Menulis tentang  memahami rindu itu rasanya….ini terinspirasi dari teman yang sudah lama tidak bertemu. Beberapa hari lalu menelepon, katanya kangen. Katanya juga aku terlalu sering bepergian sehingga kami tidak punya kesempatan berjumpa. Menurutku sih bukan aku yang terlalu sering bepergian tapi kami memang belum punya momentum berjumpa sesegera mungkin. Ketika aku bisa ia tidak, ketika ia bisa aku banyak urusan. Ya gitu terus sampai rasanya basi kalau terus menerus bicara tentang kopi darat. WA ata video call setidaknya bisa lah sedikit menyalurkan hasrat rindu.
Tapi emang biasa kan kalian mendengar jika dua sahabat yang lama tak jumpa mengatakan ini:  “Duh kangen deh!”?
Atau luapan perasaan seseorang yang sedang jauh dari rumah, ” Aku kangen mama”, katanya. Terus sang mama akan menjawa balik, ” Mama juga kangen kamu!” Atau ketika mantan pacar ke luar kota untuk beberapa lama tiba-tiba jadi nyeleneh akibat rindu. Ia memerlukan menelpon dan mengatakan bahwa hari-hari tidak lengkap tanpa kehadiran belahan jiwa di sisinya.
Lebay? Ya tentu saja! Apa mau dikata, rindu kadang mengambil bentuk lebay. Kelihatan konyol dan tak masuk akal.
Dan rindu tak selalu teralamat pada orang-orang terdekat saja. Bertambah usia bertambah pula orang-orang yang kita rindukan. Seperti saya ini. Mendekati setengah abad saya mulai sering merindukan teman-teman masa kecil. Merindukan suasana main di bawah hujan, berlari di gang sempit, berkelahi untuk sebuah biji bekel. Rasanya rindu melipat waktu dengan sempurna, rasanya baru terjadi kemarin. Tapi kenyataan sudah lebih 40 tahun berlalu di belakang.
Mengapa Rindu Seperti Ini Bisa Datang?
Kita juga merindukan guru-guru terutama yang baik. Tetangga, kerabat yang pernah sangat perduli kepada kita.
Tapi ada satu rindu yang aku kehilangan kata untuk menjelaskan. Tapi sangat ingin memahaminya. Itu gara-gara mendengar cerita si sulung yang kelihatannya sedang jatuh cinta. Aku menatap matanya sebagai emak milenial, memahami rindu itu rasanya…..Tak terkatakan!
Dia bertanya apa sih namanya perasaan yang menimbulkan rasa bahagia tapi sekaligus sakit? Hati serasa tercabik antara keinginan mempertahankan dan membuangnya. “Itu apa sih, Mama?”
Yah apa nama perasaan itu?
Perasaan itu suka aneh datangnya. Saat jalan-jalan di mall, browsing buku di toko buku, mendengarkan musik atau berbaring diatas rajang.Jika menyerang kita jadi peka terhadap kerlip bintang di langit. Terhadap kupu-kupu yang melintas ribuan kilometer. Terhadap mekarnya bunga-bunga. Pokoknya kita peka terhadap segala bentuk keindahan.
Jika objek rindu adalah manusia, kita akan terus menerus memikirkannya. Bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang ia lakukan? Bersama siapa dia sekarang? Apakah dia juga sedang memikirkan apa yang kita pikirkan?
Orang-orang bijak selalu mengatakan tak ada kata terlalu muda atau terlalu tua untuk merindukan. Seperti juga tidak ada jaminan bahwa kerinduan selalu bermuara pada bahagia.
Dan melalui catatan ini aku harus menyampaikan sesuatu kepada Adit. Dia perlu memegangnya erat-erat. Bahwa perasaan seperti ini sangat berharga. Tuhan terlibat di dalamnya. Energi yang ditimbulkan kerinduan seperti ini telah merubah wajah dunia. Rindu seperti itu telah memicu lahirnya maha karya dalam sejarah. Shakespear dengan Romeo dan Juliet, Davinci dengan lukisan Monalisa , Shah Jahan dengan Taj Mahal, atau Moonlight Sonata ketika Beethoven sudah tidak lagi bisa mendengar dan bicara. Master piece mereka lahir dari emosi kerinduan yang dalam, yang tak berbentuk, tak berwajah. Tapi mereka terus mencari dan berusaha menterjemahkan lewat berbagai karya.
Lalu, entah di masa lalu, masa kini atau nanti, sebenarnya apa sih yang membuat seseorang merindukan yang lain? Du ya memahami rindu itu rasanya….
Memahami Rindu Itu Rasanya…Penuh Resiko
Tak ada jawaban pasti mengapa rindu bisa datang. Pasti sebanyak pasir di laut. Karena kita rindu kepada mereka telah memberikan separuh jiwanya, membuat kita merasa berharga. Karena kita punya kenangan manis bersama seseorang atau berada di suatu tempat dan ingin terulang kembali. Cara seseorang membagi perasaannya, ide-idenya, rencana-rencananya, dukungannya, pesan-pesannya atau apapun yang membuat kira merasa jadi lebih baik. Atau cara seseorang menatap dan tertawa. Itu semua adalah objek rindu tak terkatakan.
Lelaki muda seperti Adit membutuhkan pengetahuan ini. Sebagai ibu yang selalu ingin jadi sahabatnya juga menyampaikan, sangat baik ia mempunyai perasaan seperti itu. Mengakui perasaan itu, jujur terhadap diri sendiri, menghindarkan diri dari sakit emosi dan frustasi.
Jadi apa yang terjadi kalau anakmu curhat, mengatakan sedang merindukan seseorang? Saya suruh sampaikan! Terus bagaimana kalau di tolak? So what? Jangan pikirkan ditolaknya dulu tapi bahagianya. Namun kalau pun ditolak ya tetap berterima kasih terhadap perasaan tersebut. Karena rasa sakit dalam pertumbuhan adalah hidup itu sendiri. Rasa sakit akan menguatkan, membuat seseorang terbuka terhadap pencerahan. Pada akhirnya akan meningkatkan level bijaksana.
Kepahitan Akibat Rindu
Memang asyik merindukan seseorang yang memiliki perasaan sama dengan kita. Perasaan tidak didengarkan lah yang menimbulkan kepahitan. Apakah karena dia tidak tahu atau berlagak tidak tahu karena tidak punya perasaan yang sama terhadap kita. Itu lah yang menimbulkan rasa pedih.Tapi akan banyak simpul-simpul emosi yang akan terbuka setelah ini.Rasa sakit karena ditolak sumber pengajaran berharga.Rindu juga alasan tepat membuat transformasi, hijrah. Rindu adalah cara Allah mendidik umatnya. Memahami rindu itu rasanya ya seperti itu, nano-nano.
Adalah kodrat manusia tidak berhenti bertumbuh sampai ajal menjemput. Saya kira merindukan seseorang  termasuk salah satu bagian dari itu. Merindukan akan memaparkan kita pada kesepian, membuat kita menyadari bahwa perasaan hampa itu memang ada. Dan bagaimana kita menanggulanginya lah yang membedakan kualitas seseorang.Transformasi terjadi disini.
Apakah ada yang setuju pada Anna Brownell Jameson yang mengatakan ini: As the presence of those we love is as a double life, so absence, in its anxious longing and sense of vacancy, is as a foretaste of death?