Wisata Sejarah Pulau Banda Neira – Setelah menempuh perjalanan 6 jam dari Ambon, akhirnya KM Siwalima milik Pemprov Maluku merapat ke Dermaga Pulau Banda Naira. Keluar dari kapal Saya sedikit terkejut, udara begitu panas. Memang matahari sedang terang benderang tapi di Pulau Jawa suhunya tidak semenyengat yang saya rasakan saat itu. Tapi tetabuhan Totobuang (alat musik tradisional seperti Bonang) dan sambutan teman-teman Genpi Ambon mengalihkan perhatian. Mengedar pandang ke atas langit biru dan memberi salam dalam hati Gunung Api Banda, dengan volcano aktifnya, tegak berdiri menjaga tempat ini sejak Banda Naira terlahir.
Baca juga Banda Neira Aku Datang
Susur Jejak Pahlawan di Pulau Banda Naira
Dengan Ojek sepeda motor, saya pun bergerak menuju Kampung Baru, salah satu desa dari 6 Desa yang terdapat di Banda Neira. Tak lama meninggalkan dermaga, mata pun langsung bersirobok dengan banyak bangunan bergaya kolonial. Bergaya indie, seperti kotak sabun, tiang-tiang bulat di depan dengan jendela dan pintu kayu lebar. Rasanya seperti menelusuri lorong sejarah dan kembali ke abad 17.
Kesan saya, kota yang pernah jadi pusat perdagangan Pala dan Fuli hingga abad ke-19 ini, meninggalkan jejak kharisma sebagai kota modern. Terlihat dari sisa-sisa bangunan yang sudah runtuh maupun yang masih berdiri. Tak terlihat mobil, hanya motor yang sesekali berselisih jalan dengan pengendara yang saling menyapa dan menganggukkan kepala.
Hati saya sedikit tersentuh ketika teman yang memboncengi menunjuk pada sebuah rumah tua bercat krem:Â “Itu rumah Pengasingan Bung Hatta” Katanya. Saya menarik napas membayangkan sebentar lagii Wisata Sejarah Pulau Banda Neira, menyisir jejak pahlawan yang terukir di sini.
Rumah Pengasingan Bung Hatta
Saya pernah masuk ke Rumah Kelahiran Bung Hatta di Bukittinggi. Sekarang berada di depan pintu tempat pengasingannya setelah dari Digul, sedikit rasa dingin menjalar di dada. Membayangkan lelaki Minang, kutu buku, pendiam, dan berkacara mata bulat itu, duduk di depan teras rumahnya. Tak jauh berdiri rumah-rumah megah milik Belanda, Kantor VOC yang telah merampas kebebasan nya. “Apa yang ia rasakan setiap kali melintas di gang-gang kota?” , pikir saya. “Apakah membaca bisa mengurangi rasa tidak enak sebagai tahanan rumah? Apakah impiannya terhadap kemerdekaan tersalurkan dengan membuka sekolah sore bagi anak-anak Banda Naira?”
Saya terus bertanya dalam hati melongok lewat jendela yang sedikit terbuka. Sekalipun rumah pengasingan Bung Hatta sekarang dijadikan museum, hampir tidak ada yang tertinggal di dalam. Hanya sebuah tempat tidur dan sedikit perabotan seperti kursi dan meja marmer. Beberapa foto hitam putih di dinding. Di samping masih ada meja dan kursi kayu tempatnya murid-muridnya duduk dahulu. Lantai terakotanya kusam.
Saya pikir rumah ini memerlukan lebih banyak sentuhan sebagai museum.
Rumah Pengasingan Bung Sjahrir
Jika teman-teman melihat lewat peta, Banda Neira itu cuma secuil, seperti pasir timbul dari Laut Banda yang luas. Untuk zaman modern ini pun perlu ditempuh 6 jam perjalanan dengan kapal cepat. Mungkin itulah maksud pemerintahan jajahan menempatkan para pahlawan nasional di tempat terpencil ini. Jauh ke mana-mana tapi sekaligus juga tempat yang strategis untuk perdagangan rempah dari Kepulauan Banda.
Tepat di sebelah Rumah Budaya yang dulu pernah jadi kediaman Des Alwi, di sanalah Sutan Syahrir, teman senasib Muhammad Hatta, yang setelah dari Digul berdiam di sini dari tahun 1936 sampai Jepang masuk tahun 1942. Dari luar rumah nya relatif masih baik tapi saya tidak melongok kedalam karena tertutup. Teman yang tinggal di Banda Naira menceritakan di dalam terdapat sebuah lemari kayu yang di menyimpan sejumlah catatan, alat tulis, pakaian hingga surat pengangkatan Syahrir sebagai Perdana Menteri oleh Presiden Soekarno.
Di sayap kanan Rumah Budaya berdiri Sekolah Tinggi Hatta-Sjahrir College. Dan bagian belakang Rumah Budaya juga difungsikan sebagai kantor administrasi sekolah ini.
Rumah Budaya Banda Neira
Dibandingkan dengan bekas rumah tempat tinggal Hatta maupun Sutan Sjahrir, Rumah Budaya milik keluarga Des Alwi, tokoh dan sejarawan Banda Neira, kondisinya lebih baik. Di sini Kita bisa belajar sedikit tentang sejarah dan budaya Banda Naira. Dari peralatan etnografi sampai pada lukisan. Ada guci-guci kuno, botol-botol, peralatan rumah tangga maupun senjata yang dulu digunakan rakyat Banda untuk berperang melawan Belanda.
Sebagai pusat produksi tanaman pala di sini kita juga akan melihat keranjang dan alat petik buah agar tidak rusak. Sebab buah pala yang sudah jatuh ke tanah dianggap sudah rusak.
Bagaimana sulitnya hidup rakyat Banda dalam sistem perdagangan monopoli bikinan VOC terlihat dalam sebuah lukisan. Satu keranjang besar buah pala dibeli seharga 1 sen untuk kemudian dijual ratusan gulden. Timbangannya menggunakan batu yang sembarangan dipilih oleh mereka. Ketidakadilan perdagangan ini membuat Orangkaya (sebutan bagi orang adat di Banda) diam-diam melawan. Mereka merencanakan pembunuhan terhadap jenderal VOC saat itu yaitu Laksamana Pieterzoon Verhoeven.
Jebakan tersebut berlangsung di Kampung Baru, tempat masjid berdiri sekarang. Verhoeven dan Jacob van Groenwegen serta 26 orang Belanda tewas di sana. Juru tulis Verhoeven, Jan pieterszoon Coen menyaksikan Kejadian ini. Dendam itu simpan diam diam sampai diangkat jadi Gubernur Jenderal VOC Batavia. Ia kembali ke Banda dengan dengan 13 kapal besar, jumlah kapal pengintai dan membawa 1.600 serdadu Belanda, 300 narapidana Jawa, dan 100 samurai Jepang. Pada tanggal 8 Mei 1621 ia membantai 44 Orangkaya dan seluruh penduduk asli Banda.
Pedihnya Sejarah Banda Neira
Melihat ke dalam lukisan itu, dua orang samurai Jepang membelah tubuh penduduk asli, di bawah kakinya bergelimpangan mayat dan darah segar. Belum lagi perempuan yang berlutut minta dikasihani, saya jadi bergidik. Wisata Sejarah Pulau Banda Neira ini memberi saya perspektif baru tentang pulau ini. Dan bersyukur tidak hidup di zaman itu. Ada beberapa lukisan lagi yang bercerita soal sejarah Banda. Semua lukisan tersebut merupakan duplikat dari lukisan asli yang sekarang terdapat di dalam Museum di Belanda.
Baca Juga  Museum Kolonial Penang Memanjakan Mata dan Rasa
Tentu kita juga bisa melongok sedikit tentang tradisi budaya kuno yang pernah hidup di Banda. Seperti peralatan tari perang Cakalele, pakaian dengan helm Portugis dan juga replika perahu kora-kora. Ada juga beberapa mata uang kuno.
Walau rumah budaya atau museum ini sedikit berdebu, Wisata Sejarah Pulau Banda Neira ini lumayan juga, dapat melongok sejenak ke arah masa lalu Pulau Pala ini. Saya hanya berharap tempat ini tidak surut karena kurang perawatan. Semoga….