Masak di Rumah Adat Lonthoir – Sehari sebelum acara puncak Cuci Parigi Pusaka, saya berkesempatan melihat acara masak di Rumah Adat Lonthoir. Rumah adat dimana Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pernah dianugerahi gelar adat Mama Sembilan Luar atau Mama Orsiwa Luar oleh Kepala Adat setempat. Saya ingin melihat berbagai kesibukan di rumah adat ini dalam rangka persiapan acara puncak keesokannya.
Ragu awalnya untuk masuk. Saya dan teman-teman Liputan Genpi baru keluar dari benteng Holandia. Penampilan kami turistik semua sementara bapak-bapak dan ibu-ibu yang duduk di beranda rumah adat, berbusana bernuansa tradisional. Lelaki berbatik atau berbaju koko ,ibu-ibunya berkebaya. Tapi Erzal, akamsi (anak kampung sini), meyakinkan bahwa orang Lonthoir tidak pernah menolak tamu yang sopan. “Masuk saja dan bertanya apa saja pasti akan dijawab”, katanya.
[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=cMbZRYAnylE[/embedyt]
Video Cuci Parigi Pusaka di Desa Lonthoir Bandaneira
Mengintip Kamar Perlengkapan Upacara Cuci Parigi Pusaka
Perlengakapan upacara Cuci Parigi
Saya mengucapkan salam dan disambut seorang Bapak yang duduk bersama warga Lonthoir lainnya. Senyum ramah khas Maluku langsung mengembang. Saya meminta izin apakah dibolehkan masuk rumah adat untuk melihat-lihat dan memotret. “Tentu saja boleh..tentu saja boleh..” Jawab beliau. Tapi sebelumnya diminta menunggu. Beliau masuk ke dalam kamar yang terletak di sebelah kiri bangunan. Pintunya ditutup gorden warna hijau. Sebentar saja beliau keluar lagi dan memberi bahwa setelah Gong berbunyi saya dipersilahkan masuk.
- Kepoin juga Banda Neira Aku Datang
- Kepoin juga Wisata Sejarah Pulau Banda Neira
- Kepoin juga Cuci Parigi Pusaka di Pesta Rakyat Banda 2018
- Kepoin juga Senja di Banda Neira Maluku
Dan Gong pun berbunyi sebanyak 2 kali. Saya melangkah ke dalam seperti tamu agung. Dua sebuah meja dijaga di tiap sudut oleh 4 orang anak muda. Meja itu berisi segala macam pernik yang akan digunakan dalam upacara Cuci Parigi pusaka esok. Beralas kain putih. Meja pertama berisi kain gajah, kain yang akan digunakan membersihkan sumur, tergulung rapi, diletakkan diatas sebuah talam. Ditutupi kain jaring putih berumbai emas. Di sebelahnya ada hiasan semacam wadah dari janur, ditancapi bunga kertas warna-warni. Di meja belakangnya berisi perangkat Tari Cakalele yang terdiri dari baju, helm besi, tombak dan perisai. Meja ini diasapi oleh kemenyan dari bawah dan sebaran bunga rampai. Ada bendera warna merah hijau dan putih seolah panji yang melindungi kedua meja di bawahnya.
Sebelum memotret seorang bapak menyarankan saya menaruh sumbangan alakadarnya ke tempat yang disediakan. Dalam mangkuk keramik itu sudah berisi beberapa uang kertas. Ini satu bentuk partisipasi masyarakat untuk kelancaran acara ini.
Kepoin Ibu-Ibu Masak di Rumah Adat Lonthoir
Beranjak dari kamar perlengkapan upacara, saya melihat kesibukan di bagian belakang rumah. Saya kembali minta izin. Rupanya halaman belakang difungsikan sebagai dapur dan jadi tempat para ibu berkumpul unjuk kreasi kuliner Lonthoir.
Wah senangnya punya kesempatan melihat masak di Rumah Adat Lonthoir ini.
Saya lihat sebuah meja makan sudah terisi tapi masih ditutupi. Tak lama sdiduduki beberapa pria dan wanita yang dandanannya mirip dengan Ibu saya selagi muda. Berkebaya kutu, berkain batik, rambut ditarik ke belakang atau disanggul dan selendang sampirkan di leher. Sepertinya mereka adalah tetua Desa Tetangga yang datang memberi hormat untuk acara ini.
Siang itu yang paling menarik bagi saya adalah masuk area dapur. Aroma masakan bercampur dengan asap yang keluar dari tungku kayu membuat perut lapar sekaligus membangkitkan memori indah masa kecil. Panci-panci ikan segar, ayam dan daging sapi, berjejer siap untuk dimasak. Cuaca lonthoir sudah panas. Api dari tungku, asap, dan atap seng dapur membuat saya semakin berkeringat.
Gotong Royong Penuh Kegembiraan
Dan di tengah panas itu, keceriaan dari ibu ibu Lonthoir tidak berkurang. Saling guyon dengan tangan tetap sibuk pada tugas masing-masing. Suasana seperti itu membawa saya berpuluh tahun ke belakang, ke pedalaman di Sumatera Barat sana. Di kampung saya tidak mengenal istilah catering. Bahkan hingga saat ini. Bila ada kendurian atau pesta perkawinan, kerabat, saudara dan tetangga akan turun tangan. Semua keperluan pesta, baik belanja ke pasar lalu mengolahnya jadi makanan siap santap, dilakukan bergotong-royong. Kesempatan seperti ini juga digunakan sebagai ajang temu sosial. Tetangga jauh yang jarang bersua atau sanak saudara yang baru pulang kampung, akan setor muka di dapur sosial seperti ini.
Dapur terasa makin panas. Saya beranjak ke luar. Untuk kembali bertemu tungku menyala dengan 3 buah dandang besar di atasnya. Ada Ibu-ibu yang menyiapkan sayur, mengulek bumbu, menggoreng ikan, menumbuk daging ikan segar untuk dibuat makanan seperti otak-otak.
Saya beralih ke sebelah kanan dapur. Rupanya tugas memanggang ikan bagian bapak-bapak. Menu ikan komu asar sedang berasap dan mengeluarkan aroma yang enak. Ikan-ikan cakalang kecil yang sudah diberi bumbu dijepit dalam pemanggang khusus. Kadang-kadang kembali diolesi menggunakan daun pandan.
Kembali ke dapur, sebuah stasiun televisi juga meliput masak di rumah adat Lonthoir. Reportase cara memasak Sayur Sisir. Semacam tumisan daun singkong, bunga pepaya, suwiran ikan asar dan santan. Sayur Sisir khas Maluku. Di pojokan lain dua ibu asik mengaduk aneka ayur dengan kelapa parut. Mirip urap dan disini disebut kohu kohu. Terdiri dari kacang panjang, daun kemangi, dan toge.
Saya lihat ada pemetaan tugas di dapur acara masak Rumah Adat Lonthoir ini. Ada yang memasak, ada yang menyiapkan bahan, dan ada pula yang khusus membuat kue.
Didominasi Masakan Ikan
Ciri khas lain masak di Rumah Adat Lonthoir adalah ikan. Di mana-mana terlihat ikan. Sudah masak maupun menunggu giliran dimatangkan. Diolah dengan berbagai bumbu. Digoreng, dipanggang, dikuah kuning sampai dibumbu rujak. Bisa dimaklumi, kepulauan Maluku atau Laut Banda surganya ikan. Bahkan di dermaga, saya lihat sendiri, ikan-ikan sebesar telapak tangan berkeliaran tanpa ada yang berusaha memancing atau menangkap. Saya berpikir, kalau tinggal di sini dan tidak punya lauk, pergi saja ke dermaga dengan pancing. Sepertinya mudah untuk menangkap sekilo ikan untuk makan malam.
Hasil masak di Rumah Adat Lonthoir semua dibawa ke sayap kanan bangunan. Di sana dijajarkan. Di sini ada lagi ibu-ibu yang bertugas mengatur masakan jadi ke dalam panci-panci dan talam-talam. Mereka bahkan mempersilakan saya mencicipi jika mau. Saya mencoba Sayur Sisir. Rasanya gurih dan agak pahit dari bunga pepaya. Namun suka aroma asap dari ikan yang digunakan.
Cerita lainnya dari Maluku:
- 5 Wisata Ambon di Tempat Bersejarah
- Senja di Banda Neira Maluku
- Cuci Parigi Pusaka di Pesta Rakyat Banda 2018
- Wisata Sejarah Pulau Banda Neira
- Banda Neira Aku Datang