Hari kedua di Malinau tiba saatnya melihat ritual mencari seorang pemimpin tangguh lewat Pasa Hwal dalam upacara adat Suku Dayak Sa’ban. Mereka adalah salah satu dari 11 suku yang terlibat dalam acara Festival Budaya Irau Malinau. Lewat acara ini kita diajak mengenal berbagai hal dari suku yang mendiami Pulau Kalimantan ini. Mulai dari seni gulat tradisional, simbol mahkota Dayak, tari burung enggang, Tato Gelang yang dikenakan lelaki Dayak, perhiasan, dan profil rumah tangga.
Upacara Adat Suku Dayak Sa’ban yang saya lihat ini berlangsung dalam satu pentas di Festival Irau Malinau. Meliputi pembacaan sejarah, ritual mencari pemimpin dalam Pasa Hwal, dan pengumuman pemecahan rekor Muri. Bagi Suku Sa’ban Rekor Muri dipecahkan oleh Ani Ka’bo, kalung manik raksasa, benda budaya yang mempunyai filosofi tinggi dalam masyarakat Dayak Saban.
Panglima Burung Dengan Mahkota Bulu Enggang
Saya membaur. Mengamati dari dekat pria wanita, dewasa dan anak-anak berbusana adat Dayak. Keramahan khas Indonesia pun terkembang dan dengan mudah dapat izin memotret.
Para ksatria bermahkota bulu burung enggang atau rangkong burung khas Kalimantan, sibuk mengatur prajurit. Lengkap dengan tombak dan perisai di tangan.
Dengan jubah kulit harimau atau kulit kayu yang disebut Tekan Talun mereka tampak garang. Betapa tidak. Selain tato, busana mereka digantungi taring harimau atau babi. Leher, lengan dan kaki penuh hiasan.
Sementara para wanita tak kalah fotogenik. Berbusana batik khas Malinau berupa blus putih dan rok hitam, gelang porcelein putih dan mahkota manik di kepala.
Upacara Adat Suku Dayak Sa’ban dan Pasa Hwal ini benar-benar sebuah kesempatan berharga bagi saya untuk mengenal salah satu suku dayak di Kalimantan Utara ini.
Baca di sini Pesona Budaya Irau Malinau
Tarian Burung Enggang dan Pembukaan
Setelah kedatangan Bupati, acara pun segera dibuka. Dimulai dengan berbagai sambutan dan tarian burung enggang oleh dua orang wanita suku Dayak Sa’ban asal Sarawaka, Malaysia.
Oh ya apa yang diceritakan dalam tari burung enggang?
Menurut Wiki, orang Dayak percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari langit dan turun ke bumi menyerupai burung enggang.
Oleh karena itu, masyarakat dayak sangat menghormati dan memuliakan burung rangkong atau enggang dengan paruh besarnya ini. Artinya Tari Burung Enggang bisa dimaknai sebagai simbol penghormatan Suku Dayak terhadap leluhur mereka.
Bulu-bulu Burung Enggang lebar dan cantik. Terutama bulu burung jantan dengan warna yang lebih mencolok seperti hitam, abu-abu, putih, coklat dan sedikit variasi warna lain. Bulu-bulu ini memegang peranan penting pada setiap upacara-upacara adat dan tarian-tarian adat. Sampai-sampai bentuk bulu-bulu Burung Enggang jadi inspirasai pada ukiran-ukiran suku Dayak.
Ada pula yang mengartikan Tarian Burung Enggang menceritakan cara hidup masyarakat di masa lalu. Seperti Rangkong yang selalu berpindah, di masa lampau suku dayak hidup secara nomaden. Karena sering terjadi perang antar suku, kelompok keluarga atau suku memilih hidup berpindah-pindah untuk mencari keselamatan
Tari Burung Enggang menjadi tarian wajib dalam setiap upacara adat Suku Dayak. Tari Burung Enggang menggambarkan kehidupan sehari-hari burung enggang yang biasanya dibawakan oleh wanita-wanita muda Suku Dayak Kenyah.
Baca juga : Tabalong Ethnic Carnival
Profil Busana dan Keluarga Suku Dayak Sa’ban
Fashion ala Suku Dayak Sa’ban ini sangat menarik. Untuk kaum laki-laki hampir semua berponi di depan dan dipotong rata. Rambut samping dicukur pendek dengan menyisakan rambut panjang di belakang.
Pakaian terdiri dari kulit kayu yang disebut Tekan Talun. Telinga dilubangi dan diberi anting berbentuk gasing, terbuat dari Kuningan yang cukup berat. Itu lah mengapa lubang telinga mereka jadi panjang. Bagian atas telinga di lubangi untuk dimasukkan taring harimau.
Kalung yang dipakai adalah Ani Ka’bo dan Taring Babi. Lengan berhias rotan yang dianyam dan ada juga yang terbuat dari kayu dan taring babi. Pada kaki ada gelang yang dipasang pada bagian bawah lekukan lutut yang terbuat dari anyaman rotan dengan jumlah yang bervariasi sesuai keinginan orang yang memakainya.
Gelang tangan yang dikenakan perempuan Suku Dayak Sa’ban disebut Ulau. Terbuat dari poselen berwarna putih.
Busana kaum perempuan tak kalah unik. Mengenakan blus dan rok juga terbuat dari kulit kayu yang disebut Tekan Talun .
Telinga dilubangi dan dipasangi anting yang terbuat dari besi putih yang lingkarannya hampir sama dengan gelang tangan wanita. Jumlahnya bervariasi sesuai dengan keinginan pemakai.
Pada tangan dan betis wanita dayak yang sudah menikah wajib diberi tato berbentuk gelang dengan motif beraneka ragam. Menurut kepercayaan Dayak Sa’ban, tato gelang ini sebagai lambang terang. Apabila wanita tersebut meninggal tato gelang ini adalah petunjuk dalam kegelapan menuju Jalan Terang.
Sedangkan anak-anak usia 3 sampai 5 tahun pakaian dan aksesoris nya sama dengan orang dewasa.
Baca juga di sini:
- Desert Flower Kisah Perjalanan Seorang Model Berkulit Hitam
- Keindahan Masjid Agung Jawa Tengah
- Telisik Unik Sudut Pelabuhan Sunda Kelapa
Sejarah Suku Dayak Sa’ban
Dalam Upacara Adat Suku Dayak Sa’ban ini juga dikenalkan sejarahnya. Bawah Suku Dayak Sa’ban atau Sa’baan atau Saban berasal dari Hulu Sungai Long Pu’un. Pada abad ke-18 terjadi perpindahan suku Dayak Sa’ban yang terbagi dua kelompok besar. Kelompok pertama pergi ke Bario, Kelabit, Malaysia. Karena jumlah mereka sedikit makan dikategorikan di bawah kelompok Orang Ulu di Malaysia dan memiliki hubungan dekat dengan orang- orang Kelabit .
Kelompok kedua menuju Peangau, Lonal, di Hulu Sungai Bahau. Ratusan tahun setelah itu terjadi perpindahan besar Dayak Sa’ban yang kedua. Sebagian ke Long Banga dan Long Puak , Sarawak Malaysia. Sebagian ke Krayan Hulu Kabupaten Nunukan. Dan sebagian lagi menuju Sungai Tuhuk, Pekalon Kabupaten Malinau. Yang sekarang menetap di Malinau desa Lokbilak.
Pasa Hwal Seni, Ritual Mencari Pemimpin Tangguh
Sistem kepemimpinan, tradisional atau modern, punya aturan sendiri mengenai syarat-syarat pemimpin yang dibutuhkan.
Pada Suku Dayak Saban mereka membutuhkan figur pemimpin pemberani, kuat secara fisik dan mental. Ini lah yang melatar belakangi Pasa Hwal, seni gulat tradisional, ritual mencari pemimpin yang tangguh pada Suku Dayak Saban.
Proses seleksinya sendiri dimulai dengan mengumpulkan semua laki-laki yang sudah menanjak dewasa. Satu persatu melompati batu dengan tambahan bambu runcing di atasnya yang disebut Sa’ban Telmeh. Untuk mendapatkan sang pemenang akan diseleksi lagi dengan Pasa Hwal (gulat).
Dalam upacara adat Suku Dayak Sa’ban pada Festival Pesona Budaya Irau Malinau, diceritakan tentang persaingan dua orang bersaudara untuk jadi kepala suku.
Adu ketangkasan mereka dimulai dari melompat Sa’ban Telmeh, bambu runcing yang kalau gagal dilompati akan membuat peserta terluka. Nah dalam ronde pertama ini, Sang Adik memenangkan pertandingan.
Namun sang kakak ngeyel, tidak terima bahwa adiknya lebih tangkas. Lalu ia minta adu ketangkasan ronde ke-2 yakni Pasa Hwal, bergulat. Untuk lebih jelasnya bagaimana gulat tradisional ala Suku Dayak Saban berlangsung silahkan disimak video di atas.
Sayangnya sang kakak kembali kalah. Akhirnya dia menyerah.
Sang adik yang terbukti lebih tangguh ditetapkan sebagai pemimpin. Sementara teman-teman yang mengikuti seleksi tapi tidak lolos diangkat jadi prajurit.
Di akhir Upacara Suku Dayak Saban, Pasa Hwal ini sang pemimpin baru ditandu dan diarak ke seluruh kampung. Sebagai simbol pengumuman bahwa mereka sudah punya pemimpin baru.
Baca juga di sini :
- Sichuan Opera yang Menawan di Shufengya Yun
- Museum Resto di Malang; Rumah Makan Inggil
- Museum Kolonial Penang; Memanjakan Mata dan Rasa
Memang acara Irau akan sarat adat istiadat. Selain pergelaran tentang pemilihan calon pemimpin, Upacara Adat Dayak Sa’ban, baik yang tinggal di Sarawak maupun Malinau juga menghadirkan tarian.
Yang paling menarik adalah tari Marang Tuung yang mensimulasikan tari perang tapi dibawakan oleh anak-anak. Empat anak anak dua lelaki dan dua perempuan dengan tangkas memainkan Mandau dan Perisai.