Travel Blog Indonesia – Saya menulis post ini dalam kapal cepat di atas Laut Ambon. Sedang dalam perjalanan Ambon-Banda Neira, jadi salah satu anggota Tim Genpi Indonesia untuk menghadiri Festival Rakyat Banda 2018.
Pesawat saya take off pukul 22.15 kemarin sore. Tapi setengah tujuh aku sudah sudah sampai di Bandara Soetta. kerajinan? Gak! Takut telat karena di WAG teman-teman yang menuju bandara lebih dulu menginfokan macet. Maklum malam minggu. Terminal IC, tempat pesawat Batik Air yang akan membawa kami biasanya ramai. Selain banyak yang akan pergi liburan, juga tak sedikit pelaju, kaum urban yang akan pulang menengok keluarga di kampung masing-masing .
- Baca juga : 5 Rekomendasi Wisata Sejarah di Ambon Manise
Tapi memang saya excited sekali. Betapa tidak? Untuk pertama kali akan menginjak kota Ambon, meneruskan ke Banda Neira lalu balik Ambon lagi untuk explorasi wisatanya. Kami akan berinteraksi dengan warga Banda dan Pulau tetangga Lonthoir.
Di sana saya juga akan melihat Pesta Rakyat Banda 2018, masuk salah satu dari 100 Wonderful Events 2018 Kementerian Pariwisata. Berbagai keunikan akan digelar seperti Buka Sasi Lola, budaya laut yang hidup di tanah Banda. Ada lagi ritual Cuci Parigi atau bersih-bersih sumur yang diadakan cuma 10 tahun sekali.
Tiba di Ambon
Pukul 06.00 waktu Ambon Batik Air mendarat sempurna di Bandara Pattimura. Cahaya pagi keemasan berlatar langit samar kebiruan menyambut kami. Agak unik terminal kedatangan Bandara Patimura ini. Keluar dari pesawat, masuk ke dalam garbarata, saya melewati lorong berliku-liku cukup panjang. Pada ujungnya sudah menunggu sopir taksi yang satu persatu menawarkan jasa. Sepertinya tidak ada perusahaan taksi resmi di sini, hanya para pengusaha yang menawarkan langsung taksi kepada calon pelanggan. Untuk harga boleh nego sendiri.
Dari bandara langsung berangkat ke pelabuhan Yos Sudarso. Langit Kota Ambon hangat oleh cahaya keemasan. Jatuh ke atas jalan beraspal mulus dan pepohonan di tepi jalan. Mengarah ke kanan, ke Teluk Ambon, saya agak terkesiap. Ketidak sempurnaan cahaya pagi, kabut menyelimuti permukaan air dan bayang-bayang pelabuhan di seberangnya, seakan keluar dari lukisan Basuki Abdullah. Saya juga melintas di atas Jembatan Merah Putih, membentang di atas Teluk Ambon, jembatan terpanjang di Indonesia Timur.
Perjalanan Ambon- Banda Neira, bersama Dinas Pariwisata Ambon, naik kapal cepat KM Siwalima, milik Pemprov. Memakan waktu 5 jam. Membuat saya mengantuk, tidur, bangun. Mengatuk lagi, tidur lagi dan bangun lagi. Setiap kali membuka mata, di luar masih laut yang merefleksikan warna langit. Lewat jendela kaca mata saya langsung bertemu tepi cakrawala, air laut merefleksikan warna langit. Pagi-pagi masih terlihat guratan awan, siang sudah polos saja. Pukul 12.30 WITA ketika saya bangun entah keberapa kali, cuma biru aqua polos yang tertinggal.
Begitupun teman-teman saya, tidur bangun beberapa kali. Untung kami berada dalam kabin ber-AC, banyak cemilan, dikawani bapak-ibu dari Dinas Pariwisata Propinsi Maluku yang ramah, melintas teluk Ambon tak seberapa membosankan.
Kabin kapal di lantai dua ini berlangit-langit dan berlantai kayu. Sofa dan meja berwarna senada, gorden bermotif batik prada, tv di atas lemari pajang berhias tiga vas keramik biru tua dan tiga buas vas bunga plastik.
- Baca di sini tentang : 5 Tempat Wisata Sejarah Keren di Ambon
Acara Pembukaan Festival Rakyat Banda
Pukul 12 siang Waktu Indonesia Timur, KM Siwalima merapat mulus di Pelabuhan Banda. Dengan ojek saya pun mulai menyisir jalan-jalan yang dulu pernah dilewati tokoh Indonesia yang pernah diasingkan di sini. Memang Banda Neira awal abad ke-20 pernah dijadikan Hindia Belanda sebagai tempat untuk memencilkan Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusuma Sumantri, Sutan Syahrir, dan Mohammad Hatta. Hingga detik ini rumah bekas tempat tinggal mereka masih bisa dilihat di Banda Neira. Banda Neira Aku Datang, bisik saya dalam hati.
Banda Neira Aku Datang untuk menyaksikan pembukaan Festival Rakyat Banda di Istana Mini. Sebuah bangunan berarsitektur khas kolonial Belanda. Sambutan dari Menteri Pariwisata dibacakan oleh dinas berlangsung di teras yang dibangun tahun 1683. Tempat ini pernah jadi Rumah dan Kantor Gubernur Kolonial Belanda.
- Baca juga di sini : Wisata Sejarah Pulau Banda Neira
Tarian dan Goyang Tobelo, ajang pesta rakyat jadi unik berlatar belakang bangunan Societeit Harmonie yang dulunya berfungsi sebagai gedung pusat hiburan dan tempat bersantainya para pejabat kolonial Belanda. Ketika acara pembukaan berakhir, langit dibatas Pantai Tita Baru dan perairan Banda kembali menguning. Sekarang saya menyebutnya sunset.
Hai Banda Neira, aku datang…