ini sama dengan terubuk yang sering dibuat sambal di Minangkabau. Namanya sambal terubuk.
Mira Cake House popular. Dari mana pun wisatawan datang, kalau ke Kuching pasti akan singgah beli oleh-oleh Kek Lapis di sini. Seperti siang itu, pengunjung sudah ramai. Rak-rak yang berisi kue lapis yang dikemas dalam plastik transparan berjejer di atas rak. Berbagai macam warnanya. Ada yang bak pelangi kinclong, hijau, merah, dan coklat gelap.
Untuk dibawa sampai Jakarta, Mira Cake House menyediakan packing yang rapi. Minimal beli 6 potong, akan dikemas dalam karton box yang cukup tebal. Terbukti tuh sampai di Serpong kuenya aman-aman saja.
 Ingatan kita tentang sebuah kota, baik atau buruk, manis atau pahit, dilukis oleh pengalaman. Saya memutuskan akan selalu tersenyum dalam hati dan pikiran untuk semua kenangan di Kuching Sarawak.
 Jadi kapan kita  ke Sarawak lagi dan melukis kenangan bersama di Kota Kuching?