Memburu Matahari Terbit di Shwesandaw Pagoda– Kalau lah ada lomba negara-negara Asia Tenggara yang punya paling banyak pagoda atau kuil, Saya kira Myanmar akan keluar sebagai juara. Beranjak dari Yangon ke arah Bagan, sebuah kota tua yang mulai bangkit sejak abad ke-11, kita akan mendapati pagoda di mana-mana. Walaupun sebagian besar pagoda tersebut rusak oleh waktu dan gempa, hingga saat ini Bagan tetap dijuluki sebagai Tanah Seribu Kuil. Di tanah ini salah satunya berdiri Shwesandaw Pagoda. Tempat paling indah di Myanmar untuk menyaksikan matahari terbit maupun tenggelam sekaligus
Menuju Bagan – Memburu Matahari Terbit di Shwesandaw Pagoda
Dari Yangon perjalanan ke Bagan untuk Memburu Matahari Terbit di Shwesandaw Pagoda ini, sama seperti semua turis, dimulai dari Aung Minglar Highway Bus Station. Cukup lama, sekitar 2 jam, menyusuri jalan-jalan Yangon yang macet. Menjelang magrib baru sampai. Kami akan naik bus malam menuju Bagan dari sini. Terminal yang ramai, penuh bus besar, dikelilingi kantor penjualan tiket, warung kopi dan warung makan.
Bus berangkat sekitar pukul delapan waktu setempat. Ada kesempatan bagi saya dan Ratna — teman perjalanan –berkeliaran di sekitar terminal. Untuk melihat-lihat dan menemukan keunikan terminal bus ini. Kami sempat mampir ke warung penjualan oleh-oleh untuk membeli cemilan, bekal dalam bus. Ditawari juga membeli sirih dan Pinang, aktivitas yang dilakukan hampir semua warga Myanmar, tradisi mengunyah paling tua, dan yang membuat trotoar mereka pernuh bercak dan noda merah.
Perjalanan bus malam dari Yangon ke Bagan memakan waktu sekitar 9 jam. Untungnya bus dlengkapi kursi dengan sandaran yang nyaman. Bisa dinaik dan turunkan. Diberi selimut, tisu basah, makanan kecil, dan minuman. Sepertinya ini bus memang untuk turis sebab selain kami ada juga turis kulit putih, India, China. Hanya sedikit terlihat orang lokal.
Menonton Matahari Terbit di Shwesandaw Pagoda
Saya hanya bisa tidur-tidur ayam. Tidur setengah jam melek satu jam. Begitu terus sampai pukul 04.00 pagi, bus memasuki Stasiun Bus bagan. Tour guide lokal yang banyak omong, cenderung bawel, mengaku fotografer, dengan bersemangat menyambut. Kami pun langsung dimasukkan ke dalam Minivan. Tapi sebelumnya saya memastikan terlebih dahulu koper sudah masuk juga. Kan gak lucu bila empat hari di Bagan tak berganti pakaian. Salah satu romantisme yang cukup berkesan kala Memburu Matahari Terbit di Shwesandaw Pagoda ini.
Hari masih gelap, jalanan sepi, tour guide yang banyak omong itu langsung memerintahkan supirnya cuss menuju destinasi pertama hari ini: Pagoga Shwesandaw. Hore kita akan Mengejar Matahari terbit di Shwesandau Pagoda.
Tak lama. Dua puluh menit dari terminal Bagan kami pun tiba di lahan parkir destinasi.
Saya mengintip dari jendela minivan. Langit sudah membiru gelap. Stupa berbentuk lonceng, lima teras yang mengerucut ke atas, bayangannya bersembunyi di belakang pohon. Warnanya berkilau dalam tempaan cahaya awal yang masih samar.
Warisan Berisi Nilai-Nilai Tinggi
Mendekati pelataran, agak gentar juga melihat tangga sempit dan curam yang akan membawa saya ke teras paling atas di sebelah Timur. Spot terbaik mengambil foto sunrise. Tapi semua orang naik dengan takzim. Setelah melepas sandal atau sepatu dan meletakkannya di atas rak yang disediakan. Rasa kantuk saya pun langsung hilang. Mengikuti menaiki anak tangga satu persatu, melewati teras satu persatu, hingga akhirnya sampai juga di tempat yang diinginkan semua orang yang berada di sana saat itu.
Pagi belum lahir sempurna tapi tempat ini sudah penuh sesak! Hari ini banyak yang berburu matahari di Shwesandaw Pagoda!
Penantian berdesakan pagi itu memang berbuah. Perlahan bias kuning muncrat dari arah timur, membuat cahaya berganti warna dengan cepat. Dari merah jambu gelap, ke kuning dan akhirnya hilang sama sekali bersama kedatangan pagi. Bersamaan itu gondola-gondola balon dengan penumpang memulai penerbangan. Dari atas melihat Shwesandaw yang berbentuk mandala dan sebaran pagoda di sekitar. Mulai dibangun pada 1057 oleh Raja Anawrahta, pendiri Kerajaan Bagan yang ingin melestarikan agama Buddha di kekaisarannya.
Stupa Shwesandau berbentuk lonceng ini dihiasi dengan multilevel emas, paling ujung menara, seperti semua kuil Burma, berhias sebentuk payung upacara. Yang sekarang adalah payung pengganti sebab yang asli runtuh akibat gempa bumi tahun 1975.
Keliling Shwesandaw Pagoda
Setelah matahari meninggi, saya menelusuri satu persatu ke lima (5) teras pagoda ini. Sudut sudutnya dihiasi oleh patung Ganesha, Dewa Hindu dengan kepala gajah yang di Myanmar dikenal sebagai Maha Peinne. Batu-batu terakotanya sudah banyak yang rusak, pecah atau terkelupas. Dulunya 5 teras ini ditempeli ratusan plakat terracotta yang menggambarkan kisah Jataka, yaitu kisah kehidupan sebelum Sang Buddha. Saya tidak tahu mengapa plakat itu punah dari tempat ini, mungkin dicuri sebab pengunjung memang bebas naik turun tanpa dipungut biaya. Atau untuk penyelamatan dan ditaruh di museum.
Shwesandaw merupakan bangunan tertinggi di Bagan. Dari teras teratas sini dapat menyebar pandang seluruh dataran Bagan yang kuil-kuil. Mereka seolah seperti candi-candi kuno yang terserak dan muncul dari semak belukar. Di bawah temaram cahaya pagi pemandangan seperti itu membuat saya beberapa kali bernafas sejenak.
Puas bekeliling di atas saya beranjak turun. Mengelilingi sekitar halaman untuk mendapat view berbeda. Bagan sudah bangun. Para penjual souvenir sudah membuka lapak dan memanggil-manggil agar turis mampir. Di jalan gerobak yang ditarik sapi, wanita dengan longyi (kain tradisional Burma), dan bedak dingin berjalan perlahan membawa beban di kepala. Mereka menuju pasar.